Saturday, September 25, 2010

APA atau SIAPA KEBENARAN?


Pontius Pilatus berdiri di hadapan Yesus Kristus, bertanya kepada-Nya, “Apa itu Kebenaran?”

Dia sebenarnya menanyakan sebuah pertanyaan yang salah. Kalau dia bertanya, “Siapa Kebenaran,” Yesus akan menyatakan diriNya sebagai “Kebenaran” kepadanya.

Ketika Yesus menyatakan di dalam Yohanes 14:6,”Akulah jalan, dan kebenaran dan hidup”, maka wacana tentang kebenaran mempunyai dimensi yang berbeda, kebenaran itu adalah pribadi Yesus.

Ketika Yesus menyatakan dirinya bahwa dirinyalah Sang Kebenaran, maka sebenarnya pertanyaan yang relevan ketika berwacana tentang kebenaran adalah “Siapa (Sang) Kebenaran?”. Ketika kebenaran itu terwujud di dalam pribadi Kristus, maka kebenaran adalah pribadi Yesus. Dan kita tidak menanyakan sesuatu yang bersifat personal dengan pertanyaan “apa”, tetapi “siapa”.

Pertanyaan yang menggunakan kata tanya “Apa” rasanya tidak tepat digunakan untuk mendapatkan penjelasan tentang seorang pribadi. Pertanyaan dengan menggunakan kata tanya “Apa”, sangatlah cocok dipasangkan pada sesuatu yang impersonal. Namun pertanyaan yang menggunakan kata tanya “Siapa”, akan selalu berkaitan dengan sesuatu yang bersifat personal, yang menunjuk kepada seorang pribadi.

Wacana kebenaran tersebar luas di dalam berbagai pandangan, namun sebuah revolusi terjadi ketika kebenaran itu mewujud di dalam seorang pribadi yang agung dan mulia, Yesus Kristus. Ketika kebenaran adalah di dalam Yesus Kristus, bagaimana saya bisa mengalami kebenaran tersebut?

Terdapat dua istilah yang menjadi dasar di dalam membicarakan kebenaran, yaitu kebenaran karena usaha manusia sendiri, dan kebenaran yang berasal bukan dari diri kita, tetapi kebenaran yang diberikan/dianugrahkan kepada kita. Seseorang mendapat upah berdasarkan apa yang dia usahakan, apa yang dia tuai adalah hasil dari apa yang dia tabur. Ketika ada aksi maka ada reaksi. Semua hukum yang berlaku di seluruh dunia menyetujui hal ini. Kemudian pertanyaan yang mengikutinya adalah, apakah ada orang menjadi “benar” ketika dia mendasarkan kebenarannya berdasarkan apa yang dia usahakan?

“Tidak ada yang benar, seorang pun tidak”, sejujur itulah sebenarnya pengakuan yang saya miliki. Kebenaran kita seperti debu dihadapkan kepada kebenaran Allah. Saya pun tahu saya tidak bersaing dengan Allah di dalam kebenaran.

Jadi bagaimana saya boleh mengalami kebenaran itu, jikalau tidak ada seorang pun benar. Apakah dengan segala hukum saya akan mengalami kebenaran, atau justru saya semakin menyadarkan saya bahwa di dalam banyak hukum terdapat banyak pelanggaran?

Apakah saya bisa bermegah karena kebenaran saya sendiri?

Tetapi syukur kepada Allah, kebenaran itu adalah Isa Almasih, Sang Kebenaran telah menyatakan dirinya, supaya manusia mengenal kebenaran. Dan Sang Kebenaran itu hidup, dia tidak tergantung kepada usaha dan perbuatan manusia untuk kita bisa mengenalnya, kecuali Sang Kebenaran itu berkasih karunia menyatakan diriNya kepada kita, oleh anugrahNya yang ajaib.

Mengalami Kristus adalah mengalami kebenaran yang sejati. Itulah misteri yang dicari sepanjang zaman, yang telah diungkapkan kepada kita semua, tetapi manusia lebih menyukai kebenarannya sendiri dibandingkan kebenaran Allah.

Kebenaran bukan agama, kelompok keagamaan yang benar, ajaran-ajaran dari beberapa orang besar atau perempuan, suatu badan pengetahuan, yang “benar” buku, yang dalam filsafat, konsep yang benar atau serangkaian hukum atau prinsip-prinsip yang mengatur. Tidak pernah dapat dipastikan melalui “metode ilmiah” , logika atau penalaran. Semua ini adalah instrumen yang masih jauh dari kemampuan untuk memahami “Kebenaran”. Kebenaran telah hadir di dalam soerang pribadi dan hanya dapat diketahui melalui sebuah relasi yang intim dan mendalam dalam sebuah perjanjian (covenant). Perjanjian tersebut adalah pertukaran hidup. Kita tidak akan pernah mengetahui kebenaran sampai “Kebenaran” menjadi hidup Kita dan hidup Kita menjadi hidup-Nya. Memerlukan kebenaran mutlak, penyerahan total kepada Anak Allah. Ini adalah pertukaran hidup dalam cara yang paling intim di alam semesta. Inilah makna penebusan. Ini adalah perkawinan jiwa. Ini adalah ikatan yang membebaskan. Ini adalah sebuah paradoks. Dan ketika kita memasukkan paradoks ini, kita akan benar-benar bebas dan kita kemudian akan mengetahui apa sebenarnya Cinta Sejati.

Ketika Yesus Kristus mengatakan, “Akulah jalan, dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun sampai kepada Bapa jikalau tidak melalui Aku.” Kebenaran itu mejadi bagian yang tidak terpisahkan dari diriNya. Dia yang adalah kebenaran itu menjadi dasar pembaruan relasi kita dengan Allah. Kita boleh mengalami kebenaran karena relasi kita dengan Sang Kebenaran. Kita diberi anugrah mengalami kebenaran yang relasional, sebagai akibat dari kebenaran yang diberikan/dianugrahkan kepada kita.

Pertanyaan tentang kebenaran adalah untuk menjawab siapa kebenaran tersebut. Kristus dengan tegas menyatakan Akulah Kebenaran. Ketika Kristus mengatakan bahwa diriNya lah kebenaran yang sejati, maka kebenaran itu ekslusif miliknya. Saya bisa mengalami kebenaran itu jikalau Yesus Kristus sendiri menganugrahkan kebenaran tersebut kepada kita, kebenaranNya menjadi milik kita, kita dibenarkanNya, dan keberanNya itu memerdekakan.

Wednesday, September 8, 2010

FILSAFAT


Seorang murid mengeluh kepada gurunya “bapak menuturkan banyak cerita, tetapi tidak pernah menerangkan maknanya kepada kami. Jawab sang guru, Bagaimana pendapatmu, Nak, Andaikata seseorang menawarkan Buah padamu, apakah ia mengunyahkannya dahulu bagimu? (Anthony de Mello, Burung Berkicau)





Sunan Gunung Djati-Filosofistik atau pengetahuan megenai filsafat belumlah berarti berfilsafat. Belajar filsafat bukan hendak menjadi “ahli waris” seluruh pemikiran yang telah tertulis. Bukan pengulangan kembali, melainkan pengambilan kembali untuk penciptaaan ulang. Berfilsafat merupakan suatu cara berpikir yang tidak bersumber pada suatu rangkaian kepercayaan, akan tetapi yang hanya berdasarkan pada pengalaman dan pemikiran dari pemikir sendiri. “Filsafat bukanlah suatu pemujaan terhadap sesuatu yang suci, akan tetapi suatu usaha untuk memperoleh pengertian sendiri”[1]

Belajar filsafat sebagai ikhtiar menemukan pemahaman yang jernih tentang segala sesuatu (terutama perihal dirinya sendiri) merupakan makna dari filsafat sendiri. Filosophia adalah “keinginan menjadi arif”, dan kegiatan belajar tentu saja berada dalam keinginan yang sama. Seorang pembelajar seharusnya terus-menerus menegaskan pada dirinya bahwa ia bukanlah “orang-orang yang arif” (sofis) walaupun telah menemukan banyak informasi dan wawasan, pembelajar yang baik adalah yang terus menerus penasaran pada soal bagaimana menjadi arif itu.

Ada perbedaan antara kepandaian dan kearifan. Kepandaian adalah kemampuan untuk menunjukkan semata-mata secara rasional apa yang dapat kita wujudkan dari data-data melalui bertukar pikiran secara logis. Kearifan adalah sikap untuk mengambil suatu pendirian tertentu dalam kehidupan kita berdasarkan hasil kepandaian tadi. Untuk dapat benar-benar hidup, kita harus mempunyai perspektif (cara memandang) atas kehidupan ini dan dengan itu atas kenyataan hidup yang dialami. Kearifan akan membawa seseorang ke dalam suatu kenyataan tertentu sedemikian jauh, sehingga ia mengerti tentang apa yang dipermasalahkannya. Seseorang bisa saja terlihat pandai, namun ia hanya mengkatakan perspektif orang lain bukan perspektif dirinya, bukan hasil olahan dari apa yang benar-benar dialaminya secara mendalam. Sebaliknya, seorang bijak adalah yang tak menunjukkan kepandaiannya namun dapat menunjukkan cara pandang baru yang menyelamatkan kediriannya.

Belajar filsafat berarti belajar untuk berhasrat pada kearifan atau belajar untuk mencintai kearifan. Kearifan bukan sejenis benda yang bisa diambil dari luar diri untuk dimiliki, kearifan dihasilkan dari penyadaran akan diri pribadi. Kearifan secara demikian tak bisa dipelajar dan tak ada satupun yang bisa mengajarkannya. Ia hasil dari mengalami kehidupan pribadi dengan cara bercermin kepada pengalaman hidup orang lain. Belajar sejarah filafat yang dipenuhi oleh kisah filsuf, kegelisahannya, pertanyaan yang diajukannya, dan upaya untuk mencar jawabannya hanya berarti jika kita menganggapnya sebagai sebuah cermin. Cermin itu memantulkan manusia yang wajahnya sama dengan diri kita, ia bukan dewa-dewa yang teramat suci. Penganggapan bahwa mereka juga manusia akan memudahkan kita untuk membandingkan kedirian kita dengan mereka. Hal ini dapat membebaskan kita dari rasa takut untuk berbeda dengan mereka, filsuf-filsuf itu.

Keterbebasan dari rasa takut ini penting bagi proses pembelajaran. Kita yang selama ini dididik dalam rasa takut dan rasa malu telah merasakan penderitaan terkekang di bawah bayangan yang tak menentu. Semenjak sekolah dasar kita belajar untuk takut dan malu pada guru, takut dan malu membuat kesalahan, takut dan malu untuk berbeda. Barangkali ini berasal dari pola pendidikan yang menekankan pada kemampuan untuk menjawab segala persoalan dan mengharuskan kesamaan dalam menjawab segala sesuatu. Untuk itu, banyak rumah di negeri ini pernah merasa penting untuk memiliki Buku Pintar yang berisi seluruh pengetahuan yang bisa menjawab soal-soal secara tepat dan sama. Rasa takut itu kemudian menekan seluruh keinginan untuk menyatakan kesadaran kita yang sejati dan perasaan yang sebenarnya akan sesuatu. Rasa takut dan malu itu membuat kita tidak memiliki keyakinan bahwa kita bisa memberikan cara pandang yang berbeda dengan orang lain, akhirnya membuat kita tidak pernah merasa yakin pada diri sendiri.

Dalam rasa takut dan rasa malu kita menjadi pecundang dalam segala hal. Situasi reformasi mementaskan kepecundangan kita. Begitu kebebasan dikumandangkan, kita menemukan diri kita kebingungan untuk melakukan pembentukan formasi baru bagi kehidupan bernegara. Kebebasan dirayakan, namun dalam kerangka rasa takut dan rasa malu. Karena kita takut disalahkan, kebebasan digunakan untuk menyalahkan institusi, untuk menunjuk hidung orang lain. Karena kita malu akan kelemahan yang dimiliki, kita segera menunjukkan kelemahan orang lain. Pada sisi yang lain, ada banyak orang yang menentang proses pembukaan sejarah hitam negeri ini atas dasar rasa malu. Korupsi, Kulusi dan Nepotisme yang hendak dibersihkan tak selesai-selesai karena rasa malu dan rasa takut itu begitu menguat. Alhasil, kita malu dan takut untuk secara terus terang mengakui kesalahan diri kita masing-masing; persis seperti dulu di bangku sekolahan ketika kita malu dan takut untuk bertanya pada guru/dosen di depan kelas.

Filsafat adalah cara untuk menemukan keberanian dalam merumuskan diri sendiri. Dalam filsafat kita menemukan kegelisahan yang tak kunjung habis, pertanyaan-pertanyaan yang terus tidak menemukan kepastian jawaban, dan jawaban-jawaban yang semula dianggap final namun kemudian ditemukan celanya. Kesemuanya ditemukan dalam formasi yang wajar, maksudnya kesalahan dalam filsafat tampak sebagai suatu kemestian manusiawi dan karena itu tak perlu ada rasa takut dan malu terhadap kesalahan. Dalam filsafat kita menemukan banyak cara pandang yang berbeda terhadap satu soal, dan semuanya begitu tak menjadi soal bahkan kemudian menghasilkan kesadaran-kesadaran yang luar bisa. Cara pandang yang berbeda sangat penting bagi kita saat ini, terutama karena kita telah disadarkan oleh proses perubahan sosial bahwa kesamaan cara pandang alih-alih menyelesaikan masalah malah mengekalkan masalah. Dalam dapat belajar bagaimana merumuskan masalah dari apa yang semula dianggap tidak ada masalah. Melalui cara ini kita jadi terpancing untuk mulai lagi merumuskan diri dan kehidupan kita secara baru, bukan dari hal besar dari apa yang menjadi basis dari kehidupan kita: yang remeh dan tak diperdulikan.

Filsafat yang kerap didefinisikan sebagai “hasrat akan kearifan” membuat siapapun yang bersentuhan dengannya tersedot pada hasrat itu. Dalam hasrat terhadap kearifan, kita akan malu ketika merasa diri sebagai sang arif, yang telah arif dan tak mungkin melakukan kesalahan. Terlebih pengakuan diri sebagai sang arif dalam sejarah filsafat ditulis dalam nada miring, yaitu sebagai kaum sofis yang menjajakan kepandaiannya untuk memanipulasi orang lain dengan bayaran tertentu.

Dalam kancah seperti ini, guru/dosen dan murid/mahasiswa tidak berbeda: semuanya memiliki posisi yang sama sebagai pencari yang berhasrat akan kearifan. Murid/mahasiswa yang sering dianggap sebagai orang-orang yang belum tahu, karena itu ia bersedia mencari untuk mendengar dan memperhatikan; dan guru/dosen yang kerap mereka yang tahu dan telah belajar, pandai, dan yang menyampaikan pengetahuan dan pandangan mereka; tidak ditemukan lagi ketika kita belajar filsafat. Dalam berfilsafat tak ada seorangpun yang “telah tahu” atau telah menemukan kepastian kebenaran. Bukankah filsafat berarti “hasrat menemukan kebenaran”, selagi definisi ini digunakan tak ada satu orangpun yang merasa telah sampai, karena itu tak ada yang bisa menjadi guru dalam arti “telah tahu”. Guru-murid berada dalam relasi mencari kebenaran dengan hasrat yang dalam. Perbedaannya terletak pada cara, guru mencari kearifan dengan cara menceritakan apa yang sudah ia alami (dari kehidupan dan buku-buku yang telah dibacanya) sedangkan murid mengemukakan hasratnya dengan secara tulus mendengarkan dan membaca uraian filsafat sambil menerapkan dalam pengalaman kehidupannya.

Dalam belajar filsafat ada aturan yang disarankan untuk diterapkan sejak awal, hukum itu berbunyi:

“…apa arti gagasan-gagasan mereka untuk para filsuf itu sendiri, apa nilai gagasan-gagasan itu dalam diri sendiri dan apa nilainya bagi kita: itulah ketiga pertanyaaan yang senantiasa harus diajukan orang dalam menyelidiki sejarah filsafat, meskipun secara didaktis atau eksplisit tidak selalu mungkin atau tidak selalu perlu diajukan secara terpisah…”[2]

Lewat cara ini, semua murid dianjurkan secara bebas untuk mengaitkan seluruh pemikiran dengan kondisi dirinya, dengan kesadaran dan hasratnya yang murni. Pada titik ini, ungkapan Wittgenstein, “Filsafat bukan ajaran melainkan suatu usaha” menjadi terasa. Filsafat bukan ajaran karena itu kita tak langsung harus percaya dan membelanya mati-matian, filsafat adalah usaha untuk menemukan kebenaran berdasarkan diri sendiri setalah bercermin dari kebenaran yang telah teruji.

Ketiadaan rasa malu dan takut, kepercayaan pada perbedaan, keyakinan bahwa diri sendiri mampu memecahkan pemecahan akan soal-soal kehidupan menjadi hasil lanjutan dari belajar filsafat. Hal ini mungkin kedengarannya agak berlebihan, untuk itu kisah Sophie dalam novel Jostein Gaardner, Sophies World bisa dikemukakan. Sophie, pada suatu pagi menemukan pertanyaan-pertanyaan aneh: siapakah kamu? Darimanakah datangnya Dunia? Dua pertanyaan itu membuatnya kebingungan, kenapa ada pertanyaan seperti itu? Untuk apa merumuskan pertanyaan sekonyol itu? Bukankah semuanya sudah tergelar dan begitu saja ada?

Lalu ditemani Albert Knox, lelaki misteriur, ia mengembara dari satu pemikiran filsuf ke pemikiran filsuf yang lain: dari Thales sampai Sartre. Dari banyak filsuf itu ia belajar merumuskan jawaban atas masalah kehidupannya. Dari Filsuf Yunani awal Sophie menemukan keajaiban berpikir dari hal-hal yang kecil dan remah seperti air, api atau lainnya; dari filsuf modern ia mendapatkan cara menganalisa kenyataan-kenyataan yang semula dianggap telah lazim; kemudian dari Sartre ia mendapatkan kesimpulan bahwa manusia tidak memiliki sifat untuk bergantung, manusia menciptakan dirinya sendiri. Seluruh penjelajahannya itu dirumuskan ulang untuk menjadi bekal perumusan situasi hidupnya, lalu Sophie menyatakan:

“Setelah melakukan telaah filsafat yang mendalam –yang dimulai dari Filosof Yunani awal hingga zaman sekarang—kami mendapati bahwa kami menjalani kehidupan kami dalam pikiran seorang mayor PBB di Lebanon….Eksistensi kita karenanya tidak lebih atau kurang dari semacam hiburan ulang tahun bagi Hilde Moller Knag (anak mayor tersebut). Kita semua telah diciptakan sebagai suatu kerangka bagi pendidikan filsafat untuk putri sang mayor. Ini berarti, misalnya, bahwa Mercedes putih di gerbang itu tidak berharga satu sen pun. Itu hanya barang sepele. Nilainya tak lebih dari Mercedes putih yang melaju berputar-putar di kepala seorang mayor PBB yang malang…”[3]

Sophie dan Albert Knox kemudian merealisasikan kegelisahan dan rumusan baru atas kehidupan yang mereka alami. Mereka berdua meninggalkan handai tolannya, keluar dari cerita novel dan berniat mendatangi Hilde dan Mayor. Handai tolannya, tentu merasa aneh dan menganggap semua keputusan Sophie sebagai tindakan sinting. Namun Sophie menjawab, “…Anda dan siapapun yang lain di sini tidak akan merindukan kami karena alasan yang sederhana, yaitu kalian tidak ada, kalian tak lebih dari bayang-bayang.”[4] Lalu Sophie dan Albert Knox mendatangi danau peristirahatan Hide dan Mayor dan melepaskan dayung perahu. Hanya itu yang mereka bisa lakukan setelah berfilsafat? Ya, tetapi itu masih lebih baik karena sudah merumuskan dirinya sebagai tidak sekadar tokoh novel dan menunjukkan daya kreasi di luar kehendak pengarangnya.

Kita mungkin juga tengah menjalani “kehidupan dalam pikiran seorang”, namun tidak pernah menyadarinya. Sophie dan Alberto Knox, lewat penjelajahan di dunia filsafat, bisa melakukan itu, yaitu menemukan simpulan yang menggerakkan kesadaran bahwa menjadi manusia berarti tak bergantung pada siapapun, menjadi manusia berarti merumuskan dirinya sen`diri. Situasi inilah yang barangkali ingin dicapai oleh Andreas Harefa ketika mengutip Peter Sange:

“Pembelajaran sebenarnya mendapatkan inti artinya untuk menjadi sangat manusiawi. Melalui pembelajaran kita menciptakan kembali diri kita. Melalui pembelajaran kita dapat melakukan sesuatu yang tidak pernah dapat kita lakukan sebemulnya. Melalui pembelajaran kita merasakan kembali dunia dan hubungan kita dengan dunia tersebut. Melalui pembelajaran kita memperluas kapasitas kita untuk menciptakan, menjadi bagian dari proses pembentukan kehidupan”.[5]

Harefa memilih kata pembelajaran untuk proses belajar, dan kata pembelajar untuk aktivitas pelaksanaan hasrat akan kebenaran. Saya pikir kita akan juga setuju dengan kriteria ini, karena dalam belajar filsafat yang terutama memang bukan menemukan informasi mengenai segala hal, namun menemukan diri kita sejati di tengah pergulatan kebenaran-kebenaran.

Filsafat sekali lagi adalah ikhtiar mencintai kearifan. Jadi hubungan guru-murid tidak berjalan dalam hubungan pewaris dan ahli waris. Jikapun ada warisan itu sekadar pemicu agar ahli waris melakukan petualangan untuk memasuki dirinya sendiri. Guru dan murid dalam proses belajar filsafat sama-sama berposisi sebagai thulab (penghasrat), seperti kata-kata Nabi Muhammad, “Jadilah thulab (penghsrat kebenaran) semenjak engaku lahir, sampai ke liang akhir”.

Kembali pada soal pembelajaran filsafat, bagaimana cara hubungan guru-murid? Socrates barangkali tipe ideal bagi guru filsafat, dan Plato adalah tipe murid yang menarik. Socrates menyatakan “saya tahu bahwa saya tidak tahu apa-apa” dan ia menyatakan bahwa ia tidak akan menyampaikan kesimpulan-kesimpulan pasti. Socrates hanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan pada diri dan orang lain, sehingga secara bersama-sama mencari jawabannya. Ia seorang arif karena ia dapat meletakkan pengetahuannya dalam kalimat: “Kita sudah sepakat bahwa…tetapi jika anda berkeberatan mengenai satu hal, katakanlah pada saya. Kemudian akan kita pikirkan lagi.”[6] Sementara Plato dengan setia mendengarkan serentak ikut terlibat mengajukan pertanyaan dan jawaban, kemudian menuliskannya dengan perspektif dirinya.

Di samping Socrates, apa yang dikemukakan Imanueal Kant dan Wittgenstein barangkali juga bisa diingat-ingat oleh pengajar filsafat.

“Dari saya, kalian tidak akan belajar filsafat. Saya mengajar kalian berfilsafat bukan pemikiran-pemikiran untuk ditiru, melainkan bagaimana caranya untuk berpikir sendiri”. (Imanuel Kant,)

“Saya tidak boleh mencegah orang-orang lain untuk berpikir, melainkan –apabila itu mungkin—mendorong seseorang untuk berpikir sendiri”. (Wittgenstein)

Kesemuanya dikemukakan agar proses pembelajaran filsafat dapat tetap menjaga energi kreatif dan kritis semua unsur yang terlibat.

“Berfilsafat semenjak taraf yang paling awal anti otoriter. Ia menjauhkan diri dari dogma-dogma, indoktrinasi, sensor dan perintah-perintah untuk pengumuman atau penarikan kembali. Salah satu yang pertama dan uatama dipelajari dalam filsafat adalah keberanian untuk menantang setiap bentuk paksaan dan tidak pernah mengakui suatu kebenaran atas dasar argumentasi-argumentasi otoriter, ancaman atau propaganda yang menggiurkan, melainkan semata-mata atas dasar penertian yang bebas dan alasan-alasan yang lugas. (Paperzak)

Belajar Filsafat; Belajar Mengajukan Pertanyaan


Pertanyaan-pertanyaan anda lebih penting daripada jawaban-jawaban anda dan setiap jawaban menyebabkan terjadinya pertanyaan-pertanyaan baru” Karl Jaspers.


Pertanyaan dan rasa heran adalah muasal filsafat atau berfilsafat. Kemajuan filsafat diukur dari pertanyaan yang diajukan bukan dari jawaban yang diberikan. Berfilsafat berkenaan dengan kemampuan memberikan pertanyaan terhadap sesuatu rumusan yang telah dianggap final. Dalam filsafat, setiap data dan setiap pengalaman sedapat mungkin ditinjau dengan tidak berprasangka dan dengan perhatian yang mendalam.

Jika kita ingin belajar filsafat, fokuskanlah pada pertanyaannya. Jika kita terfokus pada jawaban yang diberikan oleh para tokoh, kita akan terjebak pada pelbagai teori yang membingungkan (banyak tokoh, banyak jawaban untuk satu soal yang sama). Fokus pada jawaban saja akan membuang-buang waktu percuma. Untuk itu jangan membiasakan diri menghafal ungkapan-ungkapan tokoh-tokoh filsafat, namun kemukakanlah: apakah pertanyaannya?

Alasannya begini dapat bermula dari kata-kata Bertrand Russel berikut ini:

“…para filsuf sekaligus merupakan akibat dan sebab: akibat dari keadaan masyarakatnya dan hubungan-hubungan politik dan sosial dari zamannya; sebab- sepanjang mereka berhasil – dari anggapan-anggapan yang meninggalkan bekasnya pada hubungan-hubungan politik dan sosial dari kurun waktu kemudian.”

setiap filsuf hidup dalam ruang waktunya masing-masing. Ia berada dalam kehidupan, masalah dan teka-tekinya. Ia mengajukan pertanyaan sebagai upaya untuk memahaminya, lalu ditemukanlah sehimpun jawaban. Namun jawaban itu harus diletakkan dalam konteks kehidupannya yang tentu saja berbeda dengan kehidupan kita hari ini. Ungkapan Thales bahwa dunia ini berasal dari air, tentu begitu luar biasa untuk saat itu. Namun untuk saat ini, pada saat ilmu pengetahuan alam telah menunjukkan temuan-temuan yang lebih teruji, jawaban Thales menjadi tidak berarti. Berbeda jika kita berfokus pada pertanyaannya (apakah asal-muasal segala sesuatu?), Thales akan terus bisa digunakan karena pertanyannya masih bisa relevan untuk hari ini.

Jadi, mengutip Hector Hawton[7], cara yang lebih bermanfaat dalam belajar filsafat adalah dengan memperhatikan bagaimanakah setiap filsuf mengajukan beberapa pertanyaan baru, yang teranyam dengan argumen yang segar, dan kemudian mengajukan jawaban namun dimentahkan lagi oleh pertanyaan baru yang lebih segar dari filsuf kemudian. Begitu selanjutnya. Dengan cara ini, “kita tinggal menyaring pengalaman selama berabad-abad. Kita tidak saja mengetahui, misalnya, hal-hal yang ditanyakan oleh Locke, tetapi juga hal-hal yang dipikirkan oleh Berkeley mengenai pertanyaan itu, dan bagaimana kelanjutan pertanyaan tersebut ketika hinggal di berbagai pikiran Hume dan Kant.

Sekali lagi belajar filsafat berarti menelusuri pertanyaannya bukan jawabannya. Jika kita terpaku pada jawaban akan menjebak kita pada kesia-siaan. Di kancah filsafat yang satu soal terus-menerus menjadi masalah dari zaman ke zaman, memungkinkan satu argumen tidak memiliki umur yang panjang: ia bisa saja telah dikritik dan direvisi oleh pemikiran selanjutnya. Terpaku pada satu argumen saja, tanpa melihat nasib argumen itu pada lipatan sejarah berikutnya, akan membuat kita membicarakan botol kosong. Kita bersikutat pada argumen yang pada zamannya terbukti sebagai argumen yang salah; atau mengajukan pertanyaan yang pada masa lampau pernah diperbaiki dengan perbaikan yang hati-hati.

Jadi, sebagai langkah, salah satu cara terbaik untuk belajar filsafat adalah 1) carilah pertanyaannya, 2) temukan bagaimana pertanyaan itu dijawab, 3) bagaimana jawaban itu digugat dan diperbaiki; atau bagaimana pertanyaan itu diperbaiki atau digugat dari masa ke masa.

Membaca buku filsafat merupakan kegiatan memperhatikan secara mendalam terhadap segala yang telah dipikirkan orang lain (filsuf-filsuf), menyiapkan rasa heran dan siap mengajukan segala pertanyaan pada mereka. Tokoh yang kita baca barangkali seorang filsuf besar, namun belum tentu ia telah begitu sempurna tanpa kesalahan yang bisa dipertanyakan. Kalaupun ada yang sempurna, kesempurnaan itu untuk zamannya yang belum tentu pas untuk zaman kita.

“Ciri khas dari seorang filsuf yang baik bukanlah bahwa dia harus dapat memecahkan segala persoalan…Seringkali yang paling baik yang dapat dikerjakannya adalah menunjukkan masalah-masalahnya, melukiskannya dengan kata-kata, sekalian dengan segala sesuatu yang mungkin tidak dapat dihindari, dan menerangkan akibat-akibat yang disebabkan oleh keadaan persoalan yang bersangkutan atas penyelidikan-penyelidikan yang lain” (Xenophone)[8]

Hal ini akan bisa dibuktikan jika kita membaca tokoh lain yang muncul setelah tokoh yang kita baca. Kita akan menemukan gugatan atau revisi atas pertanyaan yang menjadi dasar tokoh yang sedang kita baca.

Jadi, bagaimana cara kita belajar filsafat?

Anggaplah filsafat bukan barang suci yang disakralkan. Ia hanya pemikiran biasa dari orang biasa yang bisa kita gugat, dipertanyakan ulang.
“Jika orang menginginkan suatu filsaat sebagai suatu sistem prinsip-prinsip yang menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang kebenarannya sangat pasti, maka hal itu adalah sesuatu yang mustahil” (Ubbink).[9]

Filsafat bukan pemikiran yang selesai, ia bahkan selalu menyisakan pertanyaan baru yang membuat kita dipaksa terlibat, yakinlah bahwa di dalam filsafat, kita –jarang atau– tidak pernah mendapatkan pemecahan-pemecahan yang tuntas atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

Filsafat adalah pemikiran yang mengundang kita untuk selalu terlibat langsung. Banyak sekali filsafat yang maksudnya agar kita meneruskan apa yang telah dimulainya. Dengan demikian jangan sungkan-sungkan untuk tidak sependapat, tuliskan pendapat dan sanggahan anda, ujilah kebenaran yang dikemukakan oleh filsuf-filsuf itu. Alfred Ayer pernah menyarankan untuk menjadikan pemikiran seseorang sebagai bahan latihan berfilsafat. Ayer menyatakan, “…..ajukan pendapat-pendapat yang sudah tetap itu, sebagai bahan diskusi; mencari standar-standar dan menguji nilai-nilainya; apa asumsi-asumsi itu masih berlaku.” Dengan cara ini kita terlibat, juga kehidupan nyata kita.
Agar bisa menguji dengan baik, kita juga jika perlu harus menunda apa yang semula kita yakini. Dengan cara ini, kita tidak berperang sendirian. Jika dalam pikiran kita masih ada keyakinan lama dan itu dijadikan ukuran, kita tak akan menemukan mutiara yang ditawarkan orang lain. Rasakan dulu tanpa prasangka, baru setelah itu dibandingkan. Serentak dalam perbandingan itu, kita telah melakukan pengujian secara tidak langsung.
Seorang pembelajar filsafat tidak pernah merasa benar sendiri, telah benar dan tak mungkin salah.
“Tidak ada yang kurang pantas bagi seorang filsuf selain daripada mau benar sendiri dalam diskusi dan dalam berargumentasi. Mereka benar sendiri –sampai bentuk refleksi logisnya yang paling halus—adalah pengungkapan “jiwa mempertahankan diri”, yang justru menjadi tujuan seorang filsuf untuk menghapuskannya…” (Theodor W. Adorno)

Artikel ini mencoba menawarkan uraian sejarah filsafat dalam kaitan sebab-akibat, menekankan bahwa inti berfilsafat adalah pertanyaan, dan terakhir memberi peluang bagi kita semua untuk terlibat. Maksudnya,

Satu pemikiran akan diletakkan dalam kaitannya dengan situasi yang menyebabkannya (pemikiran dan situasi zaman sebelumnya) dan situasi yang diakibatkannya (pemikiran dan situasi zaman yang muncul sesudahnya).
Setiap pemikir diletakkan dalam drama pencarian jawaban-jawaban atas pertanyaan pemikir sebelumnya. Ikhtiar yang bermula dari pertanyaan lain (yang mempertegas atau menambahkan pertanyaan utama) lalu merumuskan dengan cara baru, namun rumusan itu akan juga dikritisi dan direvisi oleh pemikir sesudahnya. Dengan cara ini kita akan menemukan kehebatan seorang filsuf (yaitu ketika kita membandingkan dengan filsuf sebelumnya) sekaligus kelemahan seorang filsuf (yaitu ketika kita membandingkan dengan filsuf sesudahnya).
Setiap pemikir, diupayakan, dikaitkan dengan situasi zamannya serta kemungkinannya bagi aplikasi di zaman ini.
Dalam kaitan sejarah inilah ungkapan Neil Postman dapat dikemukakan, bahwa setiap tokoh dalam sejarah pemikiran ditampilkan sebagai pembuat kesalahan yang besar (the great error maker) sekaligus juga pengoreksi-pengoreksi kesalahan yang besar (the great error-corrector). Karena itu bagi Postman Bagi Postamn, proses belajar selayaknya sanggup memperlihatkan pada peserta belajar bahwa kesalahan bukanlah sesuatu yang memalukan, karena justru melalui kesalahan kita dapat meningkatkan pemahaman kita terhadap sesuatu.
“Karena kita adalah jiwa yang tidak sempurna, maka pengetahuan kita juga tidak sempurna. Sejarah tentang proses belajar adalah sebuah petualangan untuk mengatasi kesalahan-kesalahan kita. Tidak ada dosda bagi orang yang berbuat salah. Dosa itu ada pada ketidakmauan kita menguji kepercayaan-kepercayaan, dan mempercayai bahwa kemampuan-kemampuan kita tidak bisa salah”.[10]

MENALAR TUHAN

SETIAP akhir tahun selalu saja ada sajian pamungkas dari Tuhan yang unforgettable. Desember 2004, jangan bilang Anda lupa, satu balatentara Tuhan berkunjung ke Serambi Mekkah. Desember 2005, jangan bilang Anda tidak menonton berita yang menginformasikan bahwa 55 orang dilaporkan meninggal dalam peristiwa kelaparan di Kabupaten Yahukimo, Papua. Desember 2006, jangan katakan pula bahwa Anda tidak membaca koran dan melupakan tragedi tenggelamnya Senopati Nusantara yang meminta korban 500 orang lebih. Desember 2007, jangan bilang pula, bahwa Anda tidak mendengar berita banjir dan longsor di Karanganyar, Jawa Tengah, yang merenggut 60 lebih korban jiwa. Dan terakhir, Desember 2008, tolong, jangan katakan bahwa Anda terlalu sibuk dengan deadline pekerjaan, atau sibuk dengan persiapan perayaan Tahun Baru, sehingga tidak mendengar dan memperhatikan berita yang bergema dan ditayangkan di seantero bumi, bahwa ada tetesan duka tak terperi yang dialami saudara-saudara kita di Gaza, Palestina. Apakah Anda masih santai liburan dan cake Tahun Baru masih tersimpan di kulkas? Hmh, dunia begitu paradoks. Tuhan seolah begitu nyata ketika kita ikut dalam gegap gempita pergantian tahun, tapi bagi mereka yang naas, pertanyaan yang niscaya dan tak jauh-jauh; “di mana Tuhan saat itu, dan, mengapa Dia membiarkan hal ini terjadi?”.

………..Ya. Teodice, perihal keadilan Ilahi, tantangan terbesar Filsafat Ketuhanan, dan pertanyaan perihal adanya penderitaan termasuk di dalamnya. Apa yang bisa kita jawab jika masih ada orang yang meminta pertanggungjawaban iman kepada Allah dari kita, ketika Allah Tuhan yang kita imani masih mengizinkan adanya penderitaan di muka bumi, yang notabene (secara akal) bertentangan dengan sederet atribut ke-Maha-an yang dimiliki-Nya? Pertanyaan yang tidak terlalu baru (sebagai tambahan) : rasionalkah bila kita masih percaya Tuhan?

***

………..Mencoba memberikan pengertian-pengertian kepada nalar (dengan nalar) bahwa di abad 21 masih percaya pada Tuhan adalah sangat masuk akal, bahwa apa yang diyakini tidak bertabrakan dengan nalar. Itulah setidaknya yang dilakukan Romo Magnis dalam bukunya Menalar Tuhan ini. Bisa dibilang, elaborasi wacana penalaran atas Tuhan dalam buku ini cukup komprehensif dan dipaparkan secara progres. Dimulai dari pembebasan masalah ketuhanan dari mitologi, bahwa keimanan kepada Tuhan tak semata karena warisan turun-temurun. Kemudian melangkah ke persoalan metafisika. Disusul dengan terbitnya fajar modernitas abad 19-20 yang melahirkan skeptisisme terhadap Allah, di mana pemikir-pemikir ateis mulai bermunculan. Di sini tanggapan-tanggapan atas statemen lima pemikir besar ateisme, dikemukakan Romo Magnis dengan amat meyakinkan. Dan pembahasan mulai semakin menarik ketika sudah melangkah ke bahasan agnostisisme, di mana dikatakan bahwa wacana Tuhan berada di luar cakupan filosofis. Empat model agnostisisme filosofis dibicarakan di sini. Namun yang paling menarik perhatian adalah prinsip falsifikasi Flew, berhubungan dengan hal yang menjadi intro tulisan ini, bahwa adanya ketidakadilan, lebih-lebih penderitaan di mana-mana, memfalsifikasikan eksistensi Tuhan.

Apabila Tuhan adalah Sang “Pengada Mahatahu, Mahakuasa, Mahaadil, Mahaberbelaskasihan”, namun penderitaan dan ketidakadilan di dunia berlangsung terus, Ia tidak bisa dibedakan lagi dari Pengada yang tidak Mahatahu, atau Ia tahu tapi tidak Mahakuasa, atau Ia memang tahu dan mampu bertindak, tapi tidak Mahaadil dan Mahaberbelaskasihan, sehingga Ia tidak dapat dibedakan lagi dari yang bukan Tuhan. (hal.117)

………..Tapi masalah ini, tak ubahnya seperti dialog tanpa kesimpulan antara orang Beriman dengan seorang Skeptik dalam karya Davies (Tuhan, Doktrin dan Rasionalitas : 2004), bahwa segala ketidakmengertian tentang Tuhan, ujung-ujungnya adalah masalah iman. Padahal tantangan atas irasionalitas iman harus segera dijawab. Mengatakan bahwa hal ini hanya persoalan iman semata, tidak akan menyelesaikan masalah Tuhan secara begitu saja.

………..“Anda mempercayai Tuhan, entah karena apa, kami terima. Tapi kami tetap tidak habis pikir; bagaimana Anda masih bisa percaya pada Tuhan yang mahakuasa, mahabaik, dan mahaadil padahal Anda menyaksikan begitu banyak penderitaan di dunia. Andai Tuhan memang ada, kenapa ini dibiarkan? Kepercayaan Anda sendiri irasional!” (hal. 123, sebuah bentuk statemen imajiner yang masih bisa dilontarkan mereka yang meragukan rasionalitas keimanan pada Tuhan). Artinya, kita yang percaya Tuhan, dituntut untuk memperlihatkan secara positif bahwa kepercayaan kita kepada Tuhan adalah masuk akal. Maka dari sini, nalar (dengan menggunakan filsafat) mulai harus bekerja mencari jawaban. Tentu, menalar di sini tidak identik dengan memahami rahasia Ilahi, melainkan apa yang diimani disadari tidak ada pertentangan dengan akal budi. Dan, bab terakhir buku ini mulai fokus pada masalah teodice.

***

………..Penjelasan-penjelasan yang kerap kita dengar, seperti, penderitaan adalah hukuman atas dosa yang bersangkutan; penderitaan akan diganjar surga; dengan penderitaan kualitas manusia bisa diuji; penderitaan memurnikan hati; dunia lebih baik jika ada penderitaan daripada tidak; dan yang paling ekstrim, kita tak tahu apa-apa soal Allah, jadi lebih baik tutup mulut dan jangan banyak bertanya lagi, jelas tidak memuaskan.

………..Lantas, apa yang bisa dijelaskan oleh filsafat?

“Penderitaan tak lain merupakan kodrat penciptaan. Bahwa Allah “tidak bisa” menciptakan sesuatu yang tidak bertentangan pada diri-Nya sendiri, tidak serta merta mengurangi kemahaan-Nya, melainkan sebaliknya berakar dalam konsistensi Allah dalam kemengadaan-Nya. Allah tidak akan intervensi untuk mencegah keburukan, penderitaan, yang secara hakiki menjadi mungkin dengan alam raya yang seoerti ini. Sebab, jika Ia campur tangan, maka pada saat yang sama, Ia telah menjadikan alam berjalan tidak sesuai kodrat yang digariskan-Nya. Begitu Allah memutuskan menciptakan alam dengan segala isinya (yang serba tidak sempurna) ini, maka segala luka, kekerasan, dan perasaan sakit tidak bisa dihindari.” (hal.226)

………..Namun penjelasan tersebut gagal karena ia tidak bisa menjelaskan bagaimana penderitaan kerap terjadi dalam skala yang besar. Di sini Romo Magnis mengemukakan jalan lain yang harus ditempuh, yakni “kita tidak boleh hanya berfokus pada keburukan dalam ciptaan (pada penderitaan), melainkan juga pada kebaikan” (hal.228), dan dengan meminjam pernyataan seorang filosof dan teolog Roma pasca-Romawi, Boethius (480-524), bahwa : “Si quidem deus est, unde mala? Bona vero unde, si non est?” (Apabila Allah ada, dari mana hal-hal buruk? Tetapi dari mana hal-hal baik, kalau Ia tidak ada?). Intinya, betapa pun kita tidak mengerti, segala penderitaan dan kengerian yang kita alami, terkalahkan oleh kebaikan Ilahi. Kunci pengatasan masalah teodice adalah janji yang terimplikasi dalam adanya Allah bahwa “Ia akan menghapus segala air mata kita”. Filsafat sudah tidak bisa melangkah lebih jauh.

………..Pertanyaan mengapa Allah mengizinkan penderitaan, filsafat mengakui tidak bisa menjawab, dan ia tidak bisa dipecahkan. Yang bisa dilakukan filsafat adalah mengantar kita (yang masih percaya Tuhan), ke ambang iman. Kita mengakui bahwa kita tetap tidak mengerti. Kita hanya diajak untuk percaya, bahwa segala penderitaan akan menjadi lebih baik.

***

………..Buku Romo Magnis ini cukup bagus untuk memperkaya pengertian kita, yang tak lain untuk meringankan beban pertanyaan yang mengendap dalam batin dan menjadi hal yang dipermasalahkan nalar. Tentu, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan nalar pun ada batasnya, termasuk pertanyaan tentang penderitaan. Tetapi meski filsafat akhirnya menyerah dan tidak sanggup berjalan lebih jauh, toh, iman bisa mengambil alih. Yang jelas, dengan bantuan nalar, maka dimensi terdalam agama bisa dicapai. Meski ujungnya diserahkan pada iman kembali, yang pasti, nalar memahami, bahwa ternyata semua ini masih bisa dijelaskan secara masuk akal. Sebab, ketika Allah menjadi pertanyaan, maka Ia-pun bisa menjadi jawaban. ***

“I believe in God with or without evidence” – Gentole, suatu ketika.

Sunday, September 5, 2010

Jika Sudah Ada Kitab Suci, Masih Perlukah Filsafat?


Sering saya mendengar selentingan seperti itu dari forum lintas agama dan kepercayaan yang pernah saya ikuti di internet. Maksud mereka, bukankah kitab suci memuat wahyu Allah yang sudah pasti komplet, dapat dituruti secara langsung, dan berlaku untuk semua manusia sepanjang zaman di seluruh dunia? Kalau sudah begitu, untuk apa lagi bersusah payah bergulat dengan akal budi untuk mencari apa yang baik dan buruk di dunia ini? Bukankah kita tinggal memeriksa aturan-aturan yang tercantum di kitab suci? Wong namanya saja wahyu Allah—pasti isinya lengkap!

Begitulah pendapat mereka.
Pertanyaan kritis untuknya, tentu saja, adalah “benarkah hal itu?”

Saya menjawab pertanyaan ini berdasarkan tulisan seorang profesor filsafat,
Franz Magnis-Suseno, SJ.

Berikut, ringkasannya:

Ada 4 hal mengapa Agama TIDAK membuat Filsafat TIDAK PERLU dipelajari.

# Pertama, manusia secara alamiah tertarik untuk berefleksi dan mencari makna, termasuk terhadap agama. Di sinilah filsafat membantu merefleksikan agama secara rasional, ilmiah, dan bertanggung jawab.

# Kedua, meskipun agama relevan bagi seluruh hidup kita, wahyu Allah BUKAN sebuah “Encyclopedia Britannica” yang memuat penjelasan tentang apa pun. Wahyu pada hakikatnya mengenai hal-hal yang tak bisa manusia ketahui, yaitu tentang Allah, tentang tindakan Allah terhadap manusia, dan tentang apa yang diharapkan Allah dari manusia. Nah, untuk yang dapat diketahui manusia sendiri, Allah memberikan akal budi dan daya bernalar agar manusia mencarinya sendiri.

# Ketiga, Agama tidak hanya ILAHI sifatnya, tetapi juga MANUSIAWI.
Yang Ilahi adalah wahyu sendiri, sedangkan bagaimana wahyu ditafsir ialah perbuatan manusia yang dapat salah. Maka, tafsiran itu harus selalu disorot secara kritis terus menerus, justru agar manusia tidak memalsukan wahyu ilahi.

# Keempat, Filsafat sebenarnya TIDAK menyaingi agama.
Jika kita mencari jawaban apa yang Allah kehendaki dalam hidup manusia, apa kebenaran hidup kita, apa kewajiban paling penting, kita tidak mencarinya dalam filsafat, tetapi pada Allah (agama). Tugas filsafat itu lain!

Perlu diingat, dalam Filsafat yg penting bukan JAWABANnya, melainkan PERTANYAANnya. Maka, Filsafat tidak berlagak dapat memberikan kepastian-kepastian untuk membangun hidup kita.

Sebaliknya, filsafat ialah sarana untuk memeriksa kembali segala pengandaian dan keyakinan justru agar tidak meleset dari maksud suatu wahyu ilahi yang sebenarnya. Di sinilah filsafat menyediakan metode-metode untuk memeriksa jangan-jangan kita menipu diri.

Saturday, August 14, 2010

TRI TUNGGAL MAHAKUDUS


Bagaimanakah caranya memahami Tritunggal (Trinitas)? Ini adalah dogma Kristiani yang penuh misteri sekaligus penuh tantangan. Tetapi seharusnya kita dapat menjawab pertanyaan orang lain tentang Tritunggal dan tidak menyerah begitu saja dengan mengatakan bahwa Itu adalah misteri Allah. Untuk memahami Tritunggal, kita harus kembali kepada kitab pertama dalam Taurat (Perjanjian Lama), yaitu Kitab Kejadian (Genesis).


Berikut adalah petikan dari Kitab Kejadian 1:1-3.

1Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. 2Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air.

3Berfirmanlah Allah: “Jadilah terang.” Lalu terang itu jadi.

Jika kita perhatikan, maka kita akan menyadari bahwa ada 3 Pribadi yang terlibat di sini, yaitu: Allah, Firman Allah, dan Roh Kudus. Adanya Pribadi lebih dari 1 ini didukung dengan adanya dialog Allah dan bagaimana Allah menyebutkan diri-Nya sebagai “Kita”.

Saya mengacu pada Kitab Kejadian karena kitab ini merupakan kitab pertama yang menyatakan keberadaan Allah, peran Allah dalam penciptaan alam semesta dan manusia sekaligus catatan pertama interaksi Allah dengan manusia. Bagi saya pernyataan tentang Allah di kitab ini amat-sangat utama, terutama dan pertama. Kitab Kejadian (bagian dari Taurat) dijamin oleh Yesus Kristus tidak akan berubah sepanjang masa. Bahkan lebih mudah bumi dan langit lenyap dari pada 1 titik dari Taurat dibatalkan (Mat 5:18; Luk 16:17).

Sebelum membaca lebih lanjut, Anda harus berinterospeksi terlebih dahulu. Bukalah mata hati dan pikiran Anda, baru teruskan membaca. Berikut adalah test untuk Anda sebelum melanjutkan membaca sisa artikel ini:

Jika Anda mengakui bahwa Kitab Kejadian ini adalah benar dan memiliki integritas tinggi, kudus dan memiliki kesucian yang tidak bernoda, silakan baca sisa artikel ini.
Tetapi jika Anda memandang bahwa Injil (Alkitab) telah diubah sehingga dianggap tidak asli dan kehilangan kesucian dan kekudusannya, silakan untuk tidak membacanya. Tetapi jika Anda tetap ingin membacanya, silakan membacanya dengan hati-hati, dengan rendah hati disertai pikiran dan hati yang terbuka.
Mengapa begitu? Soalnya ada banyak sekali orang yang menganggap bahwa Injil telah diubah dan kehilangan kesuciannya. Padahal tidak! Sekali lagi: tidak! Anda tidak perlu meragukan kesuciannya. Walau pun banyak versi terjemahan Kitab Suci di seluruh dunia, tetapi Alkitab tetap Suci dan Kudus!

Yesus Kristus sendiri telah bersabda:

“Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu” (Mat 24:35; Mar 13:31; Luk 21:33).

“Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi.” (Mat 5:18)

“Lebih mudah langit dan bumi lenyap dari pada satu titik dari hukum Taurat batal.” (Luk 16:17)

Bahkan Al Quran pun bersaksi tentang keaslian Firman Allah, yaitu Alkitab (Al Kahfi 18:27; Al Hijr 15:9). Selain itu disebutkan juga bahwa umat beriman (muslim) agar: “menjaga Kitab (Alquran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu” (Al Baqarah 2:2-4) dan memerintahkan Muhammad untuk mencari pertolongan dari para ahli Alkitab (Yunus 10:94). Jika Injil dianggap telah diubah dan kehilangan kesuciannya dan Anda meragukannya, maka Alquran gagal menjaganya!


Dialog Allah

Proses penciptaan ini dilukiskan dalam bentuk dialog yang tentu saja melibatkan lebih dari 1 pribadi – dalam hal ini terdapat 3 Pribadi. Gaya bahasa dalam Kitab Kejadian ini juga mendukung adanya dialog. Gaya penulisan ini tidak mungkin merupakan monolog.

Apakah Anda mengklaim bahwa Allah berbicara sendiri? Apakah Anda dalam hal ini meragukan integritas Allah karena berbicara sendiri? Berikut adalah kutipan tentang penciptaan manusia dari Kitab Kejadian 1:26.

26Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.”

Sedangkan ketika Allah berbicara pada manusia, Dia menggunakan kata “Aku” yang artinya: interaksi dengan manusia dilakukan oleh 1 Pribadi saja. Berikut petikan dari Kej 1:29.

29Berfirmanlah Allah: “Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu.”

Artinya tidak ada yang salah dengan Kitab Kejadian! Penggunaan kata “Kita” memang benar-benar menunjukkan Pribadi yang jamak, sedangkan penggunaan “Aku” benar-benar tunggal.


Misteri 3 Pribadi yang Tunggal

Memang bagi sebagian orang akan sulit memahami adanya 3 Pribadi yang Tunggal ini. Dari ayat Kej 1:1 akan banyak mengundang debat. Mereka menganggap bahwa Allah dan Roh Allah itu adalah satu. Memang benar! Tetapi mengapa Kitab Kejadian menyebutkan: “Allah” dan “Roh Allah melayang-layang” yang nyata-nyata dipisahkan? Suatu misteri bukan? Apakah tidak lebih baik jika semuanya konsisten dan menyebutkannya sebagai: “Allah” saja?

Tetapi ternyata tidak demikian! Justru konsistensi terjadi dengan penyebutan yang berbeda bagi ke-3 Pribadi yang Tunggal tersebut, yaitu: Allah, Firman Allah (Putera Allah), dan Roh Allah (Roh Kudus).

Sebuah wacana manusia mengusulkan analogi telur. Walau pun tidak pernah tepat benar, tetapi sedikit memberikan wacana. Berikut wacana tersebut: Telur itu terdiri dari kulit telur, putih telur dan kuning telur. Mereka bermakna telur jika ketiganya menyatu. Tetapi ketika diuraikan, mereka tidak dapat disebutkan sebagai telur, tetapi hanya kulit telur saja, putih telur saja, atau kuning telur saja. Jika ketiganya diuraikan, mereka bukan telur!

Ada juga yang memberikan wacana dengan mencoba menganalogikan sebagai air yang memiliki 3 bentuk, yaitu: uap, cairan dan es. Semuanya adalah air! Walau pun demikian mereka adalah air juga yang memiliki 3 bentuk.

Kedua wacana manusiawi di atas tidak bisa menggambarkan Tritunggal Mahakudus Allah dengan baik. Demikian pula dengan wacana-wacana baru lain yang diusulkan manusia. Semuanya tidak pernah akan dapat menggambarkan Allah! Mengapa?

Jawabannya jelas: kita hanya manusia! Tidak mungkin kita menggambarkan Allah menurut ukuran, kemampuan dan pikiran manusiawi kita. Jadi, berupaya menggambarkan Allah secara manusiawi tidak akan pernah bisa kita lakukan. Yang patut disesalkan adalah adanya sebuah upaya sebuah kitab yang mencoba menggambarkan Allah sebagai Zat. Saran saya adalah: jangan mencoba menggambarkan Allah secara materialistik! Karena Allah bukan zat atau pun material lainnya.

Lalu bagaimana? Tidak akan pernah ada penjelasan yang manusiawi mengenai hal ini. Yang harus kita lakukan adalah dengan mengimaninya. Kita harus melihatnya dengan kaca mata iman. Bukalah mata hati dan pikiran Anda dengan rendah hati. Berserahlah dan percayalah pada Alkitab. Gantungkan kepercayaan Anda padanya. Karena Kitab Suci adalah Firman Allah yang tertulis bagi manusia.

Logika dapat Anda pakai untuk memahami Alkitab, seperti yang saya lakukan, yaitu dengan menyadari bahwa ada 3 Pribadi Mahakudus yang terlibat sebagai Allah! Mereka adalah Allah, Firman Allah dan Roh Allah. Mereka 3 Pribadi tetapi tetap Tunggal!


Putera Tunggal Allah

Umat Kristiani mengimani adanya Pribadi yang kedua, yaitu Putera Allah. Kitab Yohanes dengan baik sekali melukiskan Pribadi Putera Allah ini dalam Yoh 1:1.

1Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. 2Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. 3Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan.

Penjelasan ini baik sekali sekaligus menjelaskan Kej 1:3 bahwa Firman itu benar-benar sebagai Pribadi yang ke-2. Dan kemudian dijelaskan pula bahwa Firman Allah ini menjelma (ber-inkarnasi) menjadi manusia dalam Yoh 1:14.

14Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemulian-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.

Tampak bahwa Firman itu menjelma menjadi manusia dan Allah Bapa memberikan kemuliaan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa. Artinya adalah benar bahwa Yesus Kristus adalah Anak Tunggal Bapa dan kita menyebutkan-Nya sebagai Putera Allah yang tunggal.

Jangan mencoba memahami proses peranakan Allah ini seperti halnya proses peranakan pada manusia. Proses peranakan Allah tidak menggunakan cara manusia yang dilakukan secara biologis (sex). Tetapi peranakan Allah dari Roh Kudus.

Kelahiran Yesus Kristus adalah seperti berikut: Pada waktu Maria, ibu-Nya, bertunangan dengan Yusuf, ternyata ia mengandung dari Roh Kudus, sebelum mereka hidup sebagai suami istri. (Mat 1:18)

… “Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai istrimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus.” (Mat 1:20)

Jawab malaikat itu kepadanya: “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.” (Luk 1:35)


Kesatuan 3 Pribadi yang Tunggal

Walau pun ada 3 Pribadi yang berbeda, tetapi Allah tetap Satu dan Esa. Mereka adalah tetap Allah walau pun memiliki bentuk yang berbeda. Berikut adalah beberapa kutipan dari Kitab Suci:

“Aku dan Bapa adalah satu.” (Yoh 10:30)

“… bahwa Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa.” (Yoh 10:38)

“Dan Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu.” (Yoh 17:22)

“… Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang diam di dalam Aku, Dia-lah yang melakukan pekerjaan-Nya.” (Yoh 14:10)

Yesus Kristus adalah manifestasi kesucian Firman Allah. Apa yang difirmankan Yesus Kristus tidak akan lekang dimakan jaman, karena Yesus Kristus adalah Firman Allah itu dan kekal adanya.

“Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu” (Mat 24:35; Mar 13:31; Luk 21:33).


Penutup

Dalam artikel ini saya tidak mencoba menganalogikan atau berupaya menjelaskan Tritunggal Mahakudus secara manusiawi mau pun secara logika. Wacana analogi telur dan air adalah sumbangan pemikir lain yang saya rasa tidak akan pernah dapat menjelaskan Tritunggal Mahakudus dengan baik. Mungkin sedikit membantu, tetapi tidak akan pernah dengan sempurna menjelaskan Tritunggal Mahakudus.

Dalam artikel ini saya hanya mencoba untuk mengumpulkan fakta dari Injil bahwa Tritunggal Mahakudus ini tersirat dan tersurat. Tidak perlu mencoba menganalogikan atau memanusiawikannya karena akan malah menyesatkan.

Tetapi terimalah dengan iman Anda. Anda tidak perlu berupaya keras mencoba memahaminya. Karena mencoba memahaminya berarti Anda mencoba memahami Allah. Suatu usaha yang amat-sangat berat. Atau boleh saya katakan: suatu usaha yang sia-sia dan mustahil. Tidak mungkin pikiran manusiawi kita yang terbatas ini dapat menampung pikiran Allah yang Mahakudus, Mahamengetahui dan segenap Maha yang lain.

Jika Anda meragukan esensi Tritunggal Mahakudus ini, maka Anda meragukan Kitab Suci! Jika Anda meragukan integritas Tritunggal Mahakudus ini, maka Anda meragukan Firman Allah yang tertulis dalam Kitab Suci! Anda harus tahu: Kitab Suci tetap Suci dan Kudus, selama-lamanya.

“Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu” (Mat 24:35; Mar 13:31; Luk 21:33).

Sunday, June 27, 2010

THE CATHOLIC PRIEST



To live in the midst of the world
without wishing its pleasures:
To be a member of each family, yet
belonging to none:
To share all sufferings; to penetrate
all secrets; to heal all wounds;
To go from men to God and offer Him
their prayers;
To return from God to men to bring
pardon and hope;
To have a heart of fire re for charity and
a heart of bronze for chastity;
To teach and to pardon, console and
bless always.
My God, what a life!
And it is yours, Priest of Jesus
Christ!

Jean Baptiste Henri Lacordaire
(French Dominican priest, 1802-1861

Tuesday, May 4, 2010

Siapakah Roh Kudus Itu? ( Who is the Holy Spirit? )


Roh Kudus adalah salah satu topik yang paling banyak dibicarakan di kalangan orang-orang Kristen saat ini. Banyak orang kebingungan dan simpang-siur tentang ajaran Roh Kudus ini. Banyak pemberita Injil enggan mengajarkan topik ini di jemaat oleh karena kurangnya pengetahuan tentang Roh Kudus. Sebagian lagi takut mengajarkannya karena takut di- kritik. Sebagian orang mengajarkan bahwa Roh Kudus itu adalah semata-mata semacam zat yang dapat memenuhi orang. Ada pula orang yang mengatakan bahwa Roh Kudus itu adalah kekuatan misterius yang bekerja dalam hati manusia yang membawa kepada pertobatan dan keselamatan. Sebagian lagi percaya bahwa Roh Kudus itu semata-mata hanya pengaruh atau tenaga aktif Ilahi.
Siapakah Roh Kudus itu? Perhatikan, pertanyaan kita bukan “Apakah Roh Kudus itu?” melainkan “Siapakah Roh Kudus itu?” Ini yang menjadi pertanyaan karena Roh Kudus itu adalah pribadi, individual dengan kepribadian. Dia lebih dari sekedar suatu kekuatan atau kuasa; Dia adalah pribadi surgawi yang hidup.1
Ada banyak hal yang tidak dapat kita ketahui tentang Roh Kudus (Ulangan 29:29), tetapi banyak pula yang dapat kita pelajari. Oleh karena Alkitab diilhami oleh Roh Kudus (2 Petrus 1:21; Efesus 6:17). Roh Kudus adalah pengarang Alkitab yang sesungguhnya (Kisah Rasul 28:25; Ibrani 3:7; 10:15), maka kita harus mempelajari Roh sedapat mungkin. Ada 90 referensi tentang Roh Kudus di dalam Perjanjian Lama dan kira-kira 263 di dalam Perjanjian Baru.2

A. Dia Adalah Pribadi

(1) Banyak sebutan untuk Roh Kudus di dalam Perjanjian Lama dan di dalam Perjanjian Baru sendiri ada 40 sebutan. Beberapa sebutan tersebut hanya dapat diaplikasikan kepada seseorang atau pribadi. Contohnya Dia disebut penolong (Yohanes 14:16, 26; 15:26; 16:7). Di dalam 1 Yohanes 2:1 disebut pengantara. Disebut begitu karena Dia memberikan pertolongan dan penghiburan kepada umat Allah (Kisah Rasul 9:31). Ketika Perjanjian Baru berbicara tentang Roh Kudus sebagai Roh Allah atau Roh Kristus (Roma 8:9; Lukas 4:18; Kisah Rasul 16:6, 7) ini berarti lebih dari sekedar pikiran atau watak atau sifat dari Allah atau Kristus. Sebab walaupun kata “Roh” adalah berbentuk “neuter” dalam tata bahasa, namun kata ganti maskulin kadang-kadang dipakai untuk Dia di dalam Perjanjian Baru bahasa Yunani (Yohanes 14:26; 16:13, 14).
(2) Kepribadian Roh Kudus dapat dilihat dari sifat-sifatNya. Sifat-sifat Roh Kudus menunjukkan bahwa Dia adalah pribadi yang hidup, seorang individual dan bukan hanya sebuah tenaga. (1) Membuat keputusan (Kisah Rasul 15:28); (2) Pikiran (Roma 8:27); (3) Kehendak (1 Korintus 12:11); (4) Pengetahuan (1 Korintus 2:11); (5) Perasaan (kasih, duka-cita, suka-cita) (Roma 15:30; Efesus 4:30; 1 Tesalonika 1:6).
(3) Roh Kudus bertindak sebagai seorang pribadi dan bukan hanya sebuah tenaga semata. Dia dapat melakukan hal-hal berikut ini: (1) Mengajar dan mengingatkan (Yohanes 14:26); (2) Bersaksi (Yohanes 15:26); (3) Memimpin kepada kebenaran (Yohanes 16:13); (4) Berbicara (1 Timotius 4:1); (5) Melarang (Kisah Rasul 16:6); (6) Menyelidiki (1 Korintus 2:10); (7) Bersekutu (2 Korintus 13:14); (8) Memohonkan (Roma 8:26, 27); (9) Memimpin (Lukas 4:1; Roma 8:14).
Seorang pribadi dapat terlibat dalam masing-masing tindakan di atas, sementara suatu tenaga semata tidak dapat, maka Roh Kudus harus dilihat sebagai seorang pribadi. Roh Kudus juga dapat dihujat (Matius 12:31, 32). Ananias berbohong kepadaNya (Kisah Rasul 5:3), ditolak (Kisah Rasul 7:51), berduka (Efesus 4:30), dan dihina (Ibrani 10:29), dipadamkan (1 Tesalonika 5:19). Pernyataan-pernyataan bahwa manusia dapat melakukan hal-hal ini kepada Roh Kudus menunjukkan bahwa Dia adalah pribadi.3

B. Dia Adalah Ilahi

Kualitas yang hanya dimiliki oleh Ilahi juga dimiliki oleh Roh Kudus. Berikut ini 5 sifat Bapa dan Anak yang juga dimiliki oleh Roh Kudus.
(1) Kekekalan. “Betapa lebihnya darah Kristus, yang oleh Roh yang kekal telah mempersembahkan diri-Nya sendiri kepada Allah sebagai persembahan yang tak bercacat, akan menyucikan hati nurani kita dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia, supaya kita dapat beribadah kepada Allah yang hidup” (Ibrani 9:14).4
(2) Omnipresent (ada dimana-mana). Daud dan Yeremia menyatakan, “Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu? Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situ pun Engkau. Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut, juga di sana tangan-Mu akan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku” (Mazmur 139:7-10). “Sekiranya ada seseorang menyembunyikan diri dalam tempat persembunyian, masakan Aku tidak melihat dia? demikianlah firman TUHAN. Tidakkah Aku memenuhi langit dan bumi? demikianlah firman TUHAN” (Yeremia 23:24).

(3) Omnipotent (maha kuasa). Paulus melakukan tanda-tanda dan mujizat-mujizat oleh kuasa Roh Allah (Roma 15:19). Mikha mengatakan, “Tetapi aku ini penuh dengan kekuatan dengan Roh Tuhan, dengan keadilan dan keperkasaan untuk memberitakan kepada Yakub pelanggarannya dan kepada Israel dosanya” (Mikha 3:8). Kelahiran Kristus dari seorang anak dara adalah oleh kuasa Roh Kudus (Lukas 1:35).

(4) Omniscient (maha tahu). “Siapa yang dapat mengatur Roh TUHAN atau memberi petunjuk kepada-Nya sebagai penasihat? Kepada siapa TUHAN meminta nasihat untuk mendapat pengertian, dan siapa yang mengajar TUHAN untuk menjalankan keadilan, atau siapa mengajar Dia pengetahuan dan memberi Dia petunjuk supaya Ia bertindak dengan pengertian?” (Yesaya 40:13, 14). Paulus mengatakan bahwa Roh mengetahui segala sesuatu, “Karena kepada kita Allah telah menyatakannya oleh Roh, sebab Roh menyelidiki segala sesuatu, bahkan hal-hal yang tersembunyi dalam diri Allah” (1 Korintus 2:10). “Dan tidak ada suatu makhluk pun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab” (Ibrani 4:13).

(5) Melakukan pekerjaan Ilahi. Roh Kudus sering disebutkan sebagai Allah (Kisah Rasul 5:3, 4; 1 Korintus 3:16; 6:19; 12:4-6) dan melakukan pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh Allah.
a. Penciptaan. Roh Kudus turut ambil bagian dalam penciptaan dunia ini. Ini dapat dilihat dari ayat-ayat seperti Kejadian 1:2; Ayub 26:13; 33:4.
b. Kelahiran baru. Roh Kudus juga mempunyai peranan dalam kelahiran baru manusia (Yohanes 3:5).
c. Tanda ajaib. Roh memberikan kuasa untuk melakukan tanda ajaib (1 Korintus 12:9, 11)
d. Ilham. Roh Kudus mengilhami (mewahyui) penulis-penulis Perjanjian Lama dan Baru, menuntun mereka agar semua tulisan mereka tidak dapat salah (2 Petrus 1:21; 2 Timotius 3:16, 17).
e. Menguduskan. Roh Allah menguduskan orang-orang yang patuh kepada Allah (2 Tesalonika 2:13).

C. Dia Adalah Anggota Ke-Allah-an

Roh Kudus disebutkan bersama-sama dengan Allah (Matius 3:13-17; Markus 1:9-11; Matius 28:18-20; 2 Korintus 13:14; Efesus 4:4-6). Roh Kudus juga disebut Allah dalam Kisah Rasul 5:3, 4. Roh Kudus juga menyandang nama Ilahi seperti dapat dilihat dalam ayat-ayat berikut ini: Kejadian 1:2; Matius 3:16; Lukas 4:18; 1 Korintus 6:11; Hakim-hakim 3:10; Yesaya 61:1, dan lain-lain.

Kesimpulan:

Roh Kudus digambarkan dengan istilah-istilah yang hanya dapat ditujukan kepada Ilahi. Dari istilah-istilah tadi, kita dapat menyimpulkan bahwa Roh Kudus adalah Ilahi bersama-sama dengan Bapa dan Putra. Dia adalah pribadi yang penting di dalam Alkitab.

Wednesday, April 7, 2010

The Church of Hong Kong Welcomes 3 Thousand Newly Baptized Catholics


Bishop Tong urges the new and the old faithful to be missionaries: "The mission to bring others to know Jesus is the most important Christian commitment."

During the Easter vigil in various parishes in Hong Kong 3 thousand adults were baptized. In his Easter letter, Mgr. John Tong thanked the catechists and asked all to be missionaries.

In the past, in Hong Kong, there were on average 1500-2 thousand baptisms of adults who after catechumenal preparation, were received into the Catholic community during the Easter Vigil.

This year their number - 3 thousand - is a record, so much so that Bishop Tong has devoted a large part of his pastoral letter on the occasion of Easter to this fact.

"With God´s blessings", - says the bishop - "he Diocese of Hong Kong rejoices in over 3,000 adult baptisms this Easter Vigil. On behalf of the diocese, I would like to offer our warmest welcome to the newly baptised who have joined our Catholic family". The bishop has already met the new believers during the catechumenate and has planned a thanksgiving mass with them for Pentecost.

In his letter, Msgr. Tong also thanked the 1000 Catechism schools throughout the diocese and 580 volunteer catechists who teach the catechumens during the year. "They" - said the prelate - "sacrifice their time and energy to spread the faith. I admire their efforts. I hope and pray that all of them will follow the footsteps of the Apostles and make further progress along the road to God".

"The mission to bring others to know Jesus is the most important Christian commitment," said Mgr. Tong, who has called "new and old Catholics" to study the catechism of the Church so as to" spread the Gospel in ever wider circles and give a more powerful testimony of faith. "

There are 350 thousand Catholics in Hong Kong out of a population, estimated at about 6.8 million.

Pope is martyr in protecting Catholic Church


Ecce homo," "Behold the man!" These were the words spoken by Pontius Pilate when he presented a scourged Jesus Christ to a hostile mob shortly before his crucifixion. The same words aptly apply today to Pope Benedict XVI, as he is being held up to unprecedented ridicule and scorn by a hateful press and a world so out of touch with its spiritual nature and moral being ("Scandal threatens Pope Benedict's legacy," News, Friday).

One can almost hear Jesus saying to the peaceful and benevolent pope: "If the world hates you, remember that it hated me first" (John 15:18). Contrary to his critics, the pope, like Jesus, is completely innocent and is doing everything in his power to weed out those priests guilty of sexual abuse and to justly compensate victims for their suffering.

In fact, he is the one who has tackled these things head on. Remember that even Jesus had his Judas. But the world wants to see the death of the church because it knows the church is the mother of all saints.

It knows that the Catholic Church is the last bastion of hope against a materialistic world that craves immorality at every step, including homosexuality, same-sex marriage, easy divorce, abortion, radical feminism, contraception, embryonic stem cell research and cloning. Benedict will be remembered not for the scandals of a few priests but for his intense suffering in protecting the faith from wolves in sheep's clothing. He will be known as one of the greatest of Catholic martyrs.

Abuse of spiritual power
In the light of the recent revelations of alleged insidious behavior by a large number of Catholic priests, I'd like to point out that these are not the first such accusations directed at this group of self-anointed elitists. These men chose Catholicism and to covet these priestly positions.

Through this exaltation of themselves above the common soul, they then believe themselves exempt from the laws of man. They feel cloaked in justice by taking sanctuary in the Vatican.

Let the common sense of progress strip the Vatican of its power, its wealth, its officers and its will over the people.


Teachings about sexuality
It would be foolish to blame the entire Catholic Church for a few pedophilic priests.

It would be equally foolish, however, to deny that the historic church must at least indirectly share part of the blame.

The relevant social problem has stemmed over the ages from the church's unreasonable repression of human sexuality. This has merely cultivated sexuality in the underground, where it most often develops in very unsavory ways.

The church is rightfully criticized for its repressive, misogynistic and destructive views of human sexuality.

Sunday, March 14, 2010

Romo Loogman Tutup Usia


Romo Loogman atau Romo Hendrikus Handoyo Loogman MSc (73), ahli pengobatan alternatif radiesthesia, tutup usia di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta, Selasa (9/3) pukul 08.00. Dari diagnosis dokter, almarhum meninggal karena kelelahan otot jantung dan kurang asupan oksigen dalam darah.

Misa rekuiem untuk almarhum diselenggarakan di Gereja Santa Perawan Maria, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Rabu (10/3) pukul 19.00. Hari Kamis pagi, jenazah dimakamkan di Pemakaman Kaliori, Banyumas, Jawa Tengah.

Bruder Maxi Dumanauw MSc yang mendampingi almarhum di saat-saat terakhir, Rabu, menuturkan, kesehatan Romo Loogman menurun sejak Jumat (5/3). Ketika itu badannya terlihat lemas. Pada Sabtu (6/3), kondisinya makin memburuk sehingga Romo Loogman hanya mampu makan dengan disuapi di meja makan. Hari Minggu lalu Romo Loogman tidak mampu bangun dari tempat tidur karena lemah dan demam tinggi.

Karena menolak dibawa ke rumah sakit, dokter didatangkan ke kediamannya. Dokter mendiagnosis, Romo Loogman menderita hipertensi, diabetes melitus, dan terduga stroke. ”Dokter menyarankan agar Romo segera dibawa ke rumah sakit,” katanya.

Pada Senin (8/3) pagi, Romo Loogman dibawa ke RS Panti Rapih, Yogyakarta. Dari hasil CT scan tidak ditemukan ada penyumbatan atau perdarahan pada otak. Kendati demikian, dengan mempertimbangkan kondisi tubuh yang lemah, Romo Loogman dirawat di ruang intensive care unit (ICU).

Namun, kesehatan Romo Loogman tidak kunjung membaik. Tekanan darahnya terus menurun hingga mengembuskan napas terakhir hari Selasa.

Romo Loogman adalah perintis pengobatan alternatif radiesthetik medik, yaitu teknik pengobatan yang mengandalkan kepekaan pengobat untuk mendeteksi penyakit melalui gelombang elektromagnetik. Romo Loogman pertama kali mengobati pasien tahun 1972 di Tegal dan selanjutnya dikembangkan di Purworejo. Klinik pengobatan dengan metode ini dibuka di Purworejo, dan Bogor, Jawa Barat.

Ketua Lembaga Radiesthetik Medik Romo Tarcisius Wignyosoemarto MSc mengatakan, selama hidup, Romo Loogman selalu membagikan ilmunya kepada orang lain. (EGI)

Friday, February 26, 2010

SINKRETISME


SINKRETISME adalah gejala kuno. Ia sudah ada dan muncul sejak awal peradaban manusia. Sinkretisme adalah membiarkan atau malah mengupayakan percampuran beberapa unsur keyakinan atau kebudayaan. Sebuah percampuran yang sedemikian rupa sehingga proses yang berlangsung adalah tambal sulam dan semuanya digabung-gabung secara dangkal.

Sebagian ahli berpendapat bahwa orang Jawa berabad-abad melakukan praktik ini. Apa pun latar belakang keyakinan atau agama mereka. Clifford Geertz adalah antropolog klasik yang senantiasa dikutip ketika kita membicarakan topik ini. Ia membahas secara luas sinkretisme orang Jawa, khususnya terkait dengan agama Islam. Banyak orang Jawa Islam disebutnya abangan karena mencampuradukkan kebiasaan praktik-praktik mistis Jawa dan pengaruh Hindu-Buddha.

Ternyata, orang Jawa Katolik pun memiliki tendensi yang sama. Orang Katolik ini tidak mudah dipisahkan dengan ke-Jawa-annya. Sebenarnya ini sebuah fenomena yang sehat. Sebagaimana kerap dianjurkan bahwa orang Islam Jawa sebaiknya jangan mengalami ‘arabisasi’ dan menjadi orang Arab.

Tetapi, bagaimana persisnya bisa diterangkan bahwa orang Jawa Katolik tidak kehilangan kepribadiannya sebagai orang Jawa hanya karena dia menjadi Katolik? Pertanyaan ini sebenarnya sederhana. Dan, jawaban teologi teoritis atas pertanyaan itu pun juga tidak terlalu sulit. Yang menjadi repot adalah ketika konsep ini hendak diterapkan dalam praktik-praktik khusus. Dengan demikian, pertanyaan sesungguhnya adalah bagaimana iman Katolik menanggapi fenomena seperti kebatinan, slametan, suran, ruwatan?

Pertanyaan di atas menjadi provokasi bagi Gereja untuk menjelaskannya. Ini baru gejala kultural di Jawa. Daerah-daerah lain – Sunda, Bali, Dayak, Batak, Papua – menunggu jawaban yang sama. Setiap jawaban hitam atau putih – boleh atau dilarang, baik atau buruk – secara simplistik justru akan membawa kondisi Gereja yang tidak sehat.

Sekali lagi, menjawab prinsip-prinsip teoritis persoalan tadi tidak terlalu sulit. Dalam liturgi, juga dalam perayaan-perayaan sakramen lainnya, ada bagian dan unsur yang pada dasarnya permanen. Inilah ruang sakral dan ilahi yang merupakan Tradisi (menggunakan ‘T’, bukan ‘t’) Kristiani di mana Gereja harus menjaga secara ketat. Tetapi, ada bagian-bagian yang bisa diubah, bahkan wajib disesuaikan dengan berbagai kebudayaan lokal. Yang terakhir ini juga tanggung jawab Gereja.

Kita harus memperhatikan dengan cermat apa yang pernah dikatakan oleh Paus Yohanes Paulus II: “Keanekaragaman liturgi bisa menjadi kekayaan Gereja. Tetapi, ia juga bisa memicu berbagai tegangan, kesalahpahaman, bahkan penyempalan”.

Keanekaragaman jangan sampai merusak persatuan, demikian Paus yang sama menuliskannya. Keanekaragaman dengan demikian harus menjadi perwujudan kesetiaan pada iman yang dihayati bersama, juga kesetiaan pada sakramen yang adalah bukti bahwa Gereja didirikan oleh Kristus, serta kesetiaan pada hirarki.

Pertimbangan di atas masih harus dilengkapi dengan desakan yang sangat krusial yang sama sekali tidak mudah dipraktikkan. Yaitu, setiap adaptasi kultural menuntut pertobatan hati. Artinya, orang atau komunitas jangan menjadi lekat pada praktik-praktik kultural tertentu. Ada masa memeluknya, tetapi ada masa dengan rela melepaskannya jika ia tidak cocok dengan ajaran iman Katolik yang sehat.

Tegangan antara sinkretisme dan inkulturasi membutuhkan dialog dan diskusi yang kita kenal sebagai pertimbangan bersama (communal discernment). Perlu ada sebuah katekese untuk umat Katolik. Bukan pelajaran agama untuk kanak-kanak atau pra-baptis yang penuh dengan penjelasan benar dan salah, dan semuanya hanya melulu hafalan.

Katekese yang dimaksud di sini ditujukan untuk orang dewasa yang sudah sekian lama dibaptis. Orang-orang ini sudah mengalami perjumpaan dengan pengalaman hidup yang kaya, yang membuat ia bertanya dan mempertanyakan banyak pengandaian dasar yang diterima ketika ia mendapatkan pelajaran agama dasar. Katekese ini harus lebih banyak diwarnai dengan dialog dan pencarian bersama, daripada hubungan guru-murid, disertai dengan pengolahan ajaran iman Katolik yang solid.

Zacheus


Communal chief town of the canton of Gramat, district of Gourdon, Department of Lot, in the Diocese of Cahors and the ancient province of Quercy. This village by the wonderful beauty of its situation merits the attention of artists and excites the curiosity of archæologists; but its reputation is due especially to its celebrated sanctuary of the Blessed Virgin which for centuries has attracted pilgrims from every country, among them kings, bishops, and nobles.

A curious legend purported to explain the origin of this pilgrimage has given rise to controversies between critical and traditional schools, especially in recent times. According to the latter, Rocamadour is indebted for its name to the founder of the ancient sanctuary, St. Amadour, who was none other than Zacheus of the Gospel, husband of St. Veronica, who wiped the Saviour's face on the way to Calvary. Driven forth from Palestine by persecution, Amadour and Veronica embarked in a frail skiff and, guided by an angel, landed on the coast of Aquitaine, where thy met Bishop St. Martial, another disciple of Christ who was preaching the Gospel in the south-west of Gaul. After journeying to Rome, where he witnessed the martyrdoms of Sts. Peter and Paul, Amadour, having returned to France, on the death of his spouse, withdrew to a wild spot in Quercy where he built a chapel in honour of the Blessed Virgin, near which he died a little later. This marvellous account, like most other similar legends, unfortunately does not make its first appearance till long after the age in which the chief actors are deemed to have lived. The name of Amadour occurs in no document previous to the compilation of his Acts, which on careful examination and on an application of the rules of the cursus to the text cannot be judged older than the twelfth century. It is now well established that St. Martial, Amadour's contemporary in the legend, lived in the third not the first century, and Rome has never included him among the members of the Apostolic College. The mention, therefore, of St. Martial in the Acts of St. Amadour would alone suffice, even if other proof were wanting, to prove them a forgery. The untrustworthiness of the legend has led some recent authors to suggest that Amadour was an unknown hermit or possible St. Amator, Bishop of Auxerre, but this is mere hypothesis, without any historical basis. Although the origin of the sanctuary of Rocamadour, lost in antiquity, is thus first set down along with fabulous traditions which cannot bear the light of sound criticism, yet it is undoubted that this spot, hallowed by the prayers of innumerable multitudes of pilgrims, is worthy of our veneration. After the religious manifestations of the Middle Ages, Rocamadour, as a result of war and revolution, had become almost deserted. Recently, owing to the zeal and activity of the bishops of Cahors, it seems to have revived and pilgrims are beginning to crown there again.