Wednesday, June 3, 2009

TEOLOGI APOLOGETIKA : ABORSI & EUTANASIA


Aborsi

Perdebatan tentang Aborsi tidak pernah berakhir. Ada dua kelompok yang bertikai, yaitu kelompok “ pro choise” dan kelompok “pro live.” Kelompok pro choise menyetujui legalisasi aborsi. Sedikitnya ada dua alasan yang mereka kemukakan yaitu bahwa manusia adalah mahluk bebas yang mengatur dirinya sendiri termasuk mengenai tindakan abortif. Alasan kedua berkaitan dengan awal kehidupan manusia. Kapan manusia disebut manusia? Sedangkan kelompok pro live menentang legalisasi aborsi. Kelompok ini melihat bahwa manusia disebut manusia ketika ia masih berada dalam kandungan ibunya, ketika terjadi pertemuan sel telur dan sperma. Karena itu kelompok ini berusaha untuk memperjuangkan kehidupan manusia terutama janin.

Dalam dokumen yang dikeluarkan oleh Kongregasi Ajaran Iman, 2005 mengatakan:
“Tradisi Gereja selalu mengajarkan bahwa hidup manusia harus dilindungi sejak awal maupun dalam aneka tahap proses perkembangannya. Dalam Didache (bentuk pengajaran yang bukan Injil yang berasal dari abad pertama) dikatakan: jangan membunuh buah rahimmu dengan aborsi dan jangan membunuh anakmu yang sudah lahir” (art 5).

Jadi tradisi larangan aborsi sudah ada sejak abad-abad pertama, bahkan sudah dikenal pada Jaman filsaat Yunani kuno. Salah satu isi sumpah Hippokrates (Filsuf Yunani kuno) yang terkenal dengan sumpah kedokteran adalah larangan untuk melakukan aborsi bagi para dokter.

Menurut Santo Thomas, aborsi merupakan dosa berat, karena bertentangan dengan hukum kodrati. Maka Konsili Vatikan II menolak keras aborsi: “Kehidupan harus dilindungi dengan amat seksama sejak pembuahan, aborsi dan pembunuhan anak adalah kejahatan yang durhaka (art 7). Hak pertama bagi manusia adalah hak hidup. Kehidupan itu harus dilindungi. Maka dengan pembuahan sel telur mulailah hidup baru, yang bukan hidup ayah dan bukan hidup bunda, melainkan hidup makluk baru, yang tumbuh sendiri. Tidak pernah ia menjadi manusia, jikalau ia tidak sudah manusia sejak awal (art 12).

Paus Yohanes Paulus II dalam Evangelium Vitae mengatakan: “Di antara semua kejahatan yang dapat dilakukan manusia melawan kehidupan, aborsi mempunyai ciri-ciri yang membuatnya menjadi amat berat dan durhaka. Yang dibunuh di sini ialah manusia, yang baru memulai kehidupan, artinya mutlak sama sekali tidak bersalah: hidup itu tidak pernah dapat dianggap sebagai penyerangan, apalagi penyerangan yang tidak adil! Ia lemah, tidak dapat membela diri sendiri, sehingga tanpa sedikit pun perlindungan, seperti nyata dari jeritan tangis anak yang baru lahir. Ia sepenuhnya diserahkan kepada perlindungan dan perawatan orang yang mengandungnnya. Akan tetapi kadang-kadang justru dialah, ibunya, yang memutuskan kematiannya, mencari aborsi dan melaksanakannya (art 58). Manusia sejak pembuahan harus dihormati dan diperlakukan sebagai pribadi maka sejak itu hak-hak pribadi manusia harus diakui, dan hak pertama yang tidak dapat diganggu gugat ialah hak atas hidup, yang dimiliki setiap manusia tidak bersalah.” Karena itu perintah Allah “jangan membunuh”, juga diterapkan dalam hidup yang belum lahir.

Eutanasia

Aborsi berkaitan dengan awal kehidupan manusia sedangkan Eutanasia berkaitan dengan akhir kehidupan manusia. Kedua-duanya merupakan “budaya maut” (Culture of Dead). Eutanasia secara etimologis berarti kematian tanpa penderitaan, tanpa rasa sakit yang berlebihan. Maka Eutanasia berarti kematian “bahagia.”

Dewasa ini arti eutanasia berkaitan dengan intervensi kedokteran untuk mengurangi rasa sakit penyakit atau pergumulan dengan kematian dan kadang-kadang ada bahaya mengakhiri hidup sebelum waktunya. Akhirnya istilah ini dipakai dalam arti yang lebih sempit yakni “membunuh karena kasihan” dengan maksud mengakhiri rasa sakit yang ekstrem, atau untuk tidak memperpanjang penderitaan anak-anak dengan cacat kelahiran, orang sakit tidak tersembuhkan, orang sakit jiwa, atau orang tua yang secara ekonomis tidak produktif lagi dan membebani keluarga dan masyarakat.

Apa pun artinya, Eutanasia jelas melanggar hukum ilahi, melecehkan martabat pribadi manusia, kejahatan melawan kehidupan dan serangan terhadap umat manusia. Allah adalah pencipta kehidupan maka hanya Dia yang berhak mengakhiri kehidupan ciptaan-Nya. Dalam hal ini manusia tidak mempunyai hak.

Tugas manusia adalah melindungi dan menghormati kehidupan yang telah diciptakan Allah. Orang sakit memerlukan kasih, perhatian, kehangatan, pendekatan manusiawi dan adikodrati yang dapat dan harus diberikan semua orang dekat, orang tua dan anak-anak, dokter dan perawat. Bagaimana kalau pasien sendiri yang meminta untuk dieutanasia? Menurut ajaran Gereja, orang tidak boleh menafsirkan permintaan mendesak orang sakit berat yang meminta kematian sebagai kemauan untuk dieutanasia, karena hampir selalu itu berarti jeritan cemas, minta tolong dan kasih (Eutanasia, hlm.9).

Membahas persoalan Eutanasia Evangelium Vitae diawali dengan menampilkan hak Allah. “Akulah yang membunuh dan menghidupkan.” (Ul. 32:39) Maka melakukan tindakan Eutanasia berarti membuat diri manusia menjadi tuan atas kematian dengan mendatangkannya sebelum waktunya dan dengan demikian mengakhiri kehidupan diri sendiri atau orang lain tanpa penderitaan (Evangelium Vitae, 64).

Eutanasia harus dianggap sebagai belas kasih yang keliru karena belas kasih sejati adalah sikap solider dengan penderitaan sesama dan tidak membunuh orang yang penderitaannya tidak tertahankan. Jalan kasih dan belaskasihan sejati yang diperintahkan kemanusiaan bersama kita dan lebih jelas dengan alasan baru oleh iman kepada Kristus, penebus yang telah wafat dan bangkit. Paulus mengatakan:
“Tidak seorang pun hidup bagi dirinya sendiri, kalau kita hidup, kita hidup bagi Tuhan dan kalau kita mati, kita mati bagi Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan.” (Rm. 14:7-8)

Kepastian mengenai keabadian mendatang dan harapan akan kebangkitan yang dijanjikan menerangi misteri penderitaan dan kematian dan memenuhi kaum beriman dengan daya istimewa, untuk menyerahkan diri kepada rencana Allah (EV, 67).

No comments: