Sunday, December 20, 2009

SEJARAH NATAL


Natal diartikan telah lahir atau telah dilahirkan, kata Natal ini berasal dari kata Latin Natus. Pada konteks Kristiani, Natal berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan kelahiran Kristus. Dalam arti yang lebih sempit, Natal adalah perayaan kelahiran Yesus di Bethlehem duaribu tahun yang lalu. Hampir di semua negara, hari Natal (25 Desember) menjadi hari libur nasional. Menurut penanggalan Gereja Katolik Roma sendiri, Natal adalah satu dari enam hari Pesta utama di samping : Sikumsisi (tahun baru), Kenaikan Tuhan, Pesta Maria diangkat ke Surga (15 Agustus), Hari Raya Semua Orang Kudus (1 November) dan Perayaan Santa Maria dikandung tanpa noda (8 Desember)

Mengapa Natal sedemikian penting?
Menurut buku tahunan Encyclopedia Britannica, pada tahun 1994 terdapat 1,8 milyar umat Kristen dari sekitar 5,5 milyar populasi dunia. Hal ini membuat Kristen menjadi agama terbesar dalam hal jumlah penganut. Karena umat Kristiani mengikuti Yesus, perayaan kelahiran Yesus menjadi sangat penting bagi mereka dan bagi sebagian besar wilayah di dunia. Menurut informasi, di Amerika, minggu sebelum Natal adalah minggu tersibuk dalam dunia perbelanjaan sepanjang tahun Toko-toko besar meraup 70% keuntungan tahunannya hanya selama sebulan yaitu satu bulan menjelang Natal. Natal menjadi penting bukan hanya karena alasan-alasan keagamaan melainkan juga karena alasan ekonomi dan budaya.

Apakah tanggal 25 Desember adalah hari kelahiran Yesus? (Awal Mula Perayaan Natal)
Dulunya, 25 Desember merupakan peringatan tradisional masyarakat Romawi untuk mempertingati Saturnus (Dewa Panen) dan Mithras (Dewa petir) sekaligus titik balik matahari di musin dingin. Di saat kekaisaran Roma dikuasai orang-orang Kristen, Gereja mengambil alih tanggal tersebut dari pesta kafir bangsa Romawi ini yang terkenal dengan ungkapan "Dies Natalis (Solis) invicti." : Hari Raya Kelahiran Dewa Matahari yang terkalahkan. Pemujaan terhadap dewa Matahari yang amat kuat di masa itu dan dirayakan secara khusus pada saat titik balik peredaran matahari.
Adapun tujuannya, untuk menjauhkan umat beriman dari gagasan yang kafir itu dan Gereja menggantikannya dengan misteri kelahiran Kristus Yesus sebagai Sang Matahari sejati yang menrangi setiap insan. Ini adalah proses inkulturasi.
Mula-mula, hari itu dirayakan dengan misa sederhana. Akan tetapi, seiring dengan berkembangnya agama Kristen, Natal menjadi semakin penting dan mengalahkan perayaan-perayaan tradisional yang telah ada sebelumnya, sekaligus mempertegas dan memperteguh iman akan misteri Allah yang menjelma menjadi manusia.

Di beberapa negara di wilayah Eropa Utara, sekitar pertengahan bulan Desember, biasanya diadakan pesta panen. Pada saat itu, rakyat yang baru saja mengakhiri masa panennya menghiasi rumah mereka dengan hijau-hijauan, memasak makanan yang istimewa, berkumpul untuk bernyanyi bersama dan saling membagi hadiah. Lama-kelamaan, tradisi rakyat ini menjadi bagian dari perayaan Natal.

Tradisi berbagi hadiah.
Tradisi ini mungkin diilhami dari kisah Kitab Suci tentang orang-orang Majus dari Timur. Para Majus memberikan hadiah kepada bayi Yesus berupa emas, kemenyan dan mur. Selain merupakan adopsi dari tradisi, kebiasaan ini juga didukung oleh adanya kisah Sinterklas yang terkenal suka membagi hadiah kepada anak-anak.

Pohon Natal.
Tradisi memasang pohon Natal kemungkinan besar berasal dari Jerman dan diawali pada tahun 1.000(?). Tradisi ini kemudian menyebar ke Inggris dan Amerika. Pada zaman Victoria, orang mulai menghiasi pohon Natal dengan permen dan kue-kue serta pita-pita. Martin Luther, pada abad ke 16 dianggap sebagai orang pertama yang memasang lilin pada pohon Natal. Tahun 1880, hiasan Natal pabrikan mulai diproduksi dan dipasarkan. Dan, lampu natal elektronis muncul di tahun 1882.
Sampai sekarang bentuk dan jenis hiasan pohon natal semakin bagus dan beragam.

Mengapa Natal Dirayakan Pada Tanggal 25 Desember ?

Secara alkitabiah Yesus dijuluki sebagai "Surya Kebenaran", "Terang kebenaran yang menyinari dunia". Julukan ini sejalan dengan Dewa Matahari dari Emesa yang disembah sejak masa kekaisaran Aurelius (274) di Roma yang dirayakan setiap 25 Desember. Pestanya disebut dengan NATALE SOLIS INVICTI (Lahirnya Sang Surya yang tidak terkalahkan). Hal dimana dimulainya musim dingin.

Pada waktu kekaisaran Roma menjadi Kristen, pesta ini ditransformasikan (di-kristenkan) dengan memberi makna baru atas Solis Invicti itu yaitu untuk menyebut Yesus sendiri. Julukan Yesus secara alkitabiah ditambahkan dengan kultur Romawi yang memberi tempat yang istimewa kepada dewa matahari pada waktu itu, dihepotesakan sebagai asal-usul dari Perayaan Natal sebagaimana kita pahami sekarang.

Secara simbolik Kristus sebagai Sang Surya Agung berakar dalam kesadaran kristiani yang kemudian memberi perhatian istimewa pada peristiwa EQUINOX dan SOLTICE. Yang pada gilirannya secara kosmis tanggal 25 Desember menjadi istimewa; menjadi pesta kelahiran Surya yang tak terkalahkan. Sudah barang tentu secara historis tanggal tersebut tidak bisa diterima begitu saja sebagai hari kelahiran Yesus Kristus.

St. Agustinus memandang Natal hanyalah suatu peringatan atau ulang tahun dari kelahiran Kristus dengan tetap memandang Paskah sebagai sungguh-sungguh 'sacramentum'.

Leo Agung menyebut Natal sebagai "mirabilis sacramenti", Natal dipahami oleh Leo sebagai titik awal dari keselamatan semesta. Nalal lebih bermakna daripada Paskah. Oleh karenanya pada masa Paus Leo Agung (440-461) dirayakan pesta Natal di Basilika St. Pietro dan pada malam harinya di Basilika St. Maria Maggiore, sore harinya Paus merayakannya di Basilika St.Anastasia dekat Palaytino. Rupanya sejak waktu itu mulai dirayakan Misa Natal secara liturgis resmi.

Secara teologis, tema sentral natal ditekankan pada peristiwa inkarnasi, Allah menjadi manusia. Peristiwa itu bukan hanya berarti Allah beserta kita tetapi pertama-tama adalah bahwa Allah menjadi manusia agar supaya manusia menjadi Allah. Kedosaan dan kejatuhan manusis dipulihkan kembali. Inkarnasi menjadi 'starting point' dalam divnisasi manusis yang berpuncak pada peristiwa paskah.

Paham Chronology Pasti (ada lain ie; paham Chronology Relative) memperkirakan kelahiran Yesus antara dua data; Kematian Herodes (4 SM) dan cacah jiwa pada jaman Kirenius (antara 7 dan 8 SM).

Catatan:
EQUINOX; berasal dari bahasa Latin aequa (sama) dan nox (malam). Suatu
perubahan tata surya di mana matahari melewati batas khatulistiwa. Pada
waktu itu durasi waktu malam dan siang baik di bagian dunia sebelah
utara dan selatan sama lamanya. Equinox terjadi dua kali dalam satu tahun.
Pertama tanggal 21 Maret ketika matahari memasuki zodiak Aries, ini disebut
dengan istilah "spring equinox" (equinox musim semi). Yang kedua terjadi pada
tanggal 23 September, yang disebut '"autumnal equinox" (equinox musim
gugur). Pada saat matahari bersinar selama 12 jam dan bulanpun bersinar
selama sepanjang malam.

SOLTICE; dari bahasa Latin, Sol yang berarti matahari dan stare yg
berarti berdiri. Menggambarkan matahari mencapai titik yang paling jauh dari garis
khatulistiwa. Hal itu terjadi pada 22 Juni dan 22 Desember. Pada 22 Juni
mulai musim panas pada bagian belahan dunia bagian utara dan mulai
tanggal 22 September musim dingin.

Saturday, December 5, 2009

HIS HOLINESS POPE PIUS XII

Traditional Views of Jewish Chosenness in the eyes of the Jewish

The Bible implies that God's choice of the Jews was random; later traditions made the Jews seem deserving of this privilege.

Choosing Abraham

Jewish history, as the Bible tells it, began when God singled out Abraham with the command, "Go forth from your land, from your birthplace, and from your father's house to the land that I will show you" (Genesis 12:1) and the subsequent promise to bless Abraham and his descendents. This blessing, reiterated several times throughout the Bible, became the basis for the doctrine of chosenness--the idea that the Jewish people have a relationship with God unlike that of any other nation. What is strange about the selection of Abraham is the apparently arbitrary nature of God's choice. The Bible does not explain why Abraham is chosen and does not suggest that Abraham is more deserving of God's attention than anyone else. The lack of explanation here stands in contrast with the specification, a few chapters earlier, that Noah's righteousness compelled God to save him alone from the flood that wiped out the rest of humankind. In the book of Genesis, the arbitrariness of God's choice recurs in generation after generation. Repeatedly, God rejects an older sibling in favor of a younger one. Thus, the Jewish line passes from Abraham to his younger son, Isaac, and then to Isaac's younger son, Jacob.

The Israelites Were Nothing Special
The Torah's most extensive and explicit discussion of chosenness appears in the first few chapters of Deuteronomy. There, Moses repeatedly reminds the people that God's choice of the Israelites does not indicate any virtue or special quality on their part:
"It is not because you are the most numerous of peoples that the Lord set His heart on you and chose you--indeed, you are the smallest of peoples; but it was because the Lord favored you and kept the oath He made to your fathers that the Lord freed you with a mighty hand and rescued you from the house of bondage, from the power of Pharaoh, king of Egypt (Deuteronomy 7:6-8)." The logic here is tautological. God chose the Jews because God favored the Jews. God favored the Jews because God chose Abraham. And, as we have seen, the Torah offers no explanation for the selection of Abraham. Even more strikingly, two chapters later, Moses specifies that "it is not for any virtue of yours that the Lord your God is giving you this good land to possess, for you are a stiff-necked people (Deuteronomy 9:6)." The only real justification for the selection of the Israelite people is the suggestion that God's choice reflects a desire to punish all of the other nations (Deuteronomy 9:5).

With Chosenness Comes Responsibility
While not suggesting any particular virtue on the part of those whom God chooses, the Torah does require that the chosen respond by following God's commandments. Presumably, Abraham would have forfeited God's blessing if he had not complied with the commandment to "Go forth." At Mount Sinai, the people respond to revelation with the words, "All that the Lord has spoken, we will do (Exodus 19:8)." Later, when the people construct and worship a golden calf, God threatens to destroy them and to choose a different people. In the section of Deuteronomy discussed above, Moses repeatedly warns the people that disobedience of the commandments will lead to the revocation of God's blessing. Still, while the covenantal relationship requires that the chosen respond to God's call, only God can initiate this relationship. God's choice of when and with whom to initiate this relationship is, as far as the Torah tells us, almost entirely random.

Making the Patriarchs Pious
The rabbis of the Talmud and the Midrashim were troubled by this random presentation of choice and respond by ascribing unusual righteousness to those whom God chose. Thus, in rabbinic literature, God chooses Abraham only after Abraham has chosen God. In one well-known midrash, Abraham smashes his father's idols in order to prove the fallacy of idol worship. In another midrash, Abraham reasons that a greater, invisible power must control the sun, the moon and the stars. The choice of Abraham, according to these traditions, is a response to Abraham's piety--and not a unilateral and arbitrary choice on the part of God. Similarly, the rabbis transform Isaac and Jacob into models of virtue, and Ishmael and Esau into villains. The biblical text does not support such a clear distinction between the moral characters of those chosen and those not chosen. In both cases, however, the rabbis offered some rationale for the decision to reject the older brother in favor of the younger one.
Most troubling for the rabbis is the biblical suggestion that the Israelites did nothing to merit receiving the Torah at Sinai. One midrash responds to this problem by describing God offering the Torah to all of the other nations of the world before approaching the Jewish people who, alone agree to accept the Torah unconditionally (Avodah Zarah 2b). Elsewhere, the talmudic suggestion that God forced the people to accept Torah by holding a mountain over their heads is immediately countered by a tradition that the people later voluntarily accepted the Torah during the time of Esther (Shabbat 88a). This rabbinic presentation of the distinction between Jews and non-Jews stands in sharp contrast with the explicit statements in Deuteronomy that the Jews are not chosen on the basis of their virtue.

Chosen For Future Salvation
In the medieval period, the question of the chosenness of the Jewish people ceased to be simply academic. Christian theologians pointed to the political domination of the Holy Roman Empire as proof that the Christians, and not the Jews, were God's chosen people. Jews, for their part, responded by understanding the Christian political dominance of the time as confirming, and not challenging, the identification of the Jews as the chosen people. For medieval Jews, the doctrine of chosenness meant that the Jews would be chosen for the messianic redemption. The extreme suffering of the Jews only proved that redemption was close at hand. Jewish writers expended much energy defining the Christian empire within the parameters of biblical descriptions of the end of days.

Two Medieval Approaches
The tension between the contrasting biblical and talmudic understandings of chosenness resurfaces in the writings of Judah Halevi and Moses Maimonides, two prominent philosophers of this period. Halevi adopts and expands upon the biblical portrayal of the Jews as the passive chosen people, while Maimonides develops the talmudic description of the Jews as active choosers. For Halevi, the Jews are inherently different from others people. In his most famous work, the Kuzari, he introduces the idea that, at the time of the creation of human beings, God instilled in Adam a certain divine quality, which then passed to Adam's son Seth and then, through Seth's line, to the entire Jewish people (1:95). This divine essence, according to Halevi, is unlinked to any human behavior. A Jew who rejects Torah law cannot lose this essence, and a non-Jew who observes the commandments cannot acquire it. In contrast, Maimonides, in accordance with the rabbinic understanding of chosenness as the result of human action, describes Abraham as a philosopher who is "chosen" only because he discovers God. Similarly, the Jewish people are "chosen" insofar as their acceptance of the Torah grants them a special relationship with God. Thus, according to Maimonides, anyone "who sets oneself apart to stand before, to serve, to worship, and to know God…is consecrated to the Holy of Holies, and his portion and inheritance shall be in God forever." (Mishneh Torah, Hilkhot Shemita v'Yovel 13:13) With his emphasis on human agency, Maimonides leaves open the possibility that Jews may become "unchosen," or that non-Jews may be chosen. Early discussions of chosenness, then, follow two different--and opposite--paths. According to the traditional framework, the Jews are the chosen people either as a result of a unilateral--and seemingly arbitrary--divine decision, or as the result of an active decision on their part to initiate a relationship with God.

Friday, November 20, 2009

THE FINGER of GOD part II


Lukas 11:20
Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Allah
(the finger of God… ), maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah
datang kepadamu.

Jari Allah itu berbicara tentang kuasa Allah. Dalam
Lukas 11:20 ditulis, “Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Allah, ... “ (Dalam bahasa Inggris ditulis the finger of God): “But if I with the finger of God cast out devils, no doubt the kingdom of God is come upon you ” Alkitab mencatat kapan jari Allah dipakai:

1. Jari
Allah dipakai ketika Allah mengeluarkan umatNya dari tanah Mesir

Pada waktu tulah pertama dan kedua, juru-juru tenung Firaun dapat melakukannya juga. Tetapi pada tulah ketiga, ketika banyak nyamuk meliputi seluruh tanah Mesir, para ahli itu berkata “Inilah tangan Allah” (This is the finger of God) - Kel 8:19.

2. Jari
Allah pernah dipakai ketika Allah mengukir loh batu untuk menuliskan 10 perintah Allah di gunung Sinai (Kel 20).

Dalam perjanjian baru, ada kisah dalam Yoh 8:2-12, ketika Yesus dihadapkan kepada seorang perempuan yang tertangkap basah berzinah oleh para ahli Taurat dan Farisi. Mereka berusaha mencobai Yesus dengan menanyakan padaNya apa yang harus dilakukan terhadap perempuan ini. Yesus tahu bahwa jika Ia berkata, “Jangan dihukum!” maka para ahli Taurat dan Farisi akan menuduh Yesus melawan hukum Taurat Musa (Yoh 8:5). Namun, jika Yesus setuju dengan hukum mati, pastilah Ia melanggar hukum Romawi karena pada saat itu yang berhak menghukum mati seseorang cuma pengadilan romawi, tidak boleh memakai hukum agama. Apa yang Yesus lakukan? Yesus membungkuk dan menulis dengan jariNya di tanah(Yoh 8:6-8).

Ada banyak pendapat mengenai apa yang ditulis Yesus saat itu. Dalam film ‘the
passion of the Christ’ diilustrasikan Yesus membuat garis batas di atas tanah yang
artinya wanita ini ada dalam perlindunganNya. Ada yang berkata, karena Ia datang sebagai hakim, maka Ia menuliskan dosa-dosa mereka dan membuat semua orang tertempelak.

Apapun yang ditulis oleh jariNya, yang pasti itu adalah sesuatu hal yang membuat orang-orang yang tadinya beringas dan siap menghukum perempuan ini mendadak merasa bersalah oleh hati nurani mereka sendiri dan pergi meninggalkannya. Semua orang berdosa pergi, kecuali 1 orang, yaitu perempuan yang berdosa tadi. Dalam Yoh 8:10 Yesus menanyakan, "Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?" Menghukum disini yaitu ‘kategoros’ atau ‘kategor’ yang merupakan sebutan untuk iblis, karena iblis kerjanya menghukum. Kalau seseorang punya balok di mata, dia akan melihat selumbar di mata orang lain. Dosa terutama di dunia ini adalah kemunafikan. Kalau ada orang yang suka menghukum orang lain, pasti ada dosa di dalam dirinya; sebab kalau orang sudah diampuni Tuhan, dia juga akan bermurah hati sebagaimana Tuhan itu murah hati

Seperti ahli Farisi dan Taurat yang suka menunjuk / menuduh orang lain, jari manusia dapat pula dipakai iblis untuk melakukan hal yang sama. Iblis adalah penuduh, pendakwa, pemfitnah dan pendusta. Jari manusia lebih berbahaya dari pistol
ataupun ‘revolver’. Jika jari seseorang dipakai iblis, maka ia akan suka
menuduh, memfitnah, suka membuat orang lain jatuh dan selalu mengingatkan
kesalahan / dosa masa lalu. Akan tetapi, jika jari seseorang dipakai Allah,
maka ia akan dipakai Tuhan untuk mengusir kuasa kegelapan. Jari itu ibarat
pistol yang sanggup untuk ‘menembak’ setan dan mendatangkan kerajaan sorga
sebagaimana yang tertulis dalam Luk 11:20. Pilihan ada pada setiap pribadi, mau
dipakai Tuhan atau dipakai iblis.

“Jari kita bisa dipakai
Tuhan untuk menghancurkan iblis dan mendatangkan kerajaan sorga. Tetapi jari kita juga bisa dipakai iblis untuk menunjuk / menuduh orang lain dan
mendatangkan hukuman atas orang tersebut. Pilihan ada pada setiap pribadi,
mau dipakai Tuhan atau dipakai iblis. “

Yesus datang untuk membebaskan dan mengampuni. Ia juga tidak menghukum perempuan yang kedapatan berzinah (Yoh 8:11). Yesus tidak menggunakan jariNya untuk menunjuk dan menuduh perempuan ini seperti yang dilakukan ahli Taurat dan Farisi. Sebaliknya, justru Ia memberikan perlindungan dan pengampunan. Perkataan "Pergilah..."(Yoh 8:11b) bukan dimaksudkan untuk mengusirnya akan tetapi memberikan kekuatan kepadanya untuk tidak berbuat dosa. Inilah anugerah yang Yesus berikan.

Selama Yesus di bumi, Ia menjadi tempat bagi orang-orang yang terbuang, para pemungut cukai, para pelacur, orang miskin, orang sakit, dll. Dalam Yoh 6:37 ditulis, "Semua yang diberikan Bapa kepada-Ku akan datang kepada-Ku, dan barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan Kubuang." Apapun latar belakang dan kehidupan masa lalu seseorang, asalkan ia datang pada Yesus, Ia tidak pernah menolak dan membuangnya. Tuhan memberikan masa depan yang baru bagi semua orang yang datang padaNya. Tuhan melakukan pemulihan bagi hidup umatNya asalkan umatNya membiarkan jari Tuhan menjamah hatinya. Syarat pemulihan yang lain yaitu jika seseorang berhenti menunjuk orang lain untuk memfitnah (Yesaya 58:9-10). Janji Tuhan dalam Yesaya 58 : 9-10 jika kita berhenti menunjuk orang lain yaitu Tuhan akan menjawab doa-doa kita, kutuk diganti berkat dan kesuraman diganti kegemilangan. Pada jaman sekarang, Tuhan tidak menulis di loh batu lagi, tapi di roh kita.

Sunday, October 18, 2009

KEBENARAN ?


(Personal Spiritual Diary Series - Sun,18.10.09)


Ketika aku melihat papan nama pada kios itu, hampir-hampir aku tidak percaya pada apa yang kubaca: KIOS KEBENARAN. Mereka menjual kebenaran di sana!

Gadis penjaga kios bertanya dengan amat sopan: kebenaran macam apa yang ingin kubeli, sebagian kebenaran atau seluruh kebenaran? Tentu saja seluruh kebenaran! Aku tidak perlu menipu diri, mengadakan pembelaan diri atau rasionalisasi lagi. Aku menginginkan kebenaranku: terang, terbuka, penuh dan utuh. Ia memberi isyarat, agar aku menuju bagian lain dalam kios itu, yang menjual kebenaran yang utuh.

Pemuda penjaga kios yang ada di sana memandangku dengan rasa kasihan dan menunjuk daftar harga.
‘Harganya amat tinggi, tuan,’ katanya.
‘Berapa?’ tanyaku mantap, karena ingin mendapat seluruh kebenaran, berapapun harganya.
‘Kalau tuan membelinya,’ katanya, ‘tuan akan membayarnya dengan kehilangan semua ketenangan dalam seluruh sisa hidup tuan.’

Aku keluar dari kios itu dengan rasa sedih. Aku mengira bahwa aku dapat memperoleh seluruh kebenaran dengan harga murah. Aku masih belum siap menerima kebenaran. Kadang-kadang aku mendambakan damai dan ketenangan. Aku masih perlu sedikit menipu diri dengan membela dan membenarkan diri. Aku masih ingin berlindung di balik kepercayaan-kepercayaanku yang tidak boleh dipertanyakan.

Kisah di atas mengingatkan kita akan perjumpaan pemuda yang kaya dengan Yesus. Sang pemuda bertanya pada Yesus apa yang harus dilakukan untuk beroleh hidup kekal. Fantastis memang mengetahui bahwa ternyata sang pemuda kaya itu telah melakukan semua hukum-hukum yang Yesus utarakan guna beroleh hidup kekal. Tetapi kebenaran memang mempunyai harga yang tidak murah. Diantara semua hukum yang berhasil dilakukan sang pemuda kaya, ternyata ada satu yang membuatnya merasa mahal harganya.

Dia masih belum siap menerima kebenaran. Kadang-kadang dia mendambakan damai dan ketenangan. Dia masih perlu sedikit menipu diri dengan membela dan membenarkan diri.

Bagaimana dengan diriku sendiri?

Bagaimana dengan anda?

Satu hal yang pasti kebenaran mahal harganya.

Kita ingat bagaimana Kisah Om Tibo cs?

Kita masih belum siap menerima kebenaran. Kadang-kadang kita mendambakan damai dan ketenangan. Kita masih perlu sedikit menipu diri dengan membela dan membenarkan diri.

Friday, October 16, 2009

THE FINGER of GOD part I


Siapakah yang bisa mengerti dan mengakui bahwa tangan Allah berkuasa? Hanya mereka yang pernah mengalami pertolongan Tuhan, atau sebaliknya mereka yang telah dikalahkan oleh kuat kuasa-Nya. Meskipun Tuhan telah menghukum Mesir dengan dua tulah dahsyat, Firaun tetap mengeraskan hati dan mengingkari janjinya. Dalam kebodohannya Firaun menyangka bahwa ilah-ilah yang dia sembah masih mampu menandingi Allah Israel. Buktinya ahli-ahli sihir Firaun sanggup memperagakan mukjizat tandingan dalam kedua tulah sebelumnya.

Namun di tulah yang ketiga ini para ahli sihir Mesir tidak berdaya. Mereka tidak mampu meniru mukjizat yang dilakukan Harun dengan tongkatnya yang menghasilkan nyamuk-nyamuk dari debu tanah. Gambaran yang diberikan adalah semua debu tanah di Mesir berubah menjadi nyamuk-nyamuk yang tidak terhitung jumlahnya (ayat 17). Bayangkan betapa mengganggunya nyamuk-nyamuk yang hinggap dan menggigit di mana-mana, termasuk di tubuh manusia dan binatang-binatang. Seruan para ahli sihir Mesir, "Inilah tangan (harfiah: jari) Allah" (ayat 19), menyatakan pengakuan mereka bahwa yang dilakukan Harun dengan tongkatnya adalah demonstrasi kekuasaan Allah Israel, yang jauh melampaui kekuatan ilah-ilah mereka. Ilah-ilah Mesir tidak berdaya menghadapi Tuhan Israel. Sayang sekali, lagi-lagi Firaun mengeraskan hati. Dia tetap menolak untuk melihat dan mengakui fakta bahwa para ahli sihir yang ia andalkan sudah menyerah kalah.

Kekuatan jahat apapun yang sedang beroperasi di dunia ini akan redup dan hilang dayanya di hadapan Allah Yang Maha Kuasa. Kristus sudah menang terhadap kuasa dosa dan maut. Ia juga menang atas kuasa-kuasa roh jahat. Maka jangan pernah menyerah terhadap kuasa yang sudah dimandulkan Tuhan. Sebaliknya dengan berani dan dengan nama Tuhan Yesus yang berkuasa, nyatakanlah perbuatan-perbuatan dahsyat Allah di dalam dan melalui anda!

Thursday, September 24, 2009

Forgiven and Forgiving


Dear all,
Here are some thoughts on forgiveness.
Be blessed!

=====








(Personal Spiritual Diary Series - Thur,24.09.09)

By David Sutedja


It takes love to be forgiven
It takes lots of love to be forgiving

It is easy and enjoyable to say "God forgives me"
It is tough and painful to say "I forgive you"

To be forgiven is to live
To be forgiving is to die

Friday, September 18, 2009

'You Raise Me Up ... '


Mungkin kita pernah mendengar lagu “…You raise me up so I can stand on mountain. You raise me up to walk on stormy sees. I am strong when I am on your shoulders. You raise me up to more than I can be…”Nilai dan arti lagu ini kiranya bisa membantu kita untuk merenungkan renungan ini.

Kita mendengar karya ajaib Yesus dengan memberi makan ribuan orang. Kali ini kita mendengar lanjutan dari Injil tersebut. Karya ajaib kali ini jauh lebih menakjubkan, meski pesannya lebih kurang sama. Dikisahkan, setelah Yesus memberi makan lima ribu orang laki-laki, belum terhitung wanita dan anak-anak, Ia menyuruh murid-murid-Nya pergi ke seberang danau mendahului Dia. Kemudian Ia juga mengutus orang banyak pulang ke rumah masing-masing. Ia tinggal seorang diri. Ia naik ke bukit dan berdoa. Ketika Ia sedang berdoa, para murid sedang berjuang melawan danau yang sedang mengamuk. Ombak besar menghantam perahu mereka. Mereka ketakutan.

Menarik sekali melihat peristiwa ini secara dekat. Para murid berlayar tanpa Yesus dalam perahu mereka. Mereka berjuang sendirian. Mereka berlayar tanpa Yesus. Dalam pelayaran tanpa Yesus ini mereka dihantam badai yang menakutkan mereka. Perahu mereka oleng ke sana ke mari. Tak banyak kemajuan dalam perjalanan tanpa Yesus tersebut.

Mengetahui bahwa murid-murid-Nya ketakutan menghadapi ombak yang dasyat, Yesus datang menolong. Ia ternyata tak “terlalu sibuk” dengan Allah. Ia meninggalkan doa-Nya dan datang menyelamatkan murid-murid. Dia berjalan di atas air yang mengamuk. Amukan air tak terasa oleh Yesus. Gelombang badai bagaikan air tenang ketika Yesus berjalan di atasnya. Dasyat sekali. Dengan Injil ini mau dikatakan pada kita dengan tegas sekali bahwa kapan dan di mana saja ada kesulitan, Yesus selalu hadir pada waktu yang tepat.

Sebelum Yesus sampai di kapal, para murid melihat sosok yang berjalan di atas air. Mereka ketakutan dan berteriak-teriak. Ketakutan karena amukan danau bertambah dengan ketakutan melihat sosok yang berjalan di atas air. WOW. Saudara dan saudari kehadiran Yesus sering menakutkan untuk banyak orang. Kehadiran Yesus mereka rasa mengancam “kesenangan” mereka. Kehadiran Yesus diyakini mengganggu. Kehadiran Yesus yang menyelamatkan dan membawa damai sering dilihat sebagai ancaman atas “kesenangan sendiri”.

Dalam situasi yang takut bukan kepalang, Yesus dengan suara yang jelas dan penuh damai berkata: “Ini Aku. Jangan TAKUT.” Mengetahui bahwa Yesus yang berjalan di atas air, Petrus dengan spontan meminta supaya Yesus juga menyuruhnya berjalan di atas air. Yesus berkata: “Mari”. Petrus berjalan di atas air. Ia datang kea rah Yesus. Angin putting beliung yang sedang mengamuk tak terasa olehnya. Selama ia memandang Yesus dan yakin pada Sabda Yesus, ia berjalan “lenggang kangkung” di atas danau yang menggelegar. Namun ketika ia mulai mengalihkan perhatian dari Yesus, ia di hantam oleh badai.

Saudara dan saudari, badai tetap di sana. Hanya pada kasus pertama, Petrus begitu focus pada Yesus dan badai seakan tak berdaya menggoyahkan dia. Kemudian ketika ia mulai mengurangi perhatiaannya pada Yesus badai menjadi penuh daya menggoyangkannya dan hampir menenggelamkannya.
Di lain pihak kita juga melihat pribadi Petrus yang sangat spontan. Dia “agak sering” bertindak berdasar emosi yang meluap-luap. Ia kadang tak memberi waktu untuk mencerna dan berpikir. Ia segera melampiaskan “emosinya”. Mungkin istilah salah satu suku di Indonesia tepat melukiskan pribadi ini: “Kalau berani hantam saja, persoalan belakangan.” Petrus tak menghitung lebih dahulu resiko dari “permohonannya”. Pelajaran ekonomi, moral dan iman kita dapat di sini. Sebelum bertindak, hitung dulu kekuatan, untung rugi dan konsekwensinya. Tidak semua yang kita ketahui harus dikatakan, tetapi semua yang kita katakana harus diketahui.

Pribadi Petrus yang demikian kita lihat juga ketika ia dengan gagah perkasa mengatakan bahwa ia akan setia pada Yesus hingga titik darah penghabisan yang terakhir, tetapi tak lama sesudah itu ia menyangkal Yesus tiga kali.
Meski demikian Petrus adalah pribadi yang jujur dengan pikiran dan perasaannya. Ia jujur mengakui kesalahannya. Kejatuhan yang ia alami bukan menjauhkan dia dari Yesus, tetapi malah mendekatkan dia pada Yesus. Cintanya pada Yesus menjadi semakin berkobar-kobar. Kita melihat pelajaran berharga yang lain di sini. Menjadi orang kudus tidak sama dengan hidup tanpa dosa dan kesalahan, tetapi berani mengakui kesalahan dan bertobat.

Pelajaran apa lagi yang dapat kita petik dan hidupi dari Injil ini??? Seperti sudah dikatakan sebelumnya, tanpa Yesus dalam perahu mereka, para murid dihantam badai dan mereka ketakutan. Hal yang sama berlaku untuk kita. Tanpa Yesus dalam diri kita, kita akan dintam oleh badai kehidupan. Tanpa Yesus dalam keluarga kita, badai sekecil apapun akan memabuat kita terombang-ambing. Tanpa Yesus dalam rumah kita, rumah kita akan sulit tentram dan damai.
Dalam hidup ini selalu ada badai. Kita sering terguncang karena menghadapi badai yang setiap hari menimbulkan gelombang. Kadang kita menghadapi badai keluarga, badai dengan pimpinan, badai dengan kawan kerja, badai dengan suami, badai dengan istri, badai dengan pekerjaan, badai dengan lingkungan dan begitu banyak macam badai. Tetapi dalam semuanya itu, kita tidak pernah ditinggalkan sendirian. Yesus selalu hadir bersedia menolong. Yesus selalu hadir pada waktu yang tepat. Hanya kita perlu focus dan berserah pada Yesus. Yesus akan datang dan berkata: “Ini Aku. Jangan takut.” Ia akan mengulurkan tangan-Nya dan menolong kita, menguatkan kita.

Bersama Yesus kita aman, damai, kuat, gembira, dan sanggup hidup dalam damai meski badai mengamuk. Jauh dari Yesus kita tergoncang dan ketakutan.
Saudara dan saudari mari menyadari kehadiran Yesus dalam hidup kita. Berserah pada-Nya dan Dia akan menolong dan menguatkan kita. Dan kalau demikian kita akan bernyanyi: “…You raise me up so I can stand on mountains…”

Saturday, August 8, 2009

THE JANITOR


(Personal Spiritual Diary-Sun,08.08.09)

By David Sutedja

Back to the mall! Let’s go to the restrooms. Sure enough, we will find the janitors. You can tell the quality of the mall by looking at how the janitors are. I’m impressed by the janitors who keep cleaning the restroom. For my standard, sometimes it is even a lot cleaner than my own bedroom! Yet, he keeps wiping, drying, cleaning. It must be written in his job descriptions. Their job is to look at the smallest dirt, or water drops, or stains, and clean it right away. In order to do this, they have to be trained and therefore they have a greater awareness of the uncleanness.

Why clean if it is not dirty? Why fix if it is not broken? Why renew our life if it is still good? This is what I often ask. Conversion will never happen, unless God gives me a new awareness of the uncleanness in me. As long as I think that it is not dirty, I will never clean it. I have other plans to do, and I go for it.

Sometimes I compare myself with some fellow teachers. They look calm, orderly, human, happy, responsible, and honest. At times simply encountering some fellow teachers can be a gentle reminder from God. It is as if I have to realize that my own bedroom is a lot dirtier than the restrooms at the mall!

It’s true, as it has often been said, that to err is human, but to forgive is divine. The most difficult person to forgive is my own self. Why? I don’t always want to recognize the uncleanness within me. The good news, God is willing to be that responsible janitor and right now is waiting in front of my bedroom door. If today is like training time to develop a new awareness

Wednesday, July 29, 2009

PAUS BENEDIKTUS MENGANGKAT USKUP KOAJUTOR UNTUK JAKARTA


JAKARTA (UCAN) -- Paus Benediktus XVI telah mengangkat Uskup Agung Semarang Mgr Ignatius Suharyo sebagai uskup agung koajutor Jakarta. Vatikan mengumumkan pengangkatan itu tanggal 25 Juli.

Uskup Agung Suharyo, 59, yang memimpin Keuskupan Agung Semarang sejak 1997, diangkat untuk membantu Kardinal Julius Riyadi Darmaatmadja SJ, yang tanggal 20 Desember akan berusia 75 tahun. Menurut Hukum Kanonik, uskup diosesan yang sudah berusia genap tujuh puluh lima tahun diminta untuk mengajukan pengunduran diri dari jabatannya kepada paus.

Kardinal Darmaatmadja adalah Uskup Agung Semarang dari tahun 1983 hingga April 1996, ketika dia diangkat untuk menggantikan Uskup Agung Jakarta Mgr Leo Soekoto SJ, yang meninggal 30 Desember 1995 setelah mengundurkan diri sebulan sebelumnya.

Kardinal satu-satunya di Indonesia itu mengatakan kepada UCA News tanggal 27 Juli bahwa yang dia mohon kepada paus adalah agar dia diijinkan mengundurkan diri sebagai Uskup Agung Jakarta saat dia mencapai usia 75 tahun karena kesehatannya semakin berkurang.

“Sejak umur saya mencapai 70 tahun, saya merasa perlahan-lahan kekuatan fisik saya makin berkurang secara menyeluruh. Mata saya menjadi kurang mampu membaca dengan kaca mata biasa tapi butuh kaca pembesar, dan telinga saya membutuhkan ‘hearing aids’. Pokoknya, saya tidak merasa sekuat ketika masih berusia di bawah 70 tahun. Demi pelayanan yang baik apalagi optimal, saya sepantasnya mohon untuk mengundurkan diri dari tugas sebagai Uskup Agung Jakarta,” kata kardinal itu.

“Syukur bahwa saya telah menerima uskup agung koajutor yang sewaktu-waktu dapat menggantikan saya.”

Kardinal itu melukiskan pengangkatan paus itu sebagai pilihan yang tepat. “(Uskup Agung Suharyo) memiliki kelebihan-kelebihan yang akan diperlukan untuk berkarya di Keuskupan Agung Jakarta. Beliau tidak hanya memiliki kecerdasan berbasis IQ (Intelligence Quotient) yang tinggi tetapi juga berbasis Emotional Spiritual Quotient (ESQ) yang tinggi,” kata Kardinal Darmaatmadja.

“Beliau adalah doktor teologi kitab suci yang mempunyai wawasan luas. Pemahamannya terhadap peristiwa dan permasalahan selalu tepat dan dalam. Ini merupakan kekayaan bagi Keuskupan Agung Jakarta, dan sebaliknya tentu merupakan suatu kehilangan yang besar bagi Keuskupan Agung Semarang,” lanjut prelatus itu.

Menurut data tahun 2007, Keuskupan Agung Jakarta memiliki sekitar 500,000 umat Katolik yang terbagi dalam 60 paroki di DKI Jakarta serta Tangerang dan Bekasi.

Tuesday, July 14, 2009

Sometimes the truest freedom can only come when we claw our own way out.



I am waiting with my son at the bus stop when he first notices the bird.

"Look Mommy," he says, pointing a chubby finger up at the telephone wires above us. "That bird looks so funny."

I look up, squinting against a white ray of sun. A bird is perched on the telephone wires. He spreads his wings and then stops, then does this again.

"He's dancing," my son says in four-year-old innocence.

"No sweetie," I say. "I think something's bothering the bird." I take a few steps closer and shield my eyes with my hand. I notice a flutter of blue plastic and suddenly I realize what the problem is. The bird has the handle of a plastic bag hanging around its neck. The plastic bag is weighing the bird down and it can't fly. "What should we do?" my son asks, eyes wide, when I tell him of the bird's predicament. I shrug, wishing I could fix things, not knowing how. My son's school bus pulls up and I motion to the teacher who is bus monitor. He steps off the bus and I point up towards the bird. "What should I do?" I ask him.

He clucks his tongue, shakes his head. "Poor thing. Call security. Maybe they'll know what to do."

I kiss my son goodbye and dash back home, running down the three flights of steps to our apartment. I call security.

"There's a bird stuck on a telephone wire," I tell them. "It has a bag around its neck. What should I do?"

"That's not our jurisdiction," the man tells me. "Call Animal Protection."

know it will be hours or longer before someone from animal protection might come and meanwhile the bird is suffering. I run back upstairs and down the block. The bird is still there, this time fighting against the bag, its neck writhing back and forth. I wish the bird would just fly down to the sidewalk and then I could get rid of the bag. The bag is getting tighter around the bird's neck. I can't bear to watch.

I run back home and I call my upstairs neighbor whose parents are veterinarians. She has been known to save various animals in distress in our neighborhood. I describe the situation. "What should I do?" I ask her.

"I could tell you what to do for a cat," she says. "But a bird? I'm really not sure."

I pour myself a bowl of cereal but I can't eat. I'm beginning to formulate a plan. I run next door to my neighbor. She isn't home but her mother is there.

"Sandy, I need your help." I quickly outline the situation. "I think if we can coax it down we can cut the bag off of its neck and set it free."

"We'd need a sheet to catch the bird and keep it still," she says.

I know it's a long shot but I have to do something. We grab a sheet from my linen closet along with a pair of scissors. I take a packet of seeds just in case the bird is hungry. Then the two of us march up the stairs on a mission to save the bird.

When we get to the end of the block, we see the blue plastic bag fluttering on the ground, crackling like dead leaves. The plastic handle of the bag has the mangled marks of a long struggle. A bird soars with explicit freedom in the sapphire skies above us. There is no way of knowing for sure that it is our bird, but somehow I feel that it is.

"I guess that bird won't be needing our services," Sandy says, smiling.

I feel that I have also been set free and I breathe deeply with relief. While slowly walking home towards my bowl of soggy cereal, the profundity of the bird's ordeal becomes clear.

I thought that the bird needed us to save him, but my muddled attempts may have brought more harm than good. The bird needed to chew his own way to freedom.

Aren't we all a little bit like that bird? We wear our sacks of problems like bags tied tight around our necks, stymieing us and averting our ability to take flight. And we wait for salvation from outside -- from our parents, our spouses, our friends, our coworkers -- to cut those pesky bags off of our necks. But their efforts, as sincere and rooted in love as they may be, are often bumbling excuses for the help and love that only we can give to ourselves.

In the Ethics of Our Fathers we are taught, "If I am not for myself, then who is for me?" We are our own greatest advocates. We all need teachers and mentors, but nobody else can change a character trait for us. Nobody else can magically transform us into the people we long to become. That is entirely up to us. We need to learn to spread our wings and take flight even when encumbered by the "plastic bags" of life.

Just like that bird, sometimes the truest freedom can only come when we claw our own way out.

Wednesday, July 8, 2009

BEAUTY and the BEAST


(Personal Spiritual Diary series – Wed,08.07.09)

By David Sutedja

I picked up my friend from Singapore at the hotel. He had to check-out and go with me for the Sunday mass at the nearest parish. I saw those young ladies at the reception desk. For the first time I was impressed by them. Not so much by their beauty (although this is also true), as by their perseverance to remain standing all the time! Out of curiosity I looked for any chair behind the desk. None! I wondered how long each shift is, and I was marveled by the fact that who ever is on the job, she or he has to stand and be alert. They are also at the front line of the hotel. Just next to us, there was a guest checking-out, but for some reason his voice rose of anger. The lady spoke calmly, always with a smile, and soon the problem was solved. I began to see this as a charism of a receptionist.

As Jesus walked by on that street entering the Jerusalem gate, I wonder how the people really saw Him. How many of them pushed their way to be as near as possible to that Man and shouted as loud as possible “Hosanna to the King!” Many did see Him coming, but not all of them were alert. Many wanted to be near, but not all of them wanted to stand at the front line all the time! Many were eager to “talk” about Him, but not all of them were really willing to “walk” with Him. Many put down their clothes and palm branches, but not all of them put down their pride. Many were “cheerful” for that solemn procession, while in reality their “cheerfulness” served to veil their “fearfulness.” The day is coming closer. We are called to talk less and walk more.

The frontline is where we find ourselves striving to stand firm in the midst of false judgments, accusations, and suspicions. It can happen any time, any where, any how. Just keep standing. We need that charism of a receptionist in order to persevere in our faith journey.

Monday, July 6, 2009

THE FIRST SUPERMAN


(Personal Spiritual Diary Series - Mon,06.07.08)

By David Sutedja

I was recently teaching a class on the preternatural gifts and the supernatural gift of grace when one student asked, "I heard a priest once say that Adam and Eve could fly before they sinned. Is that true?"

Interesting idea, but it doesn't have any basis in Scripture or Tradition. Adam and Eve were endowed with special gifts, but I doubt that flying was one of them.

Adam was constituted in a state of grace. This is a supernatural gift. It is super natura ("over nature") because it elevated man to the dignity of communing with God. This ability is absolutely and infinitely beyond any creatures capacity and consequently this gift of grace was supernatural or absolutely beyond human nature.

Man was also given other gifts that were not absolutely beyond his nature, but relatively beyond his nature. In other words, these gifts perfected Adam, but were not entirely beyond his nature (i.e. somewhere between natural human and angel). These gifts are called preternatural gifts from praeter natura ("beyond nature"). They are usually numbered as three: infused knowledge, immortality, and integrity of passions.

The one supernatural gift and the three preternatural gifts bring the number to four and correspond with the Venerable Bede's (and Thomas Aquinas') "Four Wounds of the Fall" since the loss of those four gifts resulted in four wounds:

1. Original Sin (lack of sanctifying grace, and thus righteousness)
2. Ignorance (lack of knowledge)
3. Concupiscence (passions no longer integrated under reason)
4. Mortality and sickness (the body no longer strengthened)

Moreover, these four gifts and their corresponding four wounds pertain to the four powers of the soul:

1. Intellect (corresponding to the cardinal virtue of prudence)
2. Will (corresponding to the cardinal virtue of justice)
3. Concupiscible Appetite (corresponding to the cardinal virtue of temperance)
4. Irascible Appetite (corresponding to the cardinal virtue of fortitude)

We therefore see that the four gifts were gifts pertaining to morality. They were not superpowers (like flying through the air or x-ray vision). However, Christ ascended into Heaven, so maybe there's a chance!

Thursday, July 2, 2009

BUTTERFLY KISSES


(Personal Spiritual Diary Series - Thur,02.07.09)

By David Sutedja

This is actually my ‘sermon’ in Komunitas Basis which I delivered in Indonesian recently. Do you want to hear a terrible bad news? I’ve got one for you. Here it is: we have lost something precious, and we are not aware of it! What is this something very precious? Our sense of guilt! Yes, in the name of human self-fulfillment, we have become more and more allergic to the healthy and necessary sense of guilt. Why is it so? First, we have learned so well how to manipulate others by purposely incur the sense of guilt so that we can gain what we want. Look at relationship between a young man and his girlfriend. This young man can play and get what he wants from his girlfriend simply by replaying again the litany of her mistakes in the past. “Oh I see, you forgot to call me because you don’t love me anymore!” “Oh well, you always prefer your family to me!” “Right, your exam is more important than my love to you!” and on and on and on. That’s why we have no clue of what a healthy and necessary sense of guilt should be.

Second, we keep asking others to understand us. Look at the streets in Jakarta. When it rains, motor bikers will stop under the fly over right at the busy cross street, or just in the under pass tunnel. They don’t care if hundreds of cars are slowed down. All lanes are practically blocked by the parked motor cycles! Or, just look at how people stop at the traffic light. Many of them don’t care if they stop at the far left lane which is supposed for those who want to turn left. The result! All other cars behind are blocked, since there are some drivers who don’t want to wait. When they are reminded, either they get angry, or they show their miserable faces. Whatever they do, it is clear, that implicitly they say, “Please, understand me!” “Please, understand us, it is raining, and we need shelter!” “Please, understand me, I don’t have time to wait in the line!” and on and on and on. What they actually say is, “I’m not wrong! Why do you make a big case out of it?” No wonder, we have really lost our sense of guilt.

Third, we have become excellent liars against ourselves. We know that what we do is wrong, but we can cleverly find excuses, even spiritual and pious ones, that at night before going to bed, we can tap on our own shoulders and say, “Don’t worry, everything is OK!” and go to bed peacefully. This, I think, is the most serious one. Many of us have even begun to see that what is so wrong is OK! Just look at the good and beautiful and logical and theological and spiritual and psychological explanations about your wrong doings. How many times do we really say and admit honestly “Yes, I’m wrong”? Look at how easily we justify ourselves simply by saying, “Well, it just happened!” By saying this, we actually say, “I was not wrong. It was stronger than me. I was just a victim!” How many times we can say plainly, “Yes, I did it, and I know it was so wrong”?

Now, do you want to hear a soothing good news? I’ve got one for you. Here it is: even if we have lost our sense of guilt, even if we can’t say anymore “I’m wrong” or “I’m sorry,” there is a man like us, with flesh and blood who is willing to do it for us, even if this man is totally blameless. His name is Jesus! He is always willing to bear the burden of our mistakes. We even let Him do this. He lost His beautiful figure. He became so unlike any other human beings. We don’t want to look at Him! Yet, on Good Friday, we do exactly this: walking to the crucified and pay respect to Him. Some would touch, while others would kiss.

We do this not with a pity to that Man, but with a pity to ourselves. We kiss not only His wounds, but our own wounds. We don’t want to embrace our sense of guilt and let Him do this by being so inhumanly disfigured, nailed, wounded, and pierced. Yes, when I kiss His wounds, I actually kiss my long lost sense of guilt! Jesus will look from the cross and say gently, “When will you embrace back your healthy and necessary sense of guilt?”

Monday, June 29, 2009

Mirroring


(Personal Spiritual Diary Series - Tue, 24.06.09)

By David Sutedja

I remember something. Queer enough why suddenly it appeared in my mind though it’s holiday. Since I’m a teacher, giiving exams is always exciting. A lot of good lessons can be drawn. Here’s one. Someone can be so sure with the answer. He or she writes and writes and writes (perhaps with thanksgiving prayer to God and with a stronger belief that those candles lit in front of the statue of Mary really work!). At one point he or she realizes that the answer already written is completely wrong. I can see three options here for this student.

First, he or she can apply the correction liquid to cover all that is written with sheer white coat; then he or she write on it. Problem is, some pens are simply not made to write on those shiny-slippery white coats. Even worse, the first page will not look nice at all to the eyes of the teacher. Second, he or she can simply make a line across the first page and write the right answer on the second page. The wrong answer is still there and can be seen clearly, but that line across the page will tell the teacher not to bother with what is written there. Fair enough. Third, he or she can simply toss the answer sheet to the trash bin, walk to the teacher’s desk, and say “I’ve made mistakes. Could I have a new answer sheet, please?”

Imagine I have three students taking those options respectively. Suppose also that the three of them give the “correct answers.” Well, beyond the grading, I can see at least three different ways of dealing with mistakes. Option one: you focus on the mistakes and have a hard time to brush over them, and then pretend that everything is normal and under control. Option two: you recognize the mistakes, but you still hold on them along the way. Option three: you admit that you’ve made mistakes, focus on the new possibilities in the future, and move on.

Now, you see, that this is actually a miniature of our life-stories? Sadly, I’ve met many good Catholics who opt for number one while dealing with their mistakes. Fewer take number two, and not so many are willingly take number three. Why so? Because in a sense many of us like to feel like heroes or heroines while focusing on the mistakes. Many of us enjoy performing on the life-stage and tell the whole world that we are just victims and that we still desperately wrestle with the mistakes done to us.

We all make mistakes. The difference is, some make silly corrections, while some make smart ones. Whatever you choose, it will determine your life story after the mistakes.

Sunday, June 28, 2009

"MYSTERIUM FIDEI"

(Personal Spiritual Diary Series - Sun, 28.06.09)

By David Sutedja

I just attended a relative wedding. It was somewhere in downtown Jakarta. I know this guy, he’s my far away relative. This isn’t his first marriage. This is his second marriage. His first wife passed away because of cancer. He has a son in the age of primary school. Wedding supposes to be a wonderful event. Yes, indeed. But one way of another, I kept thinking of his first wife. I worked with her before for couple of years.

What was in my thought, a kind of concept that really full awaken my conscience that nothing in this world remains eternal. I kept looking people around me. My mother was there. She isn’t remain with me forever too, my wife too. I came home with bundles of impressions. Lucky for me, it’s still holiday.

I have a habit. I like to talk in prayer for hours. I can’t do this except in certain period like holiday. That’s why I don’t like traveling during holiday. My wife should understand this very well ( this isn’t easy for the first period of my marriage) but now she realizes a better opinion of this. ‘Action speaks stronger than merely words’.

Praying for everyone just like talking. I have a best moment of prayer. When I was in Japan, I have a roommate, he’s a muslim. He liked to wake up midnight and had ‘sholat’. Once, I asked him and he explained to me that it’s sholat tahajud, It must be done at midnight. I didn’t know he just joked or what, but he explained that the line to connect between God and us, at midnight, free of any traffic lights.

Well, I began practicing midnight prayer shortly after that. But later, I found out it’s not about free of traffic lights. You know, I stayed in 3rd floor building in Japan, that my mess. When we went up, it’s an open area of roof and you could see the view of Japan. It’s beautiful. I’d like to go up and prayed there at midnight ( one night, somewhow, somebody accidentally locked the door and caused me to be there till morning) . For me, the deep feeling between God and you can be created during midnight prayer. It’s really deep, till you may have that kind of time distortion. You don’t realize it had been hours. The sweetness is unchangeable! It’s just there’s no boundaries between you and Him.

Saturday, June 27, 2009

TEOLOGI PENYANGKALAN DIRI

Dalam abad ke-21 yang lalu dan berlanjut sampai dengan abad ini, kita menyaksikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang luar biasa. Banyak aspek kehidupan manusia yang semakin dipermudah oleh teknologi. Secara khusus, alat-alat elektronik silih-berganti ditemukan untuk membantu manusia. Sebut saja beberapa: mesin cuci, microwave, mesin penghisap debu, kendaraan bermotor, komputer, dan lain-lain. Banyak lagi yang diciptakan bukan hanya untuk membantu, tetapi juga untuk memberikan hiburan bagi manusia, seperti media-media komunikasi elektronik (televisi, radio, internet, telepon), AC, film, dan sebagainya.

Barang-barang yang disebut di atas dan juga barang-barang duniawi lainnya sebenarnya bersifat netral. Artinya, barang-barang itu dari dirinya sendiri tidak bisa dibilang baik atau buruk. Menjadi buruk kalau berdampak buruk bagi hubungan manusia dengan Allah; menjadi baik kalau membuat manusia semakin dekat dengan Allah. Namun, kenyataan yang sering terjadi dewasa ini adalah yang buruk. Menurut Mother Angelica, seorang suster perintis dan pendiri stasiun televisi EWTN (Eternal Word Television Network) di Amerika Serikat, manusia masa kini seumpama anak-anak yang sedang bermain. Mereka bermain hanya untuk mencari kesenangan. Setelah kesenangan itu lewat, mereka beralih ke permainan lain untuk mencari kesenangan selanjutnya. Program-program cinta-diri dan memanjakan diri begitu umum disebarkan. Bahkan ada penceramah-penceramah yang khusus mewartakan 'kabar sukacita' ini, "Cintailah dirimu" atau "Engkau pantas mendapatkannya" menjadi slogan hidup banyak manusia masa kini.

Mungkin Anda bertanya, bukankah Yesus memerintahkan kita untuk mencintai saudara kita seperti diri kita sendiri (bdk. Mat. 22:39; Rm. 13:9)? Benar, tetapi tidak ada satu pun di dalam Kitab Suci tertulis "cintailah dirimu" atau yang senada dengan itu. Sebaliknya, berkali-kali Yesus menegaskan, supaya kita menyangkal diri kita sendiri (lih. Mat. 16:24; Mrk. 8:34; Luk. 9:23). Bahkan di tempat lain Dia mengatakan bahwa barangsiapa tidak membenci nyawa sendiri tidak layak menjadi murid-Nya (lih. Luk. 14:26).

Kalau demikian adanya, apakah maksud Tuhan supaya kita mencintai sesama kita seperti diri sendiri? Yesus bersabda, "...sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka." (Luk. 6:31) Inilah jawabannya: apa yang kaupandang baik untuk dirimu sendiri, lakukanlah itu untuk orang lain. Jika kamu ingin dicintai, cintailah. Jika kamu ingin dihormati, hormatilah. Jika kamu ingin ditolong, tolonglah. Apa pun yang kauharapkan dari orang lain, lakukanlah terlebih dahulu kepada orang lain. Tidak kurang daripada itu! Dalam arti ini, mencintai orang lain pun tidak terlepas dari aspek penyangkalan diri dan pengorbanan diri demi kebaikan orang lain.

Perlunya Penyangkalan Diri

Kebanyakan orang mengira bahwa mereka yang telah lama menjalani hidup saleh tidak perlu lagi menyangkal diri, seolah-olah mereka itu telah mampu mengalahkan segala godaan dengan sendirinya. Kenyataannya tidaklah demikian. Santo Paulus dengan hidup rohani dan pelayanan yang sedemikian mengagumkan tetap harus selalu berkata, "Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak." (1 Kor. 9:27). Santa Margaret dari Cortona, di masa tuanya dan dalam kesucian yang terpancar nyata, tidak pernah melupakan penyangkalan diri sendiri dengan berkata, "Antara aku dan tubuhku harus ada perjuangan sampai mati…"

Jika kita sungguh-sungguh menyadari siapa saja musuh yang harus kita hadapi, pasti kita tidak akan kehilangan kewaspadaan kita. Musuh-musuh kita yang utama ada tiga, yakni dunia, setan, dan daging (diri sendiri). Menurut Santo Yohanes dari Salib, dari ketiga musuh jiwa tersebut, daging adalah musuh yang paling sulit untuk dikalahkan. Paulus sangat menyadari hal ini, seperti yang kita baca dalam Rm. 7:21-26. Menghadapi kelemahan insaninya, dengan sendirinya manusia tidak berdaya. Namun, harus segera ditambahkan bahwa bagaimana pun kelemahan manusia bisa diatasi. Bagaimana?

a. Oleh rahmat Yesus Kristus dalam kuasa Roh Kudus-Nya (bdk. Rm. 7:25).

b. Dengan keterbukaan kita terhadap rahmat tersebut. Kita harus mau dengan tegas hidup dalam rahmat Tuhan dan dengan demikian kita dapat menjauhi dosa. Di sinilah letak perlunya penyangkalan diri, sebagai latihan untuk semakin terbuka terhadap bimbingan dan pimpinan Roh Kudus.

Jadi, penyangkalan diri sungguh-sungguh perlu karena sebagai manusia kita memerlukan latihan untuk mengalahkan diri sendiri dan semakin membuka diri kepada rahmat Tuhan. Banyak orang-orang Kristen yang semula sangat saleh menjadi lemah dan akhirnya bahkan kehilangan imannya, sebab melalaikan yang satu ini. Kata Santo Petrus yang mungkin terdengar kasar namun memang tepat pada sasarannya, mereka ini seumpama, “Anjing kembali lagi ke muntahnya, dan babi yang mandi kembali lagi ke kubangannya.” (2 Ptr. 2:22). Hendaklah kita sungguh-sungguh memperhatikan hal ini.

Motivasi Penyangkalan Diri

Secara umum, ada tiga motivasi seseorang dalam melakukan penyangkalan diri:

a. Motivasi-motivasi duniawi

Dengan motivasi-motivasi ini sebenarnya seseorang tidak melakukan penyangkalan diri kristiani. Orang dapat saja melakukan puasa untuk alasan diet atau yang lebih parah, supaya dianggap saleh. Orang-orang seperti ini “telah mendapat upahnya di dunia ini” (lih. Mat 6:1-2).

b. Untuk memohon sesuatu dari Tuhan

Tindakan penyangkalan diri yang menyertai suatu ujud permohonan, cukup kompleks untuk dijelaskan sebab sangat mengandaikan permohonan apa yang diajukan. Namun, sebenarnya yang perlu diperhatikan di sini hanyalah disposisi batin dari yang memohon. Ada orang-orang, yang secara tidak sadar menganggap tindakan mereka sebagai suatu bentuk ‘sogokan’ kepada Tuhan agar keinginan mereka dipenuhi. Disposisi batin seperti inilah yang keliru. Tuhan tidak bisa dan tidak boleh disogok. Walaupun demikian, orang dapat melakukan penyangkalan diri, seperti puasa, pantang, dan lain-lain, supaya permohonannya dikabulkan Tuhan. Dalam hal ini penyangkalan itu merupakan pernyataan keseriusan dan iman mereka. Biarpun itu bukan yang paling luhur, namun baik juga, sebab kita harus pergi kepada Tuhan secara bertahap. Kalaupun suatu permohonan dikabulkan, hal tersebut tidaklah disebabkan oleh jasa dari kita. Disposisi batin yang tepat adalah disposisi batin seperti Kristus, yang melakukan segala pengorbanan-Nya tanpa memperhatikan kepentingan diri sendiri, melainkan semata demi orang lain. Dan semua dilakukan-Nya dalam kegelapan iman sekaligus kepasrahan yang luar biasa dari seorang anak.

c. Untuk menyenangkan hati Tuhan

Motivasi terakhir ini berkaitan erat dengan motivasi yang kedua sebab perintah cinta kepada Tuhan sama dengan perintah cinta kepada sesama (lih. Mat. 22:39). Cinta yang terbesar adalah cinta dari seseorang yang mau mengorbankan diri demi sahabat-sahabat-Nya (bdk. Yoh. 15:13) dan cinta semacam ini hanya bisa dilakukan dalam cinta kepada Tuhan, yang menghendaki kebaikan bagi setiap manusia. Penyangkalan diri untuk menyenangkan hati Tuhan merupakan penyangkalan diri yang terluhur, yang sama sekali tidak mementingkan diri sendiri, melainkan hanya kehendak Tuhan semata. “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu daripada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” (Mat. 26:39) Inilah motivasi yang paling luhur, namun biasanya orang tidak dapat sekaligus sampai pada motivasi yang demikian itu, melainkan secara bertahap.

Bentuk-bentuk Penyangkalan Diri

Secara manusiawi kita cenderung untuk mencari yang nikmat-nikmat dan menghindari yang membawa kesakitan atau kesedihan bagi kita. Dari kecenderungan dasar ini, secara sederhana kita dapat merumuskan penyangkalan diri sebagai tindakan memilih kesakitan dan menghindari kenikmatan demi Tuhan dan sesama. Umumnya, orang mengartikan penyangkalan diri sebagai suatu bentuk pantang atau puasa, tidak melakukan sesuatu yang menyenangkan secara lahiriah. Padahal, penyangkalan diri tidak hanya itu.

Penyangkalan diri tidak hanya soal tidak melakukan yang menyenangkan saja, melainkan dapat juga berupa usaha-usaha yang sangat positif, seperti memandikan orang yang sakit kusta atau berbuat baik kepada mereka yang menyakiti hati kita. Kita menyangkal diri kita dengan mengalahkan rasa enggan atau jijik demi cinta kepada Tuhan dan sesama. Dengan demikian, kesempatan untuk menyangkal diri menjadi sangat banyak dalam hidup sehari-hari. Seorang gadis yang baru pulang dari sekolah dan melihat ibunya sedang sibuk mencuci baju bisa menyangkal dirinya, mengalahkan rasa enggan dan capeknya, dengan segera membantu ibunya. Seorang anggota KTM (Komunitas Tritunggal Mahakudus, suatu kelompok awam) bisa menyangkal diri dengan mengalahkan keinginannya untuk istirahat dengan menyediakan waktu sebentar untuk berdoa atau membaca Kitab Suci. Seorang pegawai kantor dengan tersenyum kepada teman sekantornya yang telah memfitnahnya, telah melakukan perbuatan mulia menyangkal rasa perseteruan dalam dirinya.

Jadi ada dua bentuk penyangkalan diri:

a. Penyangkalan diri pasif, dalam arti menolak untuk melakukan sesuatu yang menguntungkan diri sendiri demi kebaikan yang lebih tinggi. Misalnya, tidak makan daging selama satu minggu demi keselamatan jiwa-jiwa di api penyucian.

b. Penyangkalan diri aktif, yakni dengan sadar mau melakukan suatu pengorbanan demi cinta kepada Tuhan dan sesama. Misalnya, lebih memilih untuk menemani kakek yang kesepian daripada nonton bersama teman-teman, mengusahakan hadiah ulang tahun yang terbaik bagi orang yang paling tidak kita sukai, dan sebagainya.

Dan ada dua pula sifat penyangkalan diri:

a. Bersifat lahiriah, contohnya: pantang daging, membantu pekerjaan orang lain, memberi sedekah kepada orang miskin, dan lain-lain.

b. Bersifat batiniah, yakni penyangkalan diri yang lebih mendalam daripada sekedar mengorbankan barang-barang atau tenaga fisik kita, tetapi juga mengorbankan kehendak dan keinginan pribadi. Jika penyangkalan yang bersifat lahiriah kadang-kadang masih memberi rasa puas karena telah membantu orang lain, penyangkalan diri batiniah seringkali tidak memberi kepuasan batin bahkan umumnya menyebabkan ketersiksaan dan kegelapan batin. Namun, tidak berarti bahwa orang yang melakukan ini akan kehilangan kebahagiaannya. Menderita tidak berarti harus kehilangan kebahagiaan. Kebahagiaan tidak harus memberikan perasaan puas. Kebahagiaan sejati terletak dalam pengorbanan demi mereka yang dikasihi. Meskipun sifatnya batiniah, penyangkalan diri batiniah tetap diwujudkan dalam tindakan fisik, contohnya: merelakan barang kesayangan, tersenyum kepada mereka yang tidak disukai, menahan diri untuk tidak marah, bersikap lemah lembut meskipun difitnah dan disakiti, mendoakan musuh, dan sebagainya. Seringkali orang menganggap penyangkalan diri semacam ini adalah semacam sikap munafik. Pandangan ini sama sekali tidak benar, karena motivasi penyangkalan diri ini adalah untuk mengasihi Tuhan, dan bukan yang lain. Suatu tindakan menjadi munafik apabila motivasinya didasarkan atas kepentingan diri sendiri.

Sebagai latihan penyangkalan diri baiklah kita melihat daftar dalam Gal. 5:16-26:

a. Yang harus kita hindari adalah

◦ percabulan,

◦ kecemaran,

◦ hawa nafsu,

◦ penyembahan berhala,

◦ sihir,

◦ perseteruan,

◦ perselisihan,

◦ iri hati,

◦ amarah,

◦ kepentingan diri sendiri,

◦ percideraan,

◦ roh pemecah,

◦ kedengkian,

◦ kemabukan,

◦ pesta pora,

◦ dan sebagainya (silakan tambah sendiri).



b. Yang harus kita usahakan adalah:



◦ kasih,

◦ sukacita,

◦ damai sejahtera,

◦ kesabaran,

◦ kemurahan,

◦ kebaikan,

◦ kesetiaan,

◦ kelemahlembutan, dan

◦ penguasaan diri.



LATIHAN

1. Apakah engkau memang menganggap daging sebagai musuhmu? Mengapa?

2. Coba engkau terangkan apa itu penyangkalan diri dengan kata-katamu sendiri.

3. Sebutkan 3 (tiga) saja perbuatan daging yang sungguh-sungguh telah engkau hindari selama satu minggu ini:

a. __________________ b. __________________ c. __________________

4. Demikian juga, sebutkan 3 (tiga) perbuatan roh yang telah engkau usahakan dalam minggu terakhir ini:

a. __________________ b. __________________ c. __________________


Ternyata untuk menyebutkan tiga saja perbuatan daging yang telah kita hindari atau perbuatan roh yang telah kita lakukan seringkali masih sangat sukar. Karena itu, jangan pernah berpuas diri dan lalai. Waspada setiap saat dan kejarlah kesempurnaan! “Hendaknya engkau sempurna seperti Bapamu yang di surga sempurna adanya.” (Mat. 5:48)

Thursday, June 11, 2009

APA TULISAN YESUS DI TANAH?



St. Nikolai Velimirovich (1880-1956) seorang Uskup dan teolog bertalenta yang memadukan pengetahuan tingkat tinggi dengan kesederhanaan jiwa yang tenggelam dalam kasih seperti Kristus dan kerendahan hati, kerap dijuluki Krisostomos Baru karena kotbahnya yang inspiratif sebagai bapa Rohani rakyat Serbia, ia senantiasa mendorong mereka untuk memenuhi panggilannya sebagai sebuah bangsa yang melayani Kristus. Selama Perang Dunia II, ia dipenjara dalam kamp konsentrasi Dachau. Kemudian ia melayani sebagai pimpinan gereja di Amerika, tempatnya wafat.


Suatu ketika, Tuhan Yang Mahakasih duduk di depan Kenisah Yerusalem, memberi makan hati yang lapar dengan ajaran-Nya yang manis. Dan seluruh rakyat datang kepada-Nya (Yoh 8:2). Tuhan bicara pada orang banyak tentang kebahagiaan kekal, tentang sukacita tanpa akhir bagi orang benar di tanah air abadi dalam Surga. Dan mereka bergembira dalam sabda suci-Nya. Kepahitan banyak jiwa yang kecewa dan permusuhan para pendosa lenyap, laksana salju di bawah sinar cemerlang surga. Siapa yang tahu berapa lama adegan ajaib dari damai serta kasih antara Surga dan bumi ini akan berlanjut, bukankah sesuatu yang tak terduga sekarang berlangsung. Sang Mesias yang mencintai manusia tak pemah letih mengajar orang banyak, dan kawanan saleh tak pemah jemu mendengar hikmat yang demikian menyembuhkan dan ajaib.

Namun, sesuatu yang menakutkan, liar, dan kejam terjadi. Kali ini seperti yang sudah-sudah bersumber dari para ahli Taurat dan orang Parisi. Seperti kita semua tahu, para ahli Taurat dan Parisi kelihatan memelihara hukum, tapi sebetulnya melanggarnya. Tuhan kita sering menghardik mereka. Misalnya Ia berkata, Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik !... di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan (Mat 23:27,28).

Apa yang telah mereka perbuat ? Mungkinkah mereka menangkap pemimpin komplotan bandit ? Bukan itu. Mereka membawa paksa seorang perempuan malang berdosa, yang kedapatan berbuat zinah; ia diseret ke muka dengan seloroh kemenangan dan teriakan kasar memekakkan telinga. Sesudah mendorongnya ke hadapan Kristus, mereka berseru, Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah. Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal ini (Yoh 8:4-5; bdk. 1m 20:10, Ul 22:22) ? .

Perkara diajukan dengan cara ini oleh para pendosa, yang mencela dosa-dosa orang lain dan mahir menutupi kekurangan mereka sendiri. Kerumunan orang yang ketakutan menyingkir, memberi jalan bagi sesepuh mereka. Beberapa kabur karena ngeri, sebab Tuhan baru saja bicara tentang hidup dan kebahagiaan, sementara mulut-mulut nyaring ini menuntut kematian.

Pantaslah untuk bertanya mengapa para tetua dan penjaga hukum tidak merajam sendiri si perempuan berdosa ? Kenapa mereka membawanya pada Yesus ? Hukum Musa memberi mereka wewenang untuk merajamnya. Tak seorang pun akan keberatan. Siapa yang protes di zaman kita, ketika hukuman mati dijatuhkan atas seorang kriminal ? Mengapa para sesepuh Yahudi membawa si perempuan berdosa pada Tuhan? Bukan untuk memperoleh keringanan vonis atau grasi dari-Nya ! Tak satu pun hal tersebut ! Mereka menyeretnya berikut rencana jahat yang sudah disiapkan untuk menjebak Tuhan dalam ucapan melawan hukum, sehingga mereka bisa turut mendakwa-Nya. Mereka harap sekali pukul dua nyawa tersingkir, nyawa si perempuan dan Kristus. Apakah pendapat-Mu?

Mengapa mereka menanyai Dia saat hukum Musa sudah jelas ? Sang Penginjil menerangkan niat mereka dalam kalimat berikut, Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya (Yoh 8:6). Mereka sekali mengangkat tangan melawan Dia sebelum merajam-Nya, tapi Ia menghindari mereka. Sekarang mereka punya kesempatan memenuhi hasratnya. Dan terjadi di sana, di muka Bait Salomo, tempat loh perintah tersimpan dalam Tabut Perjanjian, di sanalah Dia, Kristus, harus mengucapkan sesuatu menentang hukum Musa; lalu tujuan mereka tercapai. Mereka akan merajam sampai mati baik Kristus maupun si perempuan pendosa. Mereka jauh lebih ingin merajam Kristus daripada si perempuan, seperti akan mereka perbuat dengan hasrat lebih besar saat meminta Pilatus membebaskan penyamun Barabas menggantikan Kristus.

Semua yang hadir menduga satu dari dua hal ini terjadi; Tuhan dalam belas kasihNya akan membebaskan si perempuan berdosa dan karena itu melanggar hukum, atau Dia akan menjunjung hukum dengan berkata, Lakukan seperti tertulis dalam hukum , dan karena itu mengingkari perintah-Nya sendiri mengenai belas kasihan dan kebaikan penuh kasih. Dalam hal pertama Ia akan divonis mati; dan untuk yang kedua, Ia akan jadi bahan tertawaan dan cemooh.

Saat para penjebak mengajukan pertanyaan, Apakah pendapat-Mu? , sebuah keheningan mati terjadi, kesunyian di antara kerumunan orang yang berkumpul; kesunyian di antara para hakim atas si perempuan pendosa; kesunyian dan nafas tertahan dalam jiwa si perempuan terdakwa. Keheningan besar muncul dalam sirkus besar ketika para pawang hewan buas membawa masuk singa­-singa dan harimau jinak dan menyuruh mereka memperagakan berbagai gerak, mengambil beragam posisi serta melakukan atraksi atas perintah pawang. Tapi yang kita lihat di hadapan bukan pawang binatang buas, melainkan Pawang manusia, sebuah tugas yang jauh lebih sulit daripada yang pertama. Sebab lebih sukar menjinakkan mereka yang liar karena dosa, daripada menjinakkan yang secara alami liar. Apakah pendapat-Mu? sekali lagi mereka memaksa-Nya, terbakar kedengkian, wajah mereka menegang.

Kemudian Legislator moralitas dan tingkah laku manusia membungkuk lalu menulis dengan jari-jari-Nya di tanah, seakan-akan Ia tidak mendengarkan mereka (Yoh 8:6). Apa yang Tuhan tulis dalam debu? Sang Penginjil diam mengenai soal ini dan tak mencatatnya. Terlalu jijik dan keji untuk ditulis dalam Kitab Sukacita. Namun, hal tersebut tersimpan dalam Tradisi Orthodox Suci kita, dan ia mengerikan. Tuhan menulis sesuatu yang tak terduga dan mengejutkan para tetua, penuduh si perempuan pendosa. Dengan jari Ia menyingkap kefasikan rahasia mereka. Sebab siapa yang menunjukkan dosa orang lain merupakan pakar dalam menyembunyikan dosanya sendiri. Tapi sia-sia mencoba menyembunyikan apa pun dari mata Dia Yang Maha Melihat.


M (eshulam) mencuri perbendaharaan Bait Suci, tulis jari Tuhan di atas debu.

A (sher)berzinah dengan istri saudaranya;

S (halum) bersumpah palsu;

E (led) memukul ayah sendiri;

A (marikh) bersemburit;

Y (oel) menyembah berhala.


Demikianlah satu pernyataan menyusul yang lain ditulis pada debu oleh jari mempesona Sang Hakim yang adil. Dan mereka yang padanya kata-kata ini ditujukan, menunduk, membaca apa yang tertulis dengan kengerian tak terlukiskan. Mereka gemetar ketakutan, dan tak berani menatap satu sama lain. Mereka tak berpikir lagi tentang si perempuan berdosa. Mereka hanya berpikir tentang dirinya dan ajal mereka sendiri, yang tertulis di atas tanah. Tak satu pun lidah mampu bertutur, untuk mengucap pertanyaan menyusahkan dan jahat itu, Apakah pendapat-Mu? Tuhan tak bicara apa pun. Yang teramat cemar cuma layak ditulis pada tanah kotor. Alasan lain mengapa Tuhan menulis di atas tanah bahkan lebih mulia dan mengagumkan. Yang tertulis pada debu mudah terhapus dan disingkirkan. Kristus tak menghendaki dosa mereka diketahui semua orang. Kalau la inginkan hal itu, akan diumumkan-Nya di muka semua orang, akan dituntut-Nya mereka dan dibuat-Nya mereka dirajam sesuai hukum. Tapi Dia, Sang Anak Domba Allah tanpa cela, tak memikirkan pembalasan atau kematian bagi mereka yang merancang bagi­Nya seribu kematian, yang menghendaki ajal-Nya melebihi hidup kekal untuk mereka. Tuhan hanya mau memperbaiki mereka, membuat mereka berpikir tentang dirinya dan dosa-dosa pribadi. la hendak mengingatkan mereka bahwa sementara menanggung beban pelanggaran sendiri, seharusnya mereka tidak menjadi hakim kejam atas pelanggaran orang lain. Ini saja yang Tuhan inginkan. Dan setelah hal tersebut usai, debu kembali tersapu, dan apa yang tertulis lenyap.

Sesudahnya Tuhan kita yang mulia bangun dan berkata ramah pada mereka, Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu (Yoh 8:7). Ini seperti seorang yang mengambil senapan dari musuhnya lalu berkata, Sekarang tembak !”. Para hakim congkak atas si perempuan berdosa sekarang berdiri tanpa senjata, layaknya pesakitan di hadapan Sang Hakim, bungkam dan tak bergeming di tanah. Tapi Sang Juruselamat yang murah hati, membungkuk lagi dan menulis di tanah (Yoh 8: 8). Apa yang ditulis-Nya kali ini? Mungkin saja pelanggaran rahasia yang lain, supaya mereka tidak buka mulut untuk waktu lama. Atau bisa jadi la menulis orang macam apakah seharusnya para sesepuh dan pemimpin rakyat. lni tak penting kita ketahui. Yang paling pokok di sini ialah lewat tulisan-Nya di tanah la meraih tiga hasil: pertama, la menghancurkan dan meniadakan badai yang dimunculkan para tetua Yahudi terhadap-Nya; kedua, la membangunkan nurani mati dalam jiwa mereka yang membatu walau cuma sejenak; dan ketiga, la menyelamatkan si perempuan berdosa dari kematian. lni jelas dari perkataan lnjil, Tetapi setelah mereka [para sesepuh] mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggal lah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya (Yoh 8:9).

Pelataran Kenisah mendadak kosong. Tak seorang pun tinggal, kecuali mereka berdua yang divonis mati para tetua, si perempuan berdosa dari Yang Tanpa Dosa. Si perempuan berdiri, sementara la tetap menunduk ke tanah. Keheningan mendalam berkuasa. Tiba-tiba Tuhan bangkit kembali menatap sekeliling, dan saat melihat tak ada seorang pun kecuali si perempuan, Ia berkata padanya, Hai perempuan, dimanakah mereka pendakwamu? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau? Tuhan tahu tak seorang pun menghukumnya; tapi melalui pertanyaan ini Ia berharap memberinya keyakinan, agar dia bisa mendengar dan paham lebih baik apa yang akan Ia sampaikan padanya. Ia bertindak seperti dokter mahir, yang mula-mula menyemangati pasiennya lantas memberinya obat. Tidak adakah seorang yang menghukum engkau? Si perempuan kembali bisa bicara dan ia menjawab, Tidak ada, Tuhan. Perkataan ini terucap oleh makhluk malang, yang sebentar tadi tak punya harapan untuk pernah bicara kata lain, seorang ciptaan yang seakan amat merasakan helaan nafas sukacita sejati pertama kali dalam hidupnya.

Akhirnya, Tuhan Yang Baik berkata pada si perempuan, Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang (Yoh 8: 11). Saat serigala melepas mangsanya, si gembala tentu tak menginginkan pula kematian dombanya. Namun, penting untuk dicermati bahwa sikap tak menghakimi Kristus bermakna lebih daripada sikap tak menghakimi manusia. Waktu orang tak menghakimimu karena dosamu, artinya mereka tak menjatuhkan hukuman bagi dosa, tetapi membiarkan dosa itu bersama dan di dalammu. Namun, ketika Allah tidak menghakimi, ini berarti Ia mengampuni dosamu, menariknya keluar darimu seperti [membersihkan] nanah dan membuat jiwamu bersih. Karena ini perkataan, Aku pun tidak menghukum engkau. bermakna sama seperti, Dosamu sudah diampuni; pergilah putri-Ku, dan jangan berdosa lagi.

Sungguh sukacita tak terperi! Sukacita dari kebenaran! Sebab Tuhan menyibak kebenaran pada mereka yang terhilang. Sungguh sukacita dalam kebenaran! Karena Tuhan menciptakan keadilan. Sukacita dalam belas kasihan! Karena Tuhan menunjukkan kemurahan. Sukacita dalam hidup! Karena Tuhan menjaga kehidupan. lnilah Injil Kristus, artinya Kabar Baik. Inilah Warta Penuh Sukacita, Ajaran Sukacita. Lnilah selembar halaman dari Kitab Sukacita.

Wednesday, June 10, 2009

KUASA ROH KUDUS


"Pada waktu itu berkuasalah Roh TUHAN atas dia, sehingga singa itu dicabiknya seperti orang mencabik anak kambing--tanpa apa-apa di tangannya..."

Ada banyak orang yang merasa tidak mampu untuk mulai berusaha dengan berbagai macam alasan. Tidak punya modal misalnya, itu menjadi alasan yang paling sering saya dengar. Tidak punya keahlian khusus, pendidikan rendah, tidak ada koneksi dan sebagainya. Lucunya, banyak diantara mereka hanya tenggelam dalam ketidakmampuan tanpa melakukan apa-apa, dan terus menyalahkan kondisi mereka. Banyak diantara kita yang lupa bahwa tanpa Tuhan kita bukanlah apa-apa. Memiliki keahlian tentu saja bisa menjadi alat yang sangat berguna untuk bekerja. Jika anda beruntung memiliki modal tentu saja bisa sangat membantu untuk memulai sebuah usaha. Namun di atas itu semua, jangan lupa bahwa kita butuh Roh Tuhan dalam hidup kita. Roh Tuhan akan membimbing kita, memampukan kita untuk bekerja bahkan lebih dari apa yang kita kira. Anda akan terheran-heran apabila kuasa Roh Kudus bekerja. Saya berulangkali sudah membuktikannya sendiri.

Pagi ini saya memulai hari dengan ayat yang saya jadikan ayat bacaan hari ini. Simson adalah manusia seperti halnya kita. Tapi sungguh luar biasa ketika Alkitab mencatat bahwa Simson mampu mencabik-cabik seekor singa, dan perhatikan: tanpa apa-apa ditangannya. Simson tidak dikatakan memiliki golok, atau senjata lainnya untuk melawan singa. Dia melakukan itu dengan tangan kosong. Bagaimana Simson mampu melakukan itu? Itu terjadi karena Roh TUHAN berkuasa atas dia. Tanpa Roh Tuhan, mungkin Simson akan berusaha lari terbirit-birit menyelamatkan diri, atau mungkin pasrah dirobek-robek oleh singa. Tapi tidak demikian, karena ketika Roh Tuhan berkuasa atas hidupnya, dia mampu melakukan pekerjaan yang begitu mustahil sekalipun. Dalam kisah lainnya, kita melihat betapa Mikha menyadari bahwa kemampuannya untuk menyampaikan pesan Tuhan bukanlah semata-mata karena kehebatannya, namun itu semua bisa terjadi karena Roh Tuhan. "Tetapi aku ini penuh dengan kekuatan, dengan Roh TUHAN, dengan keadilan dan keperkasaan, untuk memberitakan kepada Yakub pelanggarannya dan kepada Israel dosanya." (Mikha 3:8). Ada kuasa luar biasa dalam Roh Kudus yang sanggup memampukan kita melakukan perkara-perkara yang besar.

Kita harus mulai menyadari bahwa dalam hidup ini kita butuh kehadiran Roh Kudus lebih dari kebutuhan kita akan modal, skill dan lain-lain. Itu sebabnya dalam Galatia 5:25 jelas tertulis bahwa kita harus hidup dan dipimpin oleh Roh. "Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh." Kita bisa belajar dari kisah Simson berhadapan dengan singa diatas, bahwa Roh Tuhan mampu memungkinkan hal-hal luar biasa terjadi dalam hidup kita, meski kita tidak punya apa-apa. Lebih dari itu, hidup yang dipimpin oleh Roh Allah akan menjadikan kita sebagai anak Allah. "Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah. Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: "ya Abba, ya Bapa!" (Roma 8:14-15). Roh Allah bukanlah roh perbudakan yang membuat kita senantiasa takut, bimbang dan ragu, terperangkap dalam segala kelemahan dan kekurangan kita, tapi Roh Allah adalah Roh yang memerdekakan. "Sebab Tuhan adalah Roh; dan di mana ada Roh Allah, di situ ada kemerdekaan." (2 Korintus 3:17).

Orang yang hidup dengan dipimpin oleh Roh Kudus adalah orang yang mematikan segala perbuatan kedagingan dalam hidupnya. "hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging. Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging--karena keduanya bertentangan--sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki." (Galatia 5:16-17). Agar kita bisa hidup dipimpin oleh Roh Kudus, hendaknya kita mampu mematikan berbagai perbuatan kedagingan seperti percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya seperti yang tertulis dalam Galatia 5:19-21.


Dalam hidup kita, seperti halnya Simson kita pun berhadapan dengan "singa-singa ganas", yaitu masalah, kesulitan, pergumulan, masalah keuangan, sakit penyakit dan penderitaan lainnya, yang setiap saat bisa merobek-robek kita. Tapi dengan kuasa Roh Allah yang memerdekakan, kita sanggup merdeka dari segala beban masalah yang menghimpit kita. Mari kita buka hati kita hari ini kepada Roh Kudus, hiduplah penuh dalam pimpinanNya. Betapapun kecilnya kita, dalam Roh Tuhan kita dapat melakukan perkara-perkara besar! Bahkan perkara-perkara yang menurut logika anda dan manusia lainnya adalah mustahil. Kita manusia yang terbatas, tapi Tuhan yang kita sembah tidak terbatas. Hidup dalam Roh Tuhan akan memampukan kita melakukan hal-hal luar biasa bahkan di luar batas kemampuan kita.

Manusia yang "kecil" sanggup melakukan perkara besar dengan kuasa Roh Kudus

Wednesday, June 3, 2009

TEOLOGI APOLOGETIKA : ABORSI & EUTANASIA


Aborsi

Perdebatan tentang Aborsi tidak pernah berakhir. Ada dua kelompok yang bertikai, yaitu kelompok “ pro choise” dan kelompok “pro live.” Kelompok pro choise menyetujui legalisasi aborsi. Sedikitnya ada dua alasan yang mereka kemukakan yaitu bahwa manusia adalah mahluk bebas yang mengatur dirinya sendiri termasuk mengenai tindakan abortif. Alasan kedua berkaitan dengan awal kehidupan manusia. Kapan manusia disebut manusia? Sedangkan kelompok pro live menentang legalisasi aborsi. Kelompok ini melihat bahwa manusia disebut manusia ketika ia masih berada dalam kandungan ibunya, ketika terjadi pertemuan sel telur dan sperma. Karena itu kelompok ini berusaha untuk memperjuangkan kehidupan manusia terutama janin.

Dalam dokumen yang dikeluarkan oleh Kongregasi Ajaran Iman, 2005 mengatakan:
“Tradisi Gereja selalu mengajarkan bahwa hidup manusia harus dilindungi sejak awal maupun dalam aneka tahap proses perkembangannya. Dalam Didache (bentuk pengajaran yang bukan Injil yang berasal dari abad pertama) dikatakan: jangan membunuh buah rahimmu dengan aborsi dan jangan membunuh anakmu yang sudah lahir” (art 5).

Jadi tradisi larangan aborsi sudah ada sejak abad-abad pertama, bahkan sudah dikenal pada Jaman filsaat Yunani kuno. Salah satu isi sumpah Hippokrates (Filsuf Yunani kuno) yang terkenal dengan sumpah kedokteran adalah larangan untuk melakukan aborsi bagi para dokter.

Menurut Santo Thomas, aborsi merupakan dosa berat, karena bertentangan dengan hukum kodrati. Maka Konsili Vatikan II menolak keras aborsi: “Kehidupan harus dilindungi dengan amat seksama sejak pembuahan, aborsi dan pembunuhan anak adalah kejahatan yang durhaka (art 7). Hak pertama bagi manusia adalah hak hidup. Kehidupan itu harus dilindungi. Maka dengan pembuahan sel telur mulailah hidup baru, yang bukan hidup ayah dan bukan hidup bunda, melainkan hidup makluk baru, yang tumbuh sendiri. Tidak pernah ia menjadi manusia, jikalau ia tidak sudah manusia sejak awal (art 12).

Paus Yohanes Paulus II dalam Evangelium Vitae mengatakan: “Di antara semua kejahatan yang dapat dilakukan manusia melawan kehidupan, aborsi mempunyai ciri-ciri yang membuatnya menjadi amat berat dan durhaka. Yang dibunuh di sini ialah manusia, yang baru memulai kehidupan, artinya mutlak sama sekali tidak bersalah: hidup itu tidak pernah dapat dianggap sebagai penyerangan, apalagi penyerangan yang tidak adil! Ia lemah, tidak dapat membela diri sendiri, sehingga tanpa sedikit pun perlindungan, seperti nyata dari jeritan tangis anak yang baru lahir. Ia sepenuhnya diserahkan kepada perlindungan dan perawatan orang yang mengandungnnya. Akan tetapi kadang-kadang justru dialah, ibunya, yang memutuskan kematiannya, mencari aborsi dan melaksanakannya (art 58). Manusia sejak pembuahan harus dihormati dan diperlakukan sebagai pribadi maka sejak itu hak-hak pribadi manusia harus diakui, dan hak pertama yang tidak dapat diganggu gugat ialah hak atas hidup, yang dimiliki setiap manusia tidak bersalah.” Karena itu perintah Allah “jangan membunuh”, juga diterapkan dalam hidup yang belum lahir.

Eutanasia

Aborsi berkaitan dengan awal kehidupan manusia sedangkan Eutanasia berkaitan dengan akhir kehidupan manusia. Kedua-duanya merupakan “budaya maut” (Culture of Dead). Eutanasia secara etimologis berarti kematian tanpa penderitaan, tanpa rasa sakit yang berlebihan. Maka Eutanasia berarti kematian “bahagia.”

Dewasa ini arti eutanasia berkaitan dengan intervensi kedokteran untuk mengurangi rasa sakit penyakit atau pergumulan dengan kematian dan kadang-kadang ada bahaya mengakhiri hidup sebelum waktunya. Akhirnya istilah ini dipakai dalam arti yang lebih sempit yakni “membunuh karena kasihan” dengan maksud mengakhiri rasa sakit yang ekstrem, atau untuk tidak memperpanjang penderitaan anak-anak dengan cacat kelahiran, orang sakit tidak tersembuhkan, orang sakit jiwa, atau orang tua yang secara ekonomis tidak produktif lagi dan membebani keluarga dan masyarakat.

Apa pun artinya, Eutanasia jelas melanggar hukum ilahi, melecehkan martabat pribadi manusia, kejahatan melawan kehidupan dan serangan terhadap umat manusia. Allah adalah pencipta kehidupan maka hanya Dia yang berhak mengakhiri kehidupan ciptaan-Nya. Dalam hal ini manusia tidak mempunyai hak.

Tugas manusia adalah melindungi dan menghormati kehidupan yang telah diciptakan Allah. Orang sakit memerlukan kasih, perhatian, kehangatan, pendekatan manusiawi dan adikodrati yang dapat dan harus diberikan semua orang dekat, orang tua dan anak-anak, dokter dan perawat. Bagaimana kalau pasien sendiri yang meminta untuk dieutanasia? Menurut ajaran Gereja, orang tidak boleh menafsirkan permintaan mendesak orang sakit berat yang meminta kematian sebagai kemauan untuk dieutanasia, karena hampir selalu itu berarti jeritan cemas, minta tolong dan kasih (Eutanasia, hlm.9).

Membahas persoalan Eutanasia Evangelium Vitae diawali dengan menampilkan hak Allah. “Akulah yang membunuh dan menghidupkan.” (Ul. 32:39) Maka melakukan tindakan Eutanasia berarti membuat diri manusia menjadi tuan atas kematian dengan mendatangkannya sebelum waktunya dan dengan demikian mengakhiri kehidupan diri sendiri atau orang lain tanpa penderitaan (Evangelium Vitae, 64).

Eutanasia harus dianggap sebagai belas kasih yang keliru karena belas kasih sejati adalah sikap solider dengan penderitaan sesama dan tidak membunuh orang yang penderitaannya tidak tertahankan. Jalan kasih dan belaskasihan sejati yang diperintahkan kemanusiaan bersama kita dan lebih jelas dengan alasan baru oleh iman kepada Kristus, penebus yang telah wafat dan bangkit. Paulus mengatakan:
“Tidak seorang pun hidup bagi dirinya sendiri, kalau kita hidup, kita hidup bagi Tuhan dan kalau kita mati, kita mati bagi Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan.” (Rm. 14:7-8)

Kepastian mengenai keabadian mendatang dan harapan akan kebangkitan yang dijanjikan menerangi misteri penderitaan dan kematian dan memenuhi kaum beriman dengan daya istimewa, untuk menyerahkan diri kepada rencana Allah (EV, 67).