Saturday, September 25, 2010

APA atau SIAPA KEBENARAN?


Pontius Pilatus berdiri di hadapan Yesus Kristus, bertanya kepada-Nya, “Apa itu Kebenaran?”

Dia sebenarnya menanyakan sebuah pertanyaan yang salah. Kalau dia bertanya, “Siapa Kebenaran,” Yesus akan menyatakan diriNya sebagai “Kebenaran” kepadanya.

Ketika Yesus menyatakan di dalam Yohanes 14:6,”Akulah jalan, dan kebenaran dan hidup”, maka wacana tentang kebenaran mempunyai dimensi yang berbeda, kebenaran itu adalah pribadi Yesus.

Ketika Yesus menyatakan dirinya bahwa dirinyalah Sang Kebenaran, maka sebenarnya pertanyaan yang relevan ketika berwacana tentang kebenaran adalah “Siapa (Sang) Kebenaran?”. Ketika kebenaran itu terwujud di dalam pribadi Kristus, maka kebenaran adalah pribadi Yesus. Dan kita tidak menanyakan sesuatu yang bersifat personal dengan pertanyaan “apa”, tetapi “siapa”.

Pertanyaan yang menggunakan kata tanya “Apa” rasanya tidak tepat digunakan untuk mendapatkan penjelasan tentang seorang pribadi. Pertanyaan dengan menggunakan kata tanya “Apa”, sangatlah cocok dipasangkan pada sesuatu yang impersonal. Namun pertanyaan yang menggunakan kata tanya “Siapa”, akan selalu berkaitan dengan sesuatu yang bersifat personal, yang menunjuk kepada seorang pribadi.

Wacana kebenaran tersebar luas di dalam berbagai pandangan, namun sebuah revolusi terjadi ketika kebenaran itu mewujud di dalam seorang pribadi yang agung dan mulia, Yesus Kristus. Ketika kebenaran adalah di dalam Yesus Kristus, bagaimana saya bisa mengalami kebenaran tersebut?

Terdapat dua istilah yang menjadi dasar di dalam membicarakan kebenaran, yaitu kebenaran karena usaha manusia sendiri, dan kebenaran yang berasal bukan dari diri kita, tetapi kebenaran yang diberikan/dianugrahkan kepada kita. Seseorang mendapat upah berdasarkan apa yang dia usahakan, apa yang dia tuai adalah hasil dari apa yang dia tabur. Ketika ada aksi maka ada reaksi. Semua hukum yang berlaku di seluruh dunia menyetujui hal ini. Kemudian pertanyaan yang mengikutinya adalah, apakah ada orang menjadi “benar” ketika dia mendasarkan kebenarannya berdasarkan apa yang dia usahakan?

“Tidak ada yang benar, seorang pun tidak”, sejujur itulah sebenarnya pengakuan yang saya miliki. Kebenaran kita seperti debu dihadapkan kepada kebenaran Allah. Saya pun tahu saya tidak bersaing dengan Allah di dalam kebenaran.

Jadi bagaimana saya boleh mengalami kebenaran itu, jikalau tidak ada seorang pun benar. Apakah dengan segala hukum saya akan mengalami kebenaran, atau justru saya semakin menyadarkan saya bahwa di dalam banyak hukum terdapat banyak pelanggaran?

Apakah saya bisa bermegah karena kebenaran saya sendiri?

Tetapi syukur kepada Allah, kebenaran itu adalah Isa Almasih, Sang Kebenaran telah menyatakan dirinya, supaya manusia mengenal kebenaran. Dan Sang Kebenaran itu hidup, dia tidak tergantung kepada usaha dan perbuatan manusia untuk kita bisa mengenalnya, kecuali Sang Kebenaran itu berkasih karunia menyatakan diriNya kepada kita, oleh anugrahNya yang ajaib.

Mengalami Kristus adalah mengalami kebenaran yang sejati. Itulah misteri yang dicari sepanjang zaman, yang telah diungkapkan kepada kita semua, tetapi manusia lebih menyukai kebenarannya sendiri dibandingkan kebenaran Allah.

Kebenaran bukan agama, kelompok keagamaan yang benar, ajaran-ajaran dari beberapa orang besar atau perempuan, suatu badan pengetahuan, yang “benar” buku, yang dalam filsafat, konsep yang benar atau serangkaian hukum atau prinsip-prinsip yang mengatur. Tidak pernah dapat dipastikan melalui “metode ilmiah” , logika atau penalaran. Semua ini adalah instrumen yang masih jauh dari kemampuan untuk memahami “Kebenaran”. Kebenaran telah hadir di dalam soerang pribadi dan hanya dapat diketahui melalui sebuah relasi yang intim dan mendalam dalam sebuah perjanjian (covenant). Perjanjian tersebut adalah pertukaran hidup. Kita tidak akan pernah mengetahui kebenaran sampai “Kebenaran” menjadi hidup Kita dan hidup Kita menjadi hidup-Nya. Memerlukan kebenaran mutlak, penyerahan total kepada Anak Allah. Ini adalah pertukaran hidup dalam cara yang paling intim di alam semesta. Inilah makna penebusan. Ini adalah perkawinan jiwa. Ini adalah ikatan yang membebaskan. Ini adalah sebuah paradoks. Dan ketika kita memasukkan paradoks ini, kita akan benar-benar bebas dan kita kemudian akan mengetahui apa sebenarnya Cinta Sejati.

Ketika Yesus Kristus mengatakan, “Akulah jalan, dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun sampai kepada Bapa jikalau tidak melalui Aku.” Kebenaran itu mejadi bagian yang tidak terpisahkan dari diriNya. Dia yang adalah kebenaran itu menjadi dasar pembaruan relasi kita dengan Allah. Kita boleh mengalami kebenaran karena relasi kita dengan Sang Kebenaran. Kita diberi anugrah mengalami kebenaran yang relasional, sebagai akibat dari kebenaran yang diberikan/dianugrahkan kepada kita.

Pertanyaan tentang kebenaran adalah untuk menjawab siapa kebenaran tersebut. Kristus dengan tegas menyatakan Akulah Kebenaran. Ketika Kristus mengatakan bahwa diriNya lah kebenaran yang sejati, maka kebenaran itu ekslusif miliknya. Saya bisa mengalami kebenaran itu jikalau Yesus Kristus sendiri menganugrahkan kebenaran tersebut kepada kita, kebenaranNya menjadi milik kita, kita dibenarkanNya, dan keberanNya itu memerdekakan.

Wednesday, September 8, 2010

FILSAFAT


Seorang murid mengeluh kepada gurunya “bapak menuturkan banyak cerita, tetapi tidak pernah menerangkan maknanya kepada kami. Jawab sang guru, Bagaimana pendapatmu, Nak, Andaikata seseorang menawarkan Buah padamu, apakah ia mengunyahkannya dahulu bagimu? (Anthony de Mello, Burung Berkicau)





Sunan Gunung Djati-Filosofistik atau pengetahuan megenai filsafat belumlah berarti berfilsafat. Belajar filsafat bukan hendak menjadi “ahli waris” seluruh pemikiran yang telah tertulis. Bukan pengulangan kembali, melainkan pengambilan kembali untuk penciptaaan ulang. Berfilsafat merupakan suatu cara berpikir yang tidak bersumber pada suatu rangkaian kepercayaan, akan tetapi yang hanya berdasarkan pada pengalaman dan pemikiran dari pemikir sendiri. “Filsafat bukanlah suatu pemujaan terhadap sesuatu yang suci, akan tetapi suatu usaha untuk memperoleh pengertian sendiri”[1]

Belajar filsafat sebagai ikhtiar menemukan pemahaman yang jernih tentang segala sesuatu (terutama perihal dirinya sendiri) merupakan makna dari filsafat sendiri. Filosophia adalah “keinginan menjadi arif”, dan kegiatan belajar tentu saja berada dalam keinginan yang sama. Seorang pembelajar seharusnya terus-menerus menegaskan pada dirinya bahwa ia bukanlah “orang-orang yang arif” (sofis) walaupun telah menemukan banyak informasi dan wawasan, pembelajar yang baik adalah yang terus menerus penasaran pada soal bagaimana menjadi arif itu.

Ada perbedaan antara kepandaian dan kearifan. Kepandaian adalah kemampuan untuk menunjukkan semata-mata secara rasional apa yang dapat kita wujudkan dari data-data melalui bertukar pikiran secara logis. Kearifan adalah sikap untuk mengambil suatu pendirian tertentu dalam kehidupan kita berdasarkan hasil kepandaian tadi. Untuk dapat benar-benar hidup, kita harus mempunyai perspektif (cara memandang) atas kehidupan ini dan dengan itu atas kenyataan hidup yang dialami. Kearifan akan membawa seseorang ke dalam suatu kenyataan tertentu sedemikian jauh, sehingga ia mengerti tentang apa yang dipermasalahkannya. Seseorang bisa saja terlihat pandai, namun ia hanya mengkatakan perspektif orang lain bukan perspektif dirinya, bukan hasil olahan dari apa yang benar-benar dialaminya secara mendalam. Sebaliknya, seorang bijak adalah yang tak menunjukkan kepandaiannya namun dapat menunjukkan cara pandang baru yang menyelamatkan kediriannya.

Belajar filsafat berarti belajar untuk berhasrat pada kearifan atau belajar untuk mencintai kearifan. Kearifan bukan sejenis benda yang bisa diambil dari luar diri untuk dimiliki, kearifan dihasilkan dari penyadaran akan diri pribadi. Kearifan secara demikian tak bisa dipelajar dan tak ada satupun yang bisa mengajarkannya. Ia hasil dari mengalami kehidupan pribadi dengan cara bercermin kepada pengalaman hidup orang lain. Belajar sejarah filafat yang dipenuhi oleh kisah filsuf, kegelisahannya, pertanyaan yang diajukannya, dan upaya untuk mencar jawabannya hanya berarti jika kita menganggapnya sebagai sebuah cermin. Cermin itu memantulkan manusia yang wajahnya sama dengan diri kita, ia bukan dewa-dewa yang teramat suci. Penganggapan bahwa mereka juga manusia akan memudahkan kita untuk membandingkan kedirian kita dengan mereka. Hal ini dapat membebaskan kita dari rasa takut untuk berbeda dengan mereka, filsuf-filsuf itu.

Keterbebasan dari rasa takut ini penting bagi proses pembelajaran. Kita yang selama ini dididik dalam rasa takut dan rasa malu telah merasakan penderitaan terkekang di bawah bayangan yang tak menentu. Semenjak sekolah dasar kita belajar untuk takut dan malu pada guru, takut dan malu membuat kesalahan, takut dan malu untuk berbeda. Barangkali ini berasal dari pola pendidikan yang menekankan pada kemampuan untuk menjawab segala persoalan dan mengharuskan kesamaan dalam menjawab segala sesuatu. Untuk itu, banyak rumah di negeri ini pernah merasa penting untuk memiliki Buku Pintar yang berisi seluruh pengetahuan yang bisa menjawab soal-soal secara tepat dan sama. Rasa takut itu kemudian menekan seluruh keinginan untuk menyatakan kesadaran kita yang sejati dan perasaan yang sebenarnya akan sesuatu. Rasa takut dan malu itu membuat kita tidak memiliki keyakinan bahwa kita bisa memberikan cara pandang yang berbeda dengan orang lain, akhirnya membuat kita tidak pernah merasa yakin pada diri sendiri.

Dalam rasa takut dan rasa malu kita menjadi pecundang dalam segala hal. Situasi reformasi mementaskan kepecundangan kita. Begitu kebebasan dikumandangkan, kita menemukan diri kita kebingungan untuk melakukan pembentukan formasi baru bagi kehidupan bernegara. Kebebasan dirayakan, namun dalam kerangka rasa takut dan rasa malu. Karena kita takut disalahkan, kebebasan digunakan untuk menyalahkan institusi, untuk menunjuk hidung orang lain. Karena kita malu akan kelemahan yang dimiliki, kita segera menunjukkan kelemahan orang lain. Pada sisi yang lain, ada banyak orang yang menentang proses pembukaan sejarah hitam negeri ini atas dasar rasa malu. Korupsi, Kulusi dan Nepotisme yang hendak dibersihkan tak selesai-selesai karena rasa malu dan rasa takut itu begitu menguat. Alhasil, kita malu dan takut untuk secara terus terang mengakui kesalahan diri kita masing-masing; persis seperti dulu di bangku sekolahan ketika kita malu dan takut untuk bertanya pada guru/dosen di depan kelas.

Filsafat adalah cara untuk menemukan keberanian dalam merumuskan diri sendiri. Dalam filsafat kita menemukan kegelisahan yang tak kunjung habis, pertanyaan-pertanyaan yang terus tidak menemukan kepastian jawaban, dan jawaban-jawaban yang semula dianggap final namun kemudian ditemukan celanya. Kesemuanya ditemukan dalam formasi yang wajar, maksudnya kesalahan dalam filsafat tampak sebagai suatu kemestian manusiawi dan karena itu tak perlu ada rasa takut dan malu terhadap kesalahan. Dalam filsafat kita menemukan banyak cara pandang yang berbeda terhadap satu soal, dan semuanya begitu tak menjadi soal bahkan kemudian menghasilkan kesadaran-kesadaran yang luar bisa. Cara pandang yang berbeda sangat penting bagi kita saat ini, terutama karena kita telah disadarkan oleh proses perubahan sosial bahwa kesamaan cara pandang alih-alih menyelesaikan masalah malah mengekalkan masalah. Dalam dapat belajar bagaimana merumuskan masalah dari apa yang semula dianggap tidak ada masalah. Melalui cara ini kita jadi terpancing untuk mulai lagi merumuskan diri dan kehidupan kita secara baru, bukan dari hal besar dari apa yang menjadi basis dari kehidupan kita: yang remeh dan tak diperdulikan.

Filsafat yang kerap didefinisikan sebagai “hasrat akan kearifan” membuat siapapun yang bersentuhan dengannya tersedot pada hasrat itu. Dalam hasrat terhadap kearifan, kita akan malu ketika merasa diri sebagai sang arif, yang telah arif dan tak mungkin melakukan kesalahan. Terlebih pengakuan diri sebagai sang arif dalam sejarah filsafat ditulis dalam nada miring, yaitu sebagai kaum sofis yang menjajakan kepandaiannya untuk memanipulasi orang lain dengan bayaran tertentu.

Dalam kancah seperti ini, guru/dosen dan murid/mahasiswa tidak berbeda: semuanya memiliki posisi yang sama sebagai pencari yang berhasrat akan kearifan. Murid/mahasiswa yang sering dianggap sebagai orang-orang yang belum tahu, karena itu ia bersedia mencari untuk mendengar dan memperhatikan; dan guru/dosen yang kerap mereka yang tahu dan telah belajar, pandai, dan yang menyampaikan pengetahuan dan pandangan mereka; tidak ditemukan lagi ketika kita belajar filsafat. Dalam berfilsafat tak ada seorangpun yang “telah tahu” atau telah menemukan kepastian kebenaran. Bukankah filsafat berarti “hasrat menemukan kebenaran”, selagi definisi ini digunakan tak ada satu orangpun yang merasa telah sampai, karena itu tak ada yang bisa menjadi guru dalam arti “telah tahu”. Guru-murid berada dalam relasi mencari kebenaran dengan hasrat yang dalam. Perbedaannya terletak pada cara, guru mencari kearifan dengan cara menceritakan apa yang sudah ia alami (dari kehidupan dan buku-buku yang telah dibacanya) sedangkan murid mengemukakan hasratnya dengan secara tulus mendengarkan dan membaca uraian filsafat sambil menerapkan dalam pengalaman kehidupannya.

Dalam belajar filsafat ada aturan yang disarankan untuk diterapkan sejak awal, hukum itu berbunyi:

“…apa arti gagasan-gagasan mereka untuk para filsuf itu sendiri, apa nilai gagasan-gagasan itu dalam diri sendiri dan apa nilainya bagi kita: itulah ketiga pertanyaaan yang senantiasa harus diajukan orang dalam menyelidiki sejarah filsafat, meskipun secara didaktis atau eksplisit tidak selalu mungkin atau tidak selalu perlu diajukan secara terpisah…”[2]

Lewat cara ini, semua murid dianjurkan secara bebas untuk mengaitkan seluruh pemikiran dengan kondisi dirinya, dengan kesadaran dan hasratnya yang murni. Pada titik ini, ungkapan Wittgenstein, “Filsafat bukan ajaran melainkan suatu usaha” menjadi terasa. Filsafat bukan ajaran karena itu kita tak langsung harus percaya dan membelanya mati-matian, filsafat adalah usaha untuk menemukan kebenaran berdasarkan diri sendiri setalah bercermin dari kebenaran yang telah teruji.

Ketiadaan rasa malu dan takut, kepercayaan pada perbedaan, keyakinan bahwa diri sendiri mampu memecahkan pemecahan akan soal-soal kehidupan menjadi hasil lanjutan dari belajar filsafat. Hal ini mungkin kedengarannya agak berlebihan, untuk itu kisah Sophie dalam novel Jostein Gaardner, Sophies World bisa dikemukakan. Sophie, pada suatu pagi menemukan pertanyaan-pertanyaan aneh: siapakah kamu? Darimanakah datangnya Dunia? Dua pertanyaan itu membuatnya kebingungan, kenapa ada pertanyaan seperti itu? Untuk apa merumuskan pertanyaan sekonyol itu? Bukankah semuanya sudah tergelar dan begitu saja ada?

Lalu ditemani Albert Knox, lelaki misteriur, ia mengembara dari satu pemikiran filsuf ke pemikiran filsuf yang lain: dari Thales sampai Sartre. Dari banyak filsuf itu ia belajar merumuskan jawaban atas masalah kehidupannya. Dari Filsuf Yunani awal Sophie menemukan keajaiban berpikir dari hal-hal yang kecil dan remah seperti air, api atau lainnya; dari filsuf modern ia mendapatkan cara menganalisa kenyataan-kenyataan yang semula dianggap telah lazim; kemudian dari Sartre ia mendapatkan kesimpulan bahwa manusia tidak memiliki sifat untuk bergantung, manusia menciptakan dirinya sendiri. Seluruh penjelajahannya itu dirumuskan ulang untuk menjadi bekal perumusan situasi hidupnya, lalu Sophie menyatakan:

“Setelah melakukan telaah filsafat yang mendalam –yang dimulai dari Filosof Yunani awal hingga zaman sekarang—kami mendapati bahwa kami menjalani kehidupan kami dalam pikiran seorang mayor PBB di Lebanon….Eksistensi kita karenanya tidak lebih atau kurang dari semacam hiburan ulang tahun bagi Hilde Moller Knag (anak mayor tersebut). Kita semua telah diciptakan sebagai suatu kerangka bagi pendidikan filsafat untuk putri sang mayor. Ini berarti, misalnya, bahwa Mercedes putih di gerbang itu tidak berharga satu sen pun. Itu hanya barang sepele. Nilainya tak lebih dari Mercedes putih yang melaju berputar-putar di kepala seorang mayor PBB yang malang…”[3]

Sophie dan Albert Knox kemudian merealisasikan kegelisahan dan rumusan baru atas kehidupan yang mereka alami. Mereka berdua meninggalkan handai tolannya, keluar dari cerita novel dan berniat mendatangi Hilde dan Mayor. Handai tolannya, tentu merasa aneh dan menganggap semua keputusan Sophie sebagai tindakan sinting. Namun Sophie menjawab, “…Anda dan siapapun yang lain di sini tidak akan merindukan kami karena alasan yang sederhana, yaitu kalian tidak ada, kalian tak lebih dari bayang-bayang.”[4] Lalu Sophie dan Albert Knox mendatangi danau peristirahatan Hide dan Mayor dan melepaskan dayung perahu. Hanya itu yang mereka bisa lakukan setelah berfilsafat? Ya, tetapi itu masih lebih baik karena sudah merumuskan dirinya sebagai tidak sekadar tokoh novel dan menunjukkan daya kreasi di luar kehendak pengarangnya.

Kita mungkin juga tengah menjalani “kehidupan dalam pikiran seorang”, namun tidak pernah menyadarinya. Sophie dan Alberto Knox, lewat penjelajahan di dunia filsafat, bisa melakukan itu, yaitu menemukan simpulan yang menggerakkan kesadaran bahwa menjadi manusia berarti tak bergantung pada siapapun, menjadi manusia berarti merumuskan dirinya sen`diri. Situasi inilah yang barangkali ingin dicapai oleh Andreas Harefa ketika mengutip Peter Sange:

“Pembelajaran sebenarnya mendapatkan inti artinya untuk menjadi sangat manusiawi. Melalui pembelajaran kita menciptakan kembali diri kita. Melalui pembelajaran kita dapat melakukan sesuatu yang tidak pernah dapat kita lakukan sebemulnya. Melalui pembelajaran kita merasakan kembali dunia dan hubungan kita dengan dunia tersebut. Melalui pembelajaran kita memperluas kapasitas kita untuk menciptakan, menjadi bagian dari proses pembentukan kehidupan”.[5]

Harefa memilih kata pembelajaran untuk proses belajar, dan kata pembelajar untuk aktivitas pelaksanaan hasrat akan kebenaran. Saya pikir kita akan juga setuju dengan kriteria ini, karena dalam belajar filsafat yang terutama memang bukan menemukan informasi mengenai segala hal, namun menemukan diri kita sejati di tengah pergulatan kebenaran-kebenaran.

Filsafat sekali lagi adalah ikhtiar mencintai kearifan. Jadi hubungan guru-murid tidak berjalan dalam hubungan pewaris dan ahli waris. Jikapun ada warisan itu sekadar pemicu agar ahli waris melakukan petualangan untuk memasuki dirinya sendiri. Guru dan murid dalam proses belajar filsafat sama-sama berposisi sebagai thulab (penghasrat), seperti kata-kata Nabi Muhammad, “Jadilah thulab (penghsrat kebenaran) semenjak engaku lahir, sampai ke liang akhir”.

Kembali pada soal pembelajaran filsafat, bagaimana cara hubungan guru-murid? Socrates barangkali tipe ideal bagi guru filsafat, dan Plato adalah tipe murid yang menarik. Socrates menyatakan “saya tahu bahwa saya tidak tahu apa-apa” dan ia menyatakan bahwa ia tidak akan menyampaikan kesimpulan-kesimpulan pasti. Socrates hanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan pada diri dan orang lain, sehingga secara bersama-sama mencari jawabannya. Ia seorang arif karena ia dapat meletakkan pengetahuannya dalam kalimat: “Kita sudah sepakat bahwa…tetapi jika anda berkeberatan mengenai satu hal, katakanlah pada saya. Kemudian akan kita pikirkan lagi.”[6] Sementara Plato dengan setia mendengarkan serentak ikut terlibat mengajukan pertanyaan dan jawaban, kemudian menuliskannya dengan perspektif dirinya.

Di samping Socrates, apa yang dikemukakan Imanueal Kant dan Wittgenstein barangkali juga bisa diingat-ingat oleh pengajar filsafat.

“Dari saya, kalian tidak akan belajar filsafat. Saya mengajar kalian berfilsafat bukan pemikiran-pemikiran untuk ditiru, melainkan bagaimana caranya untuk berpikir sendiri”. (Imanuel Kant,)

“Saya tidak boleh mencegah orang-orang lain untuk berpikir, melainkan –apabila itu mungkin—mendorong seseorang untuk berpikir sendiri”. (Wittgenstein)

Kesemuanya dikemukakan agar proses pembelajaran filsafat dapat tetap menjaga energi kreatif dan kritis semua unsur yang terlibat.

“Berfilsafat semenjak taraf yang paling awal anti otoriter. Ia menjauhkan diri dari dogma-dogma, indoktrinasi, sensor dan perintah-perintah untuk pengumuman atau penarikan kembali. Salah satu yang pertama dan uatama dipelajari dalam filsafat adalah keberanian untuk menantang setiap bentuk paksaan dan tidak pernah mengakui suatu kebenaran atas dasar argumentasi-argumentasi otoriter, ancaman atau propaganda yang menggiurkan, melainkan semata-mata atas dasar penertian yang bebas dan alasan-alasan yang lugas. (Paperzak)

Belajar Filsafat; Belajar Mengajukan Pertanyaan


Pertanyaan-pertanyaan anda lebih penting daripada jawaban-jawaban anda dan setiap jawaban menyebabkan terjadinya pertanyaan-pertanyaan baru” Karl Jaspers.


Pertanyaan dan rasa heran adalah muasal filsafat atau berfilsafat. Kemajuan filsafat diukur dari pertanyaan yang diajukan bukan dari jawaban yang diberikan. Berfilsafat berkenaan dengan kemampuan memberikan pertanyaan terhadap sesuatu rumusan yang telah dianggap final. Dalam filsafat, setiap data dan setiap pengalaman sedapat mungkin ditinjau dengan tidak berprasangka dan dengan perhatian yang mendalam.

Jika kita ingin belajar filsafat, fokuskanlah pada pertanyaannya. Jika kita terfokus pada jawaban yang diberikan oleh para tokoh, kita akan terjebak pada pelbagai teori yang membingungkan (banyak tokoh, banyak jawaban untuk satu soal yang sama). Fokus pada jawaban saja akan membuang-buang waktu percuma. Untuk itu jangan membiasakan diri menghafal ungkapan-ungkapan tokoh-tokoh filsafat, namun kemukakanlah: apakah pertanyaannya?

Alasannya begini dapat bermula dari kata-kata Bertrand Russel berikut ini:

“…para filsuf sekaligus merupakan akibat dan sebab: akibat dari keadaan masyarakatnya dan hubungan-hubungan politik dan sosial dari zamannya; sebab- sepanjang mereka berhasil – dari anggapan-anggapan yang meninggalkan bekasnya pada hubungan-hubungan politik dan sosial dari kurun waktu kemudian.”

setiap filsuf hidup dalam ruang waktunya masing-masing. Ia berada dalam kehidupan, masalah dan teka-tekinya. Ia mengajukan pertanyaan sebagai upaya untuk memahaminya, lalu ditemukanlah sehimpun jawaban. Namun jawaban itu harus diletakkan dalam konteks kehidupannya yang tentu saja berbeda dengan kehidupan kita hari ini. Ungkapan Thales bahwa dunia ini berasal dari air, tentu begitu luar biasa untuk saat itu. Namun untuk saat ini, pada saat ilmu pengetahuan alam telah menunjukkan temuan-temuan yang lebih teruji, jawaban Thales menjadi tidak berarti. Berbeda jika kita berfokus pada pertanyaannya (apakah asal-muasal segala sesuatu?), Thales akan terus bisa digunakan karena pertanyannya masih bisa relevan untuk hari ini.

Jadi, mengutip Hector Hawton[7], cara yang lebih bermanfaat dalam belajar filsafat adalah dengan memperhatikan bagaimanakah setiap filsuf mengajukan beberapa pertanyaan baru, yang teranyam dengan argumen yang segar, dan kemudian mengajukan jawaban namun dimentahkan lagi oleh pertanyaan baru yang lebih segar dari filsuf kemudian. Begitu selanjutnya. Dengan cara ini, “kita tinggal menyaring pengalaman selama berabad-abad. Kita tidak saja mengetahui, misalnya, hal-hal yang ditanyakan oleh Locke, tetapi juga hal-hal yang dipikirkan oleh Berkeley mengenai pertanyaan itu, dan bagaimana kelanjutan pertanyaan tersebut ketika hinggal di berbagai pikiran Hume dan Kant.

Sekali lagi belajar filsafat berarti menelusuri pertanyaannya bukan jawabannya. Jika kita terpaku pada jawaban akan menjebak kita pada kesia-siaan. Di kancah filsafat yang satu soal terus-menerus menjadi masalah dari zaman ke zaman, memungkinkan satu argumen tidak memiliki umur yang panjang: ia bisa saja telah dikritik dan direvisi oleh pemikiran selanjutnya. Terpaku pada satu argumen saja, tanpa melihat nasib argumen itu pada lipatan sejarah berikutnya, akan membuat kita membicarakan botol kosong. Kita bersikutat pada argumen yang pada zamannya terbukti sebagai argumen yang salah; atau mengajukan pertanyaan yang pada masa lampau pernah diperbaiki dengan perbaikan yang hati-hati.

Jadi, sebagai langkah, salah satu cara terbaik untuk belajar filsafat adalah 1) carilah pertanyaannya, 2) temukan bagaimana pertanyaan itu dijawab, 3) bagaimana jawaban itu digugat dan diperbaiki; atau bagaimana pertanyaan itu diperbaiki atau digugat dari masa ke masa.

Membaca buku filsafat merupakan kegiatan memperhatikan secara mendalam terhadap segala yang telah dipikirkan orang lain (filsuf-filsuf), menyiapkan rasa heran dan siap mengajukan segala pertanyaan pada mereka. Tokoh yang kita baca barangkali seorang filsuf besar, namun belum tentu ia telah begitu sempurna tanpa kesalahan yang bisa dipertanyakan. Kalaupun ada yang sempurna, kesempurnaan itu untuk zamannya yang belum tentu pas untuk zaman kita.

“Ciri khas dari seorang filsuf yang baik bukanlah bahwa dia harus dapat memecahkan segala persoalan…Seringkali yang paling baik yang dapat dikerjakannya adalah menunjukkan masalah-masalahnya, melukiskannya dengan kata-kata, sekalian dengan segala sesuatu yang mungkin tidak dapat dihindari, dan menerangkan akibat-akibat yang disebabkan oleh keadaan persoalan yang bersangkutan atas penyelidikan-penyelidikan yang lain” (Xenophone)[8]

Hal ini akan bisa dibuktikan jika kita membaca tokoh lain yang muncul setelah tokoh yang kita baca. Kita akan menemukan gugatan atau revisi atas pertanyaan yang menjadi dasar tokoh yang sedang kita baca.

Jadi, bagaimana cara kita belajar filsafat?

Anggaplah filsafat bukan barang suci yang disakralkan. Ia hanya pemikiran biasa dari orang biasa yang bisa kita gugat, dipertanyakan ulang.
“Jika orang menginginkan suatu filsaat sebagai suatu sistem prinsip-prinsip yang menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang kebenarannya sangat pasti, maka hal itu adalah sesuatu yang mustahil” (Ubbink).[9]

Filsafat bukan pemikiran yang selesai, ia bahkan selalu menyisakan pertanyaan baru yang membuat kita dipaksa terlibat, yakinlah bahwa di dalam filsafat, kita –jarang atau– tidak pernah mendapatkan pemecahan-pemecahan yang tuntas atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

Filsafat adalah pemikiran yang mengundang kita untuk selalu terlibat langsung. Banyak sekali filsafat yang maksudnya agar kita meneruskan apa yang telah dimulainya. Dengan demikian jangan sungkan-sungkan untuk tidak sependapat, tuliskan pendapat dan sanggahan anda, ujilah kebenaran yang dikemukakan oleh filsuf-filsuf itu. Alfred Ayer pernah menyarankan untuk menjadikan pemikiran seseorang sebagai bahan latihan berfilsafat. Ayer menyatakan, “…..ajukan pendapat-pendapat yang sudah tetap itu, sebagai bahan diskusi; mencari standar-standar dan menguji nilai-nilainya; apa asumsi-asumsi itu masih berlaku.” Dengan cara ini kita terlibat, juga kehidupan nyata kita.
Agar bisa menguji dengan baik, kita juga jika perlu harus menunda apa yang semula kita yakini. Dengan cara ini, kita tidak berperang sendirian. Jika dalam pikiran kita masih ada keyakinan lama dan itu dijadikan ukuran, kita tak akan menemukan mutiara yang ditawarkan orang lain. Rasakan dulu tanpa prasangka, baru setelah itu dibandingkan. Serentak dalam perbandingan itu, kita telah melakukan pengujian secara tidak langsung.
Seorang pembelajar filsafat tidak pernah merasa benar sendiri, telah benar dan tak mungkin salah.
“Tidak ada yang kurang pantas bagi seorang filsuf selain daripada mau benar sendiri dalam diskusi dan dalam berargumentasi. Mereka benar sendiri –sampai bentuk refleksi logisnya yang paling halus—adalah pengungkapan “jiwa mempertahankan diri”, yang justru menjadi tujuan seorang filsuf untuk menghapuskannya…” (Theodor W. Adorno)

Artikel ini mencoba menawarkan uraian sejarah filsafat dalam kaitan sebab-akibat, menekankan bahwa inti berfilsafat adalah pertanyaan, dan terakhir memberi peluang bagi kita semua untuk terlibat. Maksudnya,

Satu pemikiran akan diletakkan dalam kaitannya dengan situasi yang menyebabkannya (pemikiran dan situasi zaman sebelumnya) dan situasi yang diakibatkannya (pemikiran dan situasi zaman yang muncul sesudahnya).
Setiap pemikir diletakkan dalam drama pencarian jawaban-jawaban atas pertanyaan pemikir sebelumnya. Ikhtiar yang bermula dari pertanyaan lain (yang mempertegas atau menambahkan pertanyaan utama) lalu merumuskan dengan cara baru, namun rumusan itu akan juga dikritisi dan direvisi oleh pemikir sesudahnya. Dengan cara ini kita akan menemukan kehebatan seorang filsuf (yaitu ketika kita membandingkan dengan filsuf sebelumnya) sekaligus kelemahan seorang filsuf (yaitu ketika kita membandingkan dengan filsuf sesudahnya).
Setiap pemikir, diupayakan, dikaitkan dengan situasi zamannya serta kemungkinannya bagi aplikasi di zaman ini.
Dalam kaitan sejarah inilah ungkapan Neil Postman dapat dikemukakan, bahwa setiap tokoh dalam sejarah pemikiran ditampilkan sebagai pembuat kesalahan yang besar (the great error maker) sekaligus juga pengoreksi-pengoreksi kesalahan yang besar (the great error-corrector). Karena itu bagi Postman Bagi Postamn, proses belajar selayaknya sanggup memperlihatkan pada peserta belajar bahwa kesalahan bukanlah sesuatu yang memalukan, karena justru melalui kesalahan kita dapat meningkatkan pemahaman kita terhadap sesuatu.
“Karena kita adalah jiwa yang tidak sempurna, maka pengetahuan kita juga tidak sempurna. Sejarah tentang proses belajar adalah sebuah petualangan untuk mengatasi kesalahan-kesalahan kita. Tidak ada dosda bagi orang yang berbuat salah. Dosa itu ada pada ketidakmauan kita menguji kepercayaan-kepercayaan, dan mempercayai bahwa kemampuan-kemampuan kita tidak bisa salah”.[10]

MENALAR TUHAN

SETIAP akhir tahun selalu saja ada sajian pamungkas dari Tuhan yang unforgettable. Desember 2004, jangan bilang Anda lupa, satu balatentara Tuhan berkunjung ke Serambi Mekkah. Desember 2005, jangan bilang Anda tidak menonton berita yang menginformasikan bahwa 55 orang dilaporkan meninggal dalam peristiwa kelaparan di Kabupaten Yahukimo, Papua. Desember 2006, jangan katakan pula bahwa Anda tidak membaca koran dan melupakan tragedi tenggelamnya Senopati Nusantara yang meminta korban 500 orang lebih. Desember 2007, jangan bilang pula, bahwa Anda tidak mendengar berita banjir dan longsor di Karanganyar, Jawa Tengah, yang merenggut 60 lebih korban jiwa. Dan terakhir, Desember 2008, tolong, jangan katakan bahwa Anda terlalu sibuk dengan deadline pekerjaan, atau sibuk dengan persiapan perayaan Tahun Baru, sehingga tidak mendengar dan memperhatikan berita yang bergema dan ditayangkan di seantero bumi, bahwa ada tetesan duka tak terperi yang dialami saudara-saudara kita di Gaza, Palestina. Apakah Anda masih santai liburan dan cake Tahun Baru masih tersimpan di kulkas? Hmh, dunia begitu paradoks. Tuhan seolah begitu nyata ketika kita ikut dalam gegap gempita pergantian tahun, tapi bagi mereka yang naas, pertanyaan yang niscaya dan tak jauh-jauh; “di mana Tuhan saat itu, dan, mengapa Dia membiarkan hal ini terjadi?”.

………..Ya. Teodice, perihal keadilan Ilahi, tantangan terbesar Filsafat Ketuhanan, dan pertanyaan perihal adanya penderitaan termasuk di dalamnya. Apa yang bisa kita jawab jika masih ada orang yang meminta pertanggungjawaban iman kepada Allah dari kita, ketika Allah Tuhan yang kita imani masih mengizinkan adanya penderitaan di muka bumi, yang notabene (secara akal) bertentangan dengan sederet atribut ke-Maha-an yang dimiliki-Nya? Pertanyaan yang tidak terlalu baru (sebagai tambahan) : rasionalkah bila kita masih percaya Tuhan?

***

………..Mencoba memberikan pengertian-pengertian kepada nalar (dengan nalar) bahwa di abad 21 masih percaya pada Tuhan adalah sangat masuk akal, bahwa apa yang diyakini tidak bertabrakan dengan nalar. Itulah setidaknya yang dilakukan Romo Magnis dalam bukunya Menalar Tuhan ini. Bisa dibilang, elaborasi wacana penalaran atas Tuhan dalam buku ini cukup komprehensif dan dipaparkan secara progres. Dimulai dari pembebasan masalah ketuhanan dari mitologi, bahwa keimanan kepada Tuhan tak semata karena warisan turun-temurun. Kemudian melangkah ke persoalan metafisika. Disusul dengan terbitnya fajar modernitas abad 19-20 yang melahirkan skeptisisme terhadap Allah, di mana pemikir-pemikir ateis mulai bermunculan. Di sini tanggapan-tanggapan atas statemen lima pemikir besar ateisme, dikemukakan Romo Magnis dengan amat meyakinkan. Dan pembahasan mulai semakin menarik ketika sudah melangkah ke bahasan agnostisisme, di mana dikatakan bahwa wacana Tuhan berada di luar cakupan filosofis. Empat model agnostisisme filosofis dibicarakan di sini. Namun yang paling menarik perhatian adalah prinsip falsifikasi Flew, berhubungan dengan hal yang menjadi intro tulisan ini, bahwa adanya ketidakadilan, lebih-lebih penderitaan di mana-mana, memfalsifikasikan eksistensi Tuhan.

Apabila Tuhan adalah Sang “Pengada Mahatahu, Mahakuasa, Mahaadil, Mahaberbelaskasihan”, namun penderitaan dan ketidakadilan di dunia berlangsung terus, Ia tidak bisa dibedakan lagi dari Pengada yang tidak Mahatahu, atau Ia tahu tapi tidak Mahakuasa, atau Ia memang tahu dan mampu bertindak, tapi tidak Mahaadil dan Mahaberbelaskasihan, sehingga Ia tidak dapat dibedakan lagi dari yang bukan Tuhan. (hal.117)

………..Tapi masalah ini, tak ubahnya seperti dialog tanpa kesimpulan antara orang Beriman dengan seorang Skeptik dalam karya Davies (Tuhan, Doktrin dan Rasionalitas : 2004), bahwa segala ketidakmengertian tentang Tuhan, ujung-ujungnya adalah masalah iman. Padahal tantangan atas irasionalitas iman harus segera dijawab. Mengatakan bahwa hal ini hanya persoalan iman semata, tidak akan menyelesaikan masalah Tuhan secara begitu saja.

………..“Anda mempercayai Tuhan, entah karena apa, kami terima. Tapi kami tetap tidak habis pikir; bagaimana Anda masih bisa percaya pada Tuhan yang mahakuasa, mahabaik, dan mahaadil padahal Anda menyaksikan begitu banyak penderitaan di dunia. Andai Tuhan memang ada, kenapa ini dibiarkan? Kepercayaan Anda sendiri irasional!” (hal. 123, sebuah bentuk statemen imajiner yang masih bisa dilontarkan mereka yang meragukan rasionalitas keimanan pada Tuhan). Artinya, kita yang percaya Tuhan, dituntut untuk memperlihatkan secara positif bahwa kepercayaan kita kepada Tuhan adalah masuk akal. Maka dari sini, nalar (dengan menggunakan filsafat) mulai harus bekerja mencari jawaban. Tentu, menalar di sini tidak identik dengan memahami rahasia Ilahi, melainkan apa yang diimani disadari tidak ada pertentangan dengan akal budi. Dan, bab terakhir buku ini mulai fokus pada masalah teodice.

***

………..Penjelasan-penjelasan yang kerap kita dengar, seperti, penderitaan adalah hukuman atas dosa yang bersangkutan; penderitaan akan diganjar surga; dengan penderitaan kualitas manusia bisa diuji; penderitaan memurnikan hati; dunia lebih baik jika ada penderitaan daripada tidak; dan yang paling ekstrim, kita tak tahu apa-apa soal Allah, jadi lebih baik tutup mulut dan jangan banyak bertanya lagi, jelas tidak memuaskan.

………..Lantas, apa yang bisa dijelaskan oleh filsafat?

“Penderitaan tak lain merupakan kodrat penciptaan. Bahwa Allah “tidak bisa” menciptakan sesuatu yang tidak bertentangan pada diri-Nya sendiri, tidak serta merta mengurangi kemahaan-Nya, melainkan sebaliknya berakar dalam konsistensi Allah dalam kemengadaan-Nya. Allah tidak akan intervensi untuk mencegah keburukan, penderitaan, yang secara hakiki menjadi mungkin dengan alam raya yang seoerti ini. Sebab, jika Ia campur tangan, maka pada saat yang sama, Ia telah menjadikan alam berjalan tidak sesuai kodrat yang digariskan-Nya. Begitu Allah memutuskan menciptakan alam dengan segala isinya (yang serba tidak sempurna) ini, maka segala luka, kekerasan, dan perasaan sakit tidak bisa dihindari.” (hal.226)

………..Namun penjelasan tersebut gagal karena ia tidak bisa menjelaskan bagaimana penderitaan kerap terjadi dalam skala yang besar. Di sini Romo Magnis mengemukakan jalan lain yang harus ditempuh, yakni “kita tidak boleh hanya berfokus pada keburukan dalam ciptaan (pada penderitaan), melainkan juga pada kebaikan” (hal.228), dan dengan meminjam pernyataan seorang filosof dan teolog Roma pasca-Romawi, Boethius (480-524), bahwa : “Si quidem deus est, unde mala? Bona vero unde, si non est?” (Apabila Allah ada, dari mana hal-hal buruk? Tetapi dari mana hal-hal baik, kalau Ia tidak ada?). Intinya, betapa pun kita tidak mengerti, segala penderitaan dan kengerian yang kita alami, terkalahkan oleh kebaikan Ilahi. Kunci pengatasan masalah teodice adalah janji yang terimplikasi dalam adanya Allah bahwa “Ia akan menghapus segala air mata kita”. Filsafat sudah tidak bisa melangkah lebih jauh.

………..Pertanyaan mengapa Allah mengizinkan penderitaan, filsafat mengakui tidak bisa menjawab, dan ia tidak bisa dipecahkan. Yang bisa dilakukan filsafat adalah mengantar kita (yang masih percaya Tuhan), ke ambang iman. Kita mengakui bahwa kita tetap tidak mengerti. Kita hanya diajak untuk percaya, bahwa segala penderitaan akan menjadi lebih baik.

***

………..Buku Romo Magnis ini cukup bagus untuk memperkaya pengertian kita, yang tak lain untuk meringankan beban pertanyaan yang mengendap dalam batin dan menjadi hal yang dipermasalahkan nalar. Tentu, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan nalar pun ada batasnya, termasuk pertanyaan tentang penderitaan. Tetapi meski filsafat akhirnya menyerah dan tidak sanggup berjalan lebih jauh, toh, iman bisa mengambil alih. Yang jelas, dengan bantuan nalar, maka dimensi terdalam agama bisa dicapai. Meski ujungnya diserahkan pada iman kembali, yang pasti, nalar memahami, bahwa ternyata semua ini masih bisa dijelaskan secara masuk akal. Sebab, ketika Allah menjadi pertanyaan, maka Ia-pun bisa menjadi jawaban. ***

“I believe in God with or without evidence” – Gentole, suatu ketika.

Sunday, September 5, 2010

Jika Sudah Ada Kitab Suci, Masih Perlukah Filsafat?


Sering saya mendengar selentingan seperti itu dari forum lintas agama dan kepercayaan yang pernah saya ikuti di internet. Maksud mereka, bukankah kitab suci memuat wahyu Allah yang sudah pasti komplet, dapat dituruti secara langsung, dan berlaku untuk semua manusia sepanjang zaman di seluruh dunia? Kalau sudah begitu, untuk apa lagi bersusah payah bergulat dengan akal budi untuk mencari apa yang baik dan buruk di dunia ini? Bukankah kita tinggal memeriksa aturan-aturan yang tercantum di kitab suci? Wong namanya saja wahyu Allah—pasti isinya lengkap!

Begitulah pendapat mereka.
Pertanyaan kritis untuknya, tentu saja, adalah “benarkah hal itu?”

Saya menjawab pertanyaan ini berdasarkan tulisan seorang profesor filsafat,
Franz Magnis-Suseno, SJ.

Berikut, ringkasannya:

Ada 4 hal mengapa Agama TIDAK membuat Filsafat TIDAK PERLU dipelajari.

# Pertama, manusia secara alamiah tertarik untuk berefleksi dan mencari makna, termasuk terhadap agama. Di sinilah filsafat membantu merefleksikan agama secara rasional, ilmiah, dan bertanggung jawab.

# Kedua, meskipun agama relevan bagi seluruh hidup kita, wahyu Allah BUKAN sebuah “Encyclopedia Britannica” yang memuat penjelasan tentang apa pun. Wahyu pada hakikatnya mengenai hal-hal yang tak bisa manusia ketahui, yaitu tentang Allah, tentang tindakan Allah terhadap manusia, dan tentang apa yang diharapkan Allah dari manusia. Nah, untuk yang dapat diketahui manusia sendiri, Allah memberikan akal budi dan daya bernalar agar manusia mencarinya sendiri.

# Ketiga, Agama tidak hanya ILAHI sifatnya, tetapi juga MANUSIAWI.
Yang Ilahi adalah wahyu sendiri, sedangkan bagaimana wahyu ditafsir ialah perbuatan manusia yang dapat salah. Maka, tafsiran itu harus selalu disorot secara kritis terus menerus, justru agar manusia tidak memalsukan wahyu ilahi.

# Keempat, Filsafat sebenarnya TIDAK menyaingi agama.
Jika kita mencari jawaban apa yang Allah kehendaki dalam hidup manusia, apa kebenaran hidup kita, apa kewajiban paling penting, kita tidak mencarinya dalam filsafat, tetapi pada Allah (agama). Tugas filsafat itu lain!

Perlu diingat, dalam Filsafat yg penting bukan JAWABANnya, melainkan PERTANYAANnya. Maka, Filsafat tidak berlagak dapat memberikan kepastian-kepastian untuk membangun hidup kita.

Sebaliknya, filsafat ialah sarana untuk memeriksa kembali segala pengandaian dan keyakinan justru agar tidak meleset dari maksud suatu wahyu ilahi yang sebenarnya. Di sinilah filsafat menyediakan metode-metode untuk memeriksa jangan-jangan kita menipu diri.