Wednesday, April 22, 2009

Berjuang Melawan Dosa

Bagaimanakah perasaan saudara setelah melakukan suatu kesalahan tertentu? Umumnya dalam diri kita akan timbul suatu perasaan bersalah. Apalagi jika kita melakukan suatu dosa yang bertentangan dengan firman Tuhan, maka perasaan bersalah tersebut tidak mudah hilang walau telah melewati waktu yang sangat panjang. Itu sebabnya seseorang yang hidup dalam berbagai kesalahan dan dosa tidak pernah dapat hidup tenang dan tenteram. Dia akan terus gelisah, hidup dalam ketakutan dan jauh dari perasaan damai-sejahtera. Karena pada hakikatnya manusia mendambakan keselamatan dari Allah, sehingga dia rindu untuk melawan berbagai perbuatan dosa. Tetapi kenyataannya, perbuatan atau tindakan dosa tidak pernah lenyap. Sebab perbuatan atau tindakan dosa tersebut lahir dari dalam diri manusia. Ini berarti realitas dosa bukan berasal dari “luar” eksistensi atau keberadaan hidup manusia; tetapi realitas dosa sesungguhnya berasal dari “dalam” eksistensi manusia. Kej. 8:21 menyebut bahwa “yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya”. Kuasa dosa yaitu potensi untuk berbuat jahat sesungghnya telah ada di dalam batin manusia sejak dia masih kecil. Karena itu untuk melawan segala kecenderungan yang ada di dalam batin manusia berupa potensi untuk berbuat yang jahat, maka manusia wajib memiliki pengetahuan yang luas dan dalam tentang hukum moral dan agama. Anjuran inilah yang dicanangkan oleh Sokrates, seorang filsuf Yunani yang hidup sekitar tahun 469-399 sM. Sokrates yakin bahwa berbagai tindakan yang tidak benar atau jahat disebabkan karena “ketidaktahuan” (ignorance) manusia sehingga manusia tidak mampu melakukan hal-hal yang baik dan benar. Pengetahuan yang dimaksud oleh Sokrates adalah cinta kebijaksanaan seperti filsafat yang berkaitan dengan seni mencinta (Socrates consistently claimed to have knowledge of was "the art of love" which he connected with the concept of "the love of wisdom"). Dengan pemahaman Sokrates ini mengandaikan bahwa manakala manusia telah banyak belajar kebijaksanaan seperti filsafat, maka manusia akan mampu berbuat baik dan dapat terhindar dari segala perbuatan yang jahat. Namun benarkah pemahaman Sokrates tersebut? Ternyata sejarah umat manusia tetap dikuasai oleh dosa walau dalam tiap-tiap budaya, suku dan bangsa telah memiliki dan terus berupaya menerapkan filsafat hidup yang dianggap benar dan mulia. Jadi ternyata tidaklah cukup memerangi kuasa dosa dengan hanya belajar kebijaksanaan, pengetahuan, dan filsafat. Itu sebabnya manusia memiliki harapan yang begitu besar agar agama-agama dapat mengatasi keterbatasan filsafat dan kebijaksanaan manusiawi.

Kepada Musa, Allah telah mewahyukan hukum Taurat yang mengatur berbagai aspek kehidupan umat manusia. Sehingga melalui hukum Taurat, manusia dapat mengenal firman Allah (mitzvoth) atau hukum-hukum Musa. Mitzvoth atau yang disebut “Torat Moshe” ( ??? ???). Dalam tradisi Yahudi, mitzvoth atau “Taurat Musa” berisi 613 hukum Allah. Perintah-perintah Allah yang berjumlah 613 hukum tersebut terdiri dari 365 perintah Allah yang sifatnya melarang (bersifat negatif, yang umumnya dimulai dengan kata “jangan”) agar umat tidak melanggarnya selama 365 hari (menurut perhitungan tahun matahari); dan juga terdiri dari 248 perintah yang mendorong manusia untuk melakukannya (bersifat positif, yang umumnya dimulai dengan kata “hendaknya”). Perhitungan “angka 248” dikatikan dengan jumlah tulang dan organ-organ tubuh manusia yang utama. Karena dalam kepercayaan umat Israel jumlah tulang-tulang dan organ-organ tubuh manusia berjumlah 248 buah. Jadi apabila manusia melaksanakan hukum-hukum Allah sebanyak 613 perintah dengan setia, maka manusia akan memperoleh keselamatan dan berkat. Dalam konteks ini setiap orang yang melaksanakan firman Tuhan sebanyak 613 perintah sepanjang hidupnya setiap hari tanpa cacat cela, maka pastilah mereka tidak akan melakukan kesalahan atau dosa di hadapan Tuhan dan sesamanya. Sehingga dapat dipahami betapa berat melaksanakan hukum Taurat dengan sempurna. Jadi siapakah yang sanggup melakukan hukum Taurat yang terdiri 613 perintah Allah tersebut? Apabila “yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya” (Kej. 8:21), bagaimana mungkin manusia mampu melaksanakan hukum-hukum Allah dengan tepat dan benar? Di Rom. 7:18, rasul Paulus mengungkapkan secara jujur pergumulan batinnya, yaitu: “Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik”. Rasul Paulus menyadari bahwa di dalam dirinya sebagai manusia tidak memiliki sesuatu yang baik. Pada satu pihak dia memiliki kehendak untuk melakukan yang baik, yaitu hukum Taurat; tetapi pada pihak lain yang tidak dia kehendaki, yaitu “yang jahat” justru dia lakukan. Itu sebabnya di Rom. 7:19, dia berkata: “Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat”.

Sebenarnya pergumulan batin yang diungkapkan di Rom. 7:18-19 bukan hanya pergumulan yang sifatnya personal dari rasul Paulus, tetapi juga suatu pergumulan dan konflik batin yang sifatnya universal. Artinya setiap diri kita selaku umat manusia juga memiliki pergumulan dan konflik batin tersebut. Sesungguhnya kita semua mengetahui hal-hal yang baik, benar, suci dan mulia. Tetapi kehendak diri di dalam batin kita seringkali tidaklah cukup memadai dan cukup kokoh untuk menuntun kita untuk melaksanakan firman Tuhan dengan setia. Walau batin kita sebenarnya suka atau gemar untuk melakukan kehendak Allah, tetapi ternyata “anggota-anggota tubuh” kita yang lain lebih cenderung untuk melakukan berbagai hal yang kurang baik, yang kotor dan yang tidak berkenan kepada Allah. Pada satu sisi hati kita mengetahui dan gemar berbagai ketentuan firman Tuhan, tetapi pada segi lain hati kita juga berpotensi untuk mewujudkan berbagai hal yang jahat. Di Rom. 7:22-23, rasul Palus kemudian mengungkapkan realitas dosa yang ada di dalam dirinya, yaitu: “Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah, tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku”. Ini berarti rasul Paulus mengakui bahwa kita selaku umat manusia pada satu pihak bersifat “religius” sehingga kita gemar untuk memperhatikan, mempelajari dan memperdalam segala hal yang menyangkut kehendak Allah dan spiritualitas; tetapi pada pihak lain kita sebagai manusia tetap memiliki kecenderungan untuk terus berbuat dosa. Dengan demikian pengertian “dosa” dalam konteks ini bukan hanya karena kita gagal untuk melakukan kehendak Allah; tetapi kita sebagai manusia telah berada di bawah keadaan dosa (state of being). Dengan keadaan di bawah kuasa dosa tersebut, manusia sering gagal untuk melaksanakan berbagai kebajikan yang telah dipelajari dari berbagai ilmu filsafat, kebijaksanaan dan pengetahuan yang luas; apalagi untuk melaksanakan 613 hukum-hukum Allah! Inilah kuasa dosa yang disebut “hamartia” yang artinya secara harafiah: “meleset dari sasaran” (missing the target). Jadi sangat jelaslah bahwa manusia dengan akal budi dan kekuatan moralnya sendiri tidak mungkin dapat menang berperang melawan kuasa dosa dengan bersandar kepada pengetahuan, kepandaian dan kebijaksanaannya. Selain itu manusia dengan spiritualitas dan potensi religiusnya juga tidak mampu melakukan kehendak Allah sebagaimana yang telah diajarkan oleh hukum Taurat dan berbagai hukum agama-agama. Sebab kuasa dosa telah membelenggu dan melumpuhkan kehidupan manusia sedemikian rupa, sehingga manusia tidak mampu berlaku benar di hadapan Allah. Itu sebabnya rasul Paulus berkata: “Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?” (Rom. 7:24).

Kita akan terus-menerus gagal melakukan kehendak Allah manakala yang menjadi orientasi dan tujuan kehidupan kita adalah diri sendiri. Padahal berbagai “filsafat” dan ajaran agama-agama pada masa kini cenderung optimistik; dan manusia dijadikan pusat atau sentral segala sesuatu. Dalam berbagai cabang ilmu seperti psikologi dan gerakan “New Age” berpandangan: “The human mind has much greater potential than that ascribed to it”, yaitu bahwa kemampuan otak manusia memiliki kemampuan yang begitu besar dari pada yang dapat diperkirakan. Perhatikan pula filsafat yang terdapat dalam buku “The Secret” tulisan Rhonda Byrne yang pada intinya manusia dianggap sebagai “magnet” yang mampu menarik segala sesuatu ke arahnya. Jadi manusia harus mengatur pikiran, perasaan dan kehendaknya sedemikian rupa secara positif agar dia mampu membangunkan salah satu hukum terbesar di alam semesta ini yaitu “hukum tarik-menarik”. Kalau kita mampu berpikir positif, maka kita tidak hanya menjadi apa yang paling pikirkan, tetapi juga kita akan meraih apa yang paling kita pikirkan. Tentunya sebagai umat percaya kita wajib senantiasa berpikir positif dalam menyikapi berbagai persoalan dan tantangan dalam kehidupan ini. Tetapi filsafat “hukum tarik-menarik” telah menempatkan manusia sebagai penentu dan pusat kehidupan, sehingga pada hakikatnya manusia tidak lagi membutuhkan pertolongan dan keselamatan dari Allah. Sebab manusia dianggap mampu melawan “kuasa dosa” dengan kemampuan rohani dan daya pikirnya. Pola berpikir seperti ini tentu akan menghasilkan suatu kesombongan rohani. Di Mat. 11:25 Tuhan Yesus menaikkan doa syukur sebagai berikut: “Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil”. Dalam doaNya, Tuhan Yesus menyatakan bahwa Allah sebagai penguasa langit dan bumi justru menganugerahkan keselamatan kepada “orang kecil”, dan Dia menyembunyikan bagi orang yang merasa dirinya bijak dan pandai. Pengertian “orang kecil” (nepios) di sini menunjuk kepada anak atau kepada orang yang belum dewasa; yang dalam arti luas menunjuk kepada manusia yang belum berilmu atau belum mendapat pelajaran.

Tentunya perkataan Tuhan Yesus tersebut bukan dimaksudkan bahwa Dia tidak menyukai orang yang sungguh-sungguh untuk belajar hikmat, kepandaian dan pengetahuan. Juga bukan berarti Tuhan Yesus lebih menyukai orang yang enggan atau malas dalam menuntut ilmu dan memahami kebijaksanaan. Namun yang dimaksudkan oleh Tuhan Yesus adalah Allah akan menyembunyikan rahasia keselamatan dan kehendakNya yang telah dinyatakan di dalam diri Kristus manakala manusia merasa dirinya telah bijaksana dan pandai. Sebaliknya Allah akan menyatakan kebenaran diriNya dan keselamatan melalui Kristus manakala setiap orang sungguh-sungguh mau merendahkan diri seperti “orang kecil”. Artinya berbagai kebijaksanaan dan kepandaian yang dimiliki oleh seseorang tidak pernah boleh dijadikan suatu pembenaran diri dan perasaan bermegah diri. Untuk mengenal kebenaran Allah yang telah terwujud dalam Kristus, setiap orang tanpa kecuali harus bersedia menyangkal diri terhadap “kebijaksanaan dan kepandaiannya”. Tetapi ketika manusia merasa dirinya mampu menggapai keselamatan dengan “human potential” yang telah dimiliki, atau menjadikan dirinya sebagai “magnet” yang menentukan nasib dan masa depannya; maka mereka tidak akan mampu menikmati keselamatan dari Kristus. Sebab tanpa pertolongan Kristus, manusia tidak mungkin mampu berperang melawan kuasa dosa. Ini berarti keselamatan sejati hanya akan kita peroleh manakala terjadi persekutuan yang intim dan personal dengan Tuhan Yesus. Dalam kitab Mazmur hubungan yang intim dan personal antara manusia dengan Messias Allah dilukiskan secara romantis, yaitu: “Dengarlah, hai puteri, lihatlah, dan sendengkanlah telingamu, lupakanlah bangsamu dan seisi rumah ayahmu! Biarlah raja menjadi gairah karena keelokanmu, sebab dialah tuanmu! Sujudlah kepadanya!” (Mzm. 45:11-12). Bandingkan dalam pengajaranNya Tuhan Yesus sering menyebut diriNya sebagai seorang mempelai pria (Mat. 9:15, 25:1). Karena itu kekristenan pada era Targum, menafsirkan Mzm. 45 yang mengisahkan perkawinan raja dengan pengantin wanitanya untuk menunjuk kepada hubungan intim antara Messias dengan umatNya. Sedang alasan iman Kristen yang menegaskan hal mengapa hanya Yesus sebagai Messias Allah yang sanggup menghancurkan kuasa dosa yang menguasai hidup manusia karena: “Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku dan tidak seorangpun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorangpun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya” (Mat. 11:27). Di sinilah letak “rahasia” atau posisi yang paling unik dan khusus dari Tuhan Yesus yang tidak tergantikan oleh nabi-nabi atau siapapun juga, yaitu bahwa Allah telah menyerahkan segala sesuatu kepada Dia. Sehingga Kristus memiliki segala kuasa di sorga da di bumi (Mat. 18:19). Sebab antara Kristus dengan Allah pada hakikatnya memiliki suatu hubungan intim yang eksklusif tiada taranya, sehingga tidak seorangpun mampu mengenal Kristus selain Bapa; demikian pula tidak seorangpun mengenal Allah selain Yesus Kristus. Kemudian di Mat. 11:27 juga terdapat kalimat terakhir yang sangat penting, yaitu: “dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya”. Ini berarti sikap iman atau percaya kepada Kristus pada hakikatnya bukan merupakan hasil usaha, kepandaian, kebijaksanaan, dan prestasi rohani manusia; tetapi merupakan anugerah dan kemurahan Kristus semata!

Semakin kita belajar dan mengetahui banyak hal seharusnya kita makin rendah-hati. Sekaligus kita akan makin peka dengan keterbatasan dan kegagalan kita untuk melakukan segala kehendak Allah. Karena itu kita membutuhkan pertolongan seorang Juru-selamat, yaitu Tuhan Yesus. Di Mat. 11:28, Tuhan Yesus memanggil setiap orang, yaitu: Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu”. Tuhan Yesus memanggil setiap orang yang merasa gagal memenuhi 613 hukum Allah di dalam hukum Taurat, dan juga kepada setiap orang yang sadar tidak sanggup memenuhi hukum Allah yang dituntut agama untuk mau datang ke haribaanNya. Dia akan mengaruniakan kelegaan yaitu damai-sejahtera dan keselamatan (syalom) Allah. Sebab manakala kita dipenuhi oleh syalom Allah yaitu kelegaan yang dikaruniakan oleh Kristus, maka kita akan dimampukan untuk melakukan kehendak dan firman Allah dengan benar. Semakin kita memiliki persekutuan yang intim dengan Kristus, maka kita akan dimampukan untuk melawan setiap kuasa dosa sehingga kita dapat melakukan apa yang benar dan berkenan kepada Allah. Karena itu apakah saudara sungguh-sungguh mau berjalan secara pribadi dengan Tuhan Yesus? Apakah kehidupan kita “hari demi hari” (day by day) senantiasa terbuka terhadap kuasa anugerah dan pertolongan Kristus? Selama kita menjadikan diri kita sebagai pusat kehidupan, maka kita memposisikan diri sebagai lawan Allah sehingga kita tidak akan sanggup melawan kuasa dosa dalam segala manifestasinya. Tetapi manakala kita menjadikan Kristus sebagai pusat dan tujuan kehidupan ini, maka Allah akan mengaruniakan berkat dan keselamatanNya sehingga kita dimampukan untuk hidup sebagai anak-anak Allah. Bagaimana sikap saudara saat ini? Amin.

No comments: