Monday, May 25, 2009

NAKED WITHOUT SHAME: Telanjang Tanpa Malu (Sebuah pembahasan dari Theology of the Body Yohanes Paulus II)


Hanya ketelanjangan yang membuat wanita menjadi objek bagi laki-laki yang menjadi sumber dari rasa malu. Nyatanya bahwa mereka tidak merasa malu artinya bahwa wanita tidak menjadi objek bagi laki-laki dan laki-laki juga tidak menjadi objek bagi perempuan. “ Yohanes Paulus II, 20-2-1980



I. PENGANTAR

Dalam dunia kita saat ini ketelanjangan tubuh menjadi sebuah barang dagangan yang laris. Lihat saja berbagai jenis iklan yang selalu menggunakan tubuh perempuan untuk menarik konsumen atau seberapa besar keuntungan dari berbagai situs porno, atau film-film porno. Ini memperlihatkan dengan jelas adanya kebingungan manusia zaman ini soal tubuh. Maka Yohanes Paulus II mengajak kita memusatkan perhatian pada pengalaman manusia akan ketelanjangan mereka pada awal mulanya.

Kita membaca dari kejadian 2:25 “ mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu.” Ada dua hal penting yang diungkapkan di sini yaitu “mereka telanjang” dan “tidak malu.” Pertanyaannya mengapa dalam situasi semacam ini, ketelanjangan sama sekali tidak menimbulkan rasa malu sedikit pun? Bila kita kembali ke tahap-tahap awal proses penciptaan manusia, segera akan kita temukan jawabnya.

Pada awalnya, Allah menciptakan manusia Adam dan Eva dalam keadaan murni dan suci, menempatkan mereka untuk hidup dalam suatu dunia yang sempurna. Mereka tidak mempunyai problem seperti kita saat ini, dan relasi mereka satu sama lain diisi dengan cinta yang murni, pemberian diri yang murni, dan nafsu yang murni. Allah memberkati mereka dengan memberi mereka keturunan dan membuat kekuasaan yang besar untuk memperhatikan semua ciptaanNya. Mereka menikah dan bersatu dan mereka telanjang tapi tidak malu. Mereka tidak merasa malu karena mereka memiliki cinta yang sempurna. Mereka tidak menutup diri satu sama lain, karena mereka tidak takut dijadikan objek untuk digunakan atau dimaafaatkan. Mereka melihat ketelanjangan mereka sebagai panggilan untuk saling memberi.



II. ORIGINAL NAKEDNESS (Ketelanjangan Asali)

a. Original nakedness mau mengatakan apa?

Original nakedness atau ketelanjangan asali merupakan suatu pengalaman mendasar dari manusia. Paus Yohanes paulus II menunjukan kepada kita bahwa ketelanjangan asali merupakan kunci utama untuk mamahami secara penuh dan komplit rencana awal Allah bagi kehidupan manusia. Dengan perkataan lain, jika kita tidak mengerti arti dari manusia pertama telanjang tetapi tanpa malu, kita tidak memahami apa maksud kitab suci untuk makna kemanusiaan kita. Paus juga mengatakan bahwa telanjang tanpa malu merupakan gambaran dari pernyataan kesadaran mereka, yang nyata dalam pemberian diri mereka satu sama lain.

Original nakedness atau ketelanjangan asali tanpa malu tidak bisa dibandingkan dengan paengalaman seorang anak muda yang baru mengalami perkembangan sense of shame atau rasa malu. Dengan kata lain ketelanjangan tanpa malu ini tidak berada di bawah sebuah perkembangan psikologis. Original nakedness atau ketelanjangan asali tanpa malu paling tidak dibandingkan dengan shamelessness (tidak mempunyai rasa malu). Shamelessness nakedness adalah immodest (ketidaksopanan). Hal ini yang disebut juga dalam Yer 3:2-3. Ketelanjangan menjadi suatu yang memalukan manakala ketelanjangan itu memanipulasi martabat seseorang. Pengalaman asali dari ketelanjangan sungguh suatu yang tidak memalukan karena ketelanjangan itu tidak memanipulasi martabat dari pasangannya. Mereka melihat tubuh sebagai ungkapan atau revelasi dari seorang pribadi dan martabatnya. Sumber dari malu akan ketelanjangan adalah ketika tubuh wanita menjadi objek dari keinginan laki-laki, begitupun sebaliknya.

Manakala ketelanjangan saat ini menjadi suatu yang membingungkan dan mendatangkan beragam pergulatan dalam hidup manusia, Paus sejalan dengan pemikiran Yesus mengajak kita untuk melihat apa rencana asali Allah bagi kehidupan kita. Kalau pada dewasa ini, ketelanjangan menjadi suatu yang membingungkan di mana ketelanjangan berada dalam satu persimpangan antara suatu yang memalukan dan suatu sumber dari eksploitasi seks yang mendatangkan banyak keuntungan, tetapi kalau kita lihat pada awalnya yaitu dalam diri pasangan manusia pertama, ketelanjangan tidak menjadi suatu yang memalukan dan membingungkan karena mereka tidak memandang pasangannya sebagai objek dari egoismenya. Artinya bahwa wanita tidak menjadi objek bagi laki-laki dan begitu juga sebaliknya.

Masing-masing manusia pertama itu adalah subjek dan memperlakukan yang lain juga sebagai subjek. Satu-satunya reaksi yang muncul ketika satu subjek berjumpa dengan subjek lainnya adalah rasa kagum penuh hormat. Dalam diri subjek yang lain itu dikenali diri sendiri dengan seluruh kepenuhan martabatnya. (Orang lain adalah aku yang lain). Ketika kita memandang orang lain sebagai subjek atau dengan kata lain sebagai aku yang lain, kita akan segera memahami bahwa orang lain itu adalah aku sendiri, sehingga dengan segera juga aku harus hormati, aku harus hargai, aku cintai, dsb, seperti aku menghormati, mencintai diriku sendiri.

Kita lihat dalam diri manusia pertama, bahwa rasa kagum penuh hormat dan pengenalan diri sendiri dalam diri subyek yang lain sudah mengandung atau sudah mengarah pada sebuah hasrat ke arah kesatuan antara keduanya. Proses ini memiliki cara memandang yang melimpah dengan sebuah kejujuran, sebuah kekaguman penuh hormat, sebuah keinginan untuk memberikan diri secara penuh pada subjek yang lain. Yang dirasakan oleh sebuah subjek ketika berhadapan dengan subjek lain adalah sebuah rasa aman.



b. Bagaimana kita bisa memahami ketelanjangan asali ketika kita tidak mengalami secara langsung pengalaman itu? Atau bagaimana kita merekonstruksi pemahaman mengenai ketelanjangan asali itu?

Pengalaman ketelanjangan tanpa malu adalah pengalaman subjektif manusia. Oleh karena itu, kita tidak bisa memahami secara menyeluruh ketelanjangan asali, tanpa masuk secara mendalam dalam diri manusia. Kej 2:25 memperkenalkan secara khusus kepada kita pada tingkat ini dan menghendaki kita untuk mencari pengetahuan akan original innocence. Kita diajak oleh Paus untuk kembali kepada situasi awali kita, yaitu pada mulanya kita berada dalam original innocence (ketidakbersalahan asali). Pengalaman rasa malu kita akan ketelanjangan mempunyai hubungan yang terbalik dengan original nakedness atau ketelanjangan asali. Kita kehilangan kesadaran akan arti dari tubuh yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan kekudusan asali.

Lalu apa itu rasa malu dan bagaimana kita bisa menjelaskan realitas ini dalam hubungannya dengan original innocence dalam kedalaman misteri ciptaan manusia sebagai laki-laki dan perempuan? Pertama kita harus mengetahui bahwa malu merupakan sebuah realitas inter-personal. Meskipun malu itu mempunyai arti bagi setiap orang (imanen shame), tetapi malu pada umumnya suatu pengalaman dalam relasi kepada dan dengan orang lain. Seseorang tidak mempunyai alasan untuk malu kepada ketelanjangan kalau dia berada sendiri. Seorang wanita tidak perlu merasa malu kalau dia telanjang di dalam kamar mandi, dia tidak perlu menutupi tubuhnya karena dia berada sendirian di sana. Lain hal kalau tiba-tiba seorang pria masuk secara tiba-tiba ke kamar mandi, pasti wanita itu berusaha untuk menutup tubuhnya. Mengapa harus demikian?

Paus Yohanes Paulus II memaksudkan “malu: dalam hal ini adalah suatu bentuk “self defense (mempertahankan diri) dari setiap ancaman orang lain yang mau menjadikan tubuh itu sebagai objek dari hasrat seksual. Dalam hal ini seorang wanita tidak mau dirinya menjadi “suatu barang” perangsang bagi keinginan atau hasrat lelaki. Sebab dari pengalaman kita tahu bahwa seringnya kaum pria menjadikan tubuh perempuan sebagai objek. Anda bisa melihat apa yang terjadi dalam iklan-iklan, atau fenomena hiburan malam seperti klub tari telanjang; di sana benar-benar tubuh dalam hal ini tubuh perempuan dijadikan “barang” pemuas nafsu lelaki.

Atau kita bisa lihat apa yang terjadi di balik undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi: di sana benar-benar kita menyaksikan sebuah paradigma atau cara pandang yang telah sedemikian rupa mendiskretkan tubuh (tubuh perempuan) menjadi “barang” rangsangan. Karena tubuh perempuan bisa membangkitkan hasrat laki-laki, maka harus semua ditutupi. Kita bisa menangkap maksud dari undang-undang ini bahwa secara implisit UU ini telah menempatkan tubuh perempuan sebagai objek dari hasrat seksual, oleh karena itu, tubuh itu ditutupi.

Tubuh itu harus ditutupi bukan karena tubuh itu “jelek” atau “sungguh-sungguh memalukan”. Seorang perempuan menutupi tubuhnya untuk melindungi martabatnya dari serangan hawa nafsu (seksual) yang bisa menjatuhkan martabatnya sebagai seorang pribadi yang dicintai Tuhan. Kita malu dan menutupi ketelanjangan kita bukan karena tubuh kita jelek, tetapi kita begitu memahami bahwa tubuh itu indah, baik dan luhur, sehingga harus sungguh-sungguh kita lindungi dari segala kemungkinan untuk dirampas, dipakai atau dimaanfaatkan. Dengan demikian hidup kita bersama orang selalu diwarnai oleh ketakutan, jangan-jangan dia mau merampas atau memaanfaatkan tubuhku. Pengalaman rasa malu atau ketakutan ini, berbeda atau sangat terbalik dengan pengalaman Adam dan Eva pada awalnya di mana mereka telanjang tetapi tidak merasa malu.



c. Tubuh suatu pemberian

Pengalaman rasa malu kita akan ketelanjangan berbeda dengan pengalaman manusia pertama. Mereka tidak malu akan ketelanjangan mereka. Kita harus menyadari bahwa lust (hawa nafsu seksual) sebenarnya tidak ada dalam hati manusia pada awalnya. Oleh karena itu, manusia pertama tidak memiliki usaha mempertahankan diri terhadap satu dengan yang lainnya, mereka tidak melihat yang lainnya sebagai ancaman dan sangat menghormati martabat pasangannya. Paus mengatakan dengan indah hal ini “mereka melihat dan mengenal diri mereka masing-masing…dengan pandangan yang mendalam” pandangan yang mendalam di sini tidak hanya melihat tubuh, tetapi sebuah tubuh di sini merupakan ungkapan pribadi dan misteri spiritual. Mereka melihat rencana cinta Tuhan dalam tubuh telanjang mereka masing-masing.

Hal inilah yang membuat mengapa ketelanjangan tanpa malu adalah kunci untuk memahami rencana Tuhan untuk hidup kita. Harus disadari bahwa Allah menciptakan hasrat seksual pada awalnya untuk mengungkapkan kuasa cinta seperti Dia mencintai dengan bebas, tulus dan dengan pemberian diri. Allah menciptakan Adam dan Eva dalam keadaan murni, semuanya murni, termasuk hati mereka. Adam mengekspresikan hasrat seksualnya dengan cara yang sungguh-sungguh murni. Sehingga ketika pertama kali Adam melihat Eva, dia tidak mengalami kebingungan antara cinta dan hawa nafsu. Ketika dia melihat tubuh isterinya, dia tidak mempunyai keinginan untuk memaanfaatkannya. Cintalah yang memanggil mereka. Maka ketika mereka dipenuhi oleh cinta Tuhan, mereka secara bebas memberikan diri mereka pada yang lainnya. Hanya seorang yang bebas dari tekanan hawa nafsu seksuallah yang mampu memberikan diri kepada orang lain.

Dalam pengalaman manusia pertama, kita lihat bahwa hasrat seksual itu murni untuk saling memberikan diri kepada satu sama lain. Jadi ketelanjangan asali dalam diri Adam dan Eva, dipenuhi kedamaian karena tidak adanya perjuangan untuk mencintai, dan yang ada hanya ketulusan cinta dari pada hawa nafsu seksual belaka. Ketelanjangan dalam hal ini telah memperlihatkan kepada kita arti tubuh sebagai sebuah pemberian. Ada kekuatan yang dahsyat memancar dari dua tubuh yang telanjang itu, sehingga tidak ada ruang bagi keinginan sekecil apapun untuk merampas pemberian itu. Ketelanjangan mengungkapkan keadaan tubuh yang sungguh sadar akan kekuatan dahsyat dalam bentuk kebebasan untuk mencintai. Ketelanjangan adalah ungkapan keilahian yang memungkinkan manusia memahami tubuh dalam arti yang paling suci, paling murni. Karenanya ketelanjangan adalah sebuah kekudusan.



d. Mengapa kita merasa malu kalau kita telanjang saat ini?

Dosa telah membuat manusia sadar akan ketelanjangannya. “maka terbukalah mata mereka dan mereka tahu mereka telanjang” Dosa telah mebuat manusia malu akan ketelanjangannya, sebab tubuh mereka kehilangan keluhurannya dan kehilangan kemampuannya untuk memberikan diri, kehilangan kemampuan untuk menciptakan communion personarum. Dan rasa malu akan tubuh yang telanjang tidak hanya disebabkan melulu oleh tubuh itu sendiri, tetapi sebenarnya rasa malu itu merupakan ungkapan dari kekacauan yang ada kehendak hatinya yang sudah dikuasai nafsu. Dengan segera ketelanjangan itu menjadi suatu yang membingungkan antara cinta dan hawa nafsu. Orang menutupi ketelanjanganya karena takut kalau dirinya tidak lagi diperlakukan sebagai subjek, tetapi sebagai objek.



III. ARTI NUPSIAL TUBUH

Dalam ketelanjangan mereka, manusia pertama menemukan apa yang dikatakan oleh Paus Yohanes Paulus II arti nupsial tubuh, di mana ketelanjangan Adam dan Eva dinyatakan dalam panggilan mereka untuk saling memberikan diri satu sama lain. Istilah nupsial di sini secara spesifik menunjuk kepada sebuah perayaan pernikahan. Dalam arti inilah tubuh kita secara mendasar memiliki arti yang terus terarah pada pemberian diri yang bebas dan penuh. Arti nupsial tubuh dengan demikian mau mengungkapkan bahwa tubuh itu mempunyai kapasitas untuk mencintai di mana setiap orang saling memberikan dirinya secara total. Ini juga merupakan ciri dari cinta Yesus kepada kita. Ketika kita memberikan diri secara total dengan tubuh kita, ketika itulah kita masing-masing, mengungkapkan siapa diri kita yang sebenarnya. Dan ketika orang lain mengalami cinta kita, mereka pun diakui kembali dalam identitas mereka yang paling dasar sebagai ciptaan yang serupa dengan Allah. Pemberian diri ini tidak hanya dalam tataran tubuh, tetapi pribadi mereka juga. Pengalaman persatuan ini merupakan persatuan yang sempurna yang oleh Paus Yohanes Paulus II dikatakan sebagai original unity (persatuan awali).

No comments: