SETIAP akhir tahun selalu saja ada sajian pamungkas dari Tuhan yang unforgettable. Desember 2004, jangan bilang Anda lupa, satu balatentara Tuhan berkunjung ke Serambi Mekkah. Desember 2005, jangan bilang Anda tidak menonton berita yang menginformasikan bahwa 55 orang dilaporkan meninggal dalam peristiwa kelaparan di Kabupaten Yahukimo, Papua. Desember 2006, jangan katakan pula bahwa Anda tidak membaca koran dan melupakan tragedi tenggelamnya Senopati Nusantara yang meminta korban 500 orang lebih. Desember 2007, jangan bilang pula, bahwa Anda tidak mendengar berita banjir dan longsor di Karanganyar, Jawa Tengah, yang merenggut 60 lebih korban jiwa. Dan terakhir, Desember 2008, tolong, jangan katakan bahwa Anda terlalu sibuk dengan deadline pekerjaan, atau sibuk dengan persiapan perayaan Tahun Baru, sehingga tidak mendengar dan memperhatikan berita yang bergema dan ditayangkan di seantero bumi, bahwa ada tetesan duka tak terperi yang dialami saudara-saudara kita di Gaza, Palestina. Apakah Anda masih santai liburan dan cake Tahun Baru masih tersimpan di kulkas? Hmh, dunia begitu paradoks. Tuhan seolah begitu nyata ketika kita ikut dalam gegap gempita pergantian tahun, tapi bagi mereka yang naas, pertanyaan yang niscaya dan tak jauh-jauh; “di mana Tuhan saat itu, dan, mengapa Dia membiarkan hal ini terjadi?”.
………..Ya. Teodice, perihal keadilan Ilahi, tantangan terbesar Filsafat Ketuhanan, dan pertanyaan perihal adanya penderitaan termasuk di dalamnya. Apa yang bisa kita jawab jika masih ada orang yang meminta pertanggungjawaban iman kepada Allah dari kita, ketika Allah Tuhan yang kita imani masih mengizinkan adanya penderitaan di muka bumi, yang notabene (secara akal) bertentangan dengan sederet atribut ke-Maha-an yang dimiliki-Nya? Pertanyaan yang tidak terlalu baru (sebagai tambahan) : rasionalkah bila kita masih percaya Tuhan?
***
………..Mencoba memberikan pengertian-pengertian kepada nalar (dengan nalar) bahwa di abad 21 masih percaya pada Tuhan adalah sangat masuk akal, bahwa apa yang diyakini tidak bertabrakan dengan nalar. Itulah setidaknya yang dilakukan Romo Magnis dalam bukunya Menalar Tuhan ini. Bisa dibilang, elaborasi wacana penalaran atas Tuhan dalam buku ini cukup komprehensif dan dipaparkan secara progres. Dimulai dari pembebasan masalah ketuhanan dari mitologi, bahwa keimanan kepada Tuhan tak semata karena warisan turun-temurun. Kemudian melangkah ke persoalan metafisika. Disusul dengan terbitnya fajar modernitas abad 19-20 yang melahirkan skeptisisme terhadap Allah, di mana pemikir-pemikir ateis mulai bermunculan. Di sini tanggapan-tanggapan atas statemen lima pemikir besar ateisme, dikemukakan Romo Magnis dengan amat meyakinkan. Dan pembahasan mulai semakin menarik ketika sudah melangkah ke bahasan agnostisisme, di mana dikatakan bahwa wacana Tuhan berada di luar cakupan filosofis. Empat model agnostisisme filosofis dibicarakan di sini. Namun yang paling menarik perhatian adalah prinsip falsifikasi Flew, berhubungan dengan hal yang menjadi intro tulisan ini, bahwa adanya ketidakadilan, lebih-lebih penderitaan di mana-mana, memfalsifikasikan eksistensi Tuhan.
Apabila Tuhan adalah Sang “Pengada Mahatahu, Mahakuasa, Mahaadil, Mahaberbelaskasihan”, namun penderitaan dan ketidakadilan di dunia berlangsung terus, Ia tidak bisa dibedakan lagi dari Pengada yang tidak Mahatahu, atau Ia tahu tapi tidak Mahakuasa, atau Ia memang tahu dan mampu bertindak, tapi tidak Mahaadil dan Mahaberbelaskasihan, sehingga Ia tidak dapat dibedakan lagi dari yang bukan Tuhan. (hal.117)
………..Tapi masalah ini, tak ubahnya seperti dialog tanpa kesimpulan antara orang Beriman dengan seorang Skeptik dalam karya Davies (Tuhan, Doktrin dan Rasionalitas : 2004), bahwa segala ketidakmengertian tentang Tuhan, ujung-ujungnya adalah masalah iman. Padahal tantangan atas irasionalitas iman harus segera dijawab. Mengatakan bahwa hal ini hanya persoalan iman semata, tidak akan menyelesaikan masalah Tuhan secara begitu saja.
………..“Anda mempercayai Tuhan, entah karena apa, kami terima. Tapi kami tetap tidak habis pikir; bagaimana Anda masih bisa percaya pada Tuhan yang mahakuasa, mahabaik, dan mahaadil padahal Anda menyaksikan begitu banyak penderitaan di dunia. Andai Tuhan memang ada, kenapa ini dibiarkan? Kepercayaan Anda sendiri irasional!” (hal. 123, sebuah bentuk statemen imajiner yang masih bisa dilontarkan mereka yang meragukan rasionalitas keimanan pada Tuhan). Artinya, kita yang percaya Tuhan, dituntut untuk memperlihatkan secara positif bahwa kepercayaan kita kepada Tuhan adalah masuk akal. Maka dari sini, nalar (dengan menggunakan filsafat) mulai harus bekerja mencari jawaban. Tentu, menalar di sini tidak identik dengan memahami rahasia Ilahi, melainkan apa yang diimani disadari tidak ada pertentangan dengan akal budi. Dan, bab terakhir buku ini mulai fokus pada masalah teodice.
***
………..Penjelasan-penjelasan yang kerap kita dengar, seperti, penderitaan adalah hukuman atas dosa yang bersangkutan; penderitaan akan diganjar surga; dengan penderitaan kualitas manusia bisa diuji; penderitaan memurnikan hati; dunia lebih baik jika ada penderitaan daripada tidak; dan yang paling ekstrim, kita tak tahu apa-apa soal Allah, jadi lebih baik tutup mulut dan jangan banyak bertanya lagi, jelas tidak memuaskan.
………..Lantas, apa yang bisa dijelaskan oleh filsafat?
“Penderitaan tak lain merupakan kodrat penciptaan. Bahwa Allah “tidak bisa” menciptakan sesuatu yang tidak bertentangan pada diri-Nya sendiri, tidak serta merta mengurangi kemahaan-Nya, melainkan sebaliknya berakar dalam konsistensi Allah dalam kemengadaan-Nya. Allah tidak akan intervensi untuk mencegah keburukan, penderitaan, yang secara hakiki menjadi mungkin dengan alam raya yang seoerti ini. Sebab, jika Ia campur tangan, maka pada saat yang sama, Ia telah menjadikan alam berjalan tidak sesuai kodrat yang digariskan-Nya. Begitu Allah memutuskan menciptakan alam dengan segala isinya (yang serba tidak sempurna) ini, maka segala luka, kekerasan, dan perasaan sakit tidak bisa dihindari.” (hal.226)
………..Namun penjelasan tersebut gagal karena ia tidak bisa menjelaskan bagaimana penderitaan kerap terjadi dalam skala yang besar. Di sini Romo Magnis mengemukakan jalan lain yang harus ditempuh, yakni “kita tidak boleh hanya berfokus pada keburukan dalam ciptaan (pada penderitaan), melainkan juga pada kebaikan” (hal.228), dan dengan meminjam pernyataan seorang filosof dan teolog Roma pasca-Romawi, Boethius (480-524), bahwa : “Si quidem deus est, unde mala? Bona vero unde, si non est?” (Apabila Allah ada, dari mana hal-hal buruk? Tetapi dari mana hal-hal baik, kalau Ia tidak ada?). Intinya, betapa pun kita tidak mengerti, segala penderitaan dan kengerian yang kita alami, terkalahkan oleh kebaikan Ilahi. Kunci pengatasan masalah teodice adalah janji yang terimplikasi dalam adanya Allah bahwa “Ia akan menghapus segala air mata kita”. Filsafat sudah tidak bisa melangkah lebih jauh.
………..Pertanyaan mengapa Allah mengizinkan penderitaan, filsafat mengakui tidak bisa menjawab, dan ia tidak bisa dipecahkan. Yang bisa dilakukan filsafat adalah mengantar kita (yang masih percaya Tuhan), ke ambang iman. Kita mengakui bahwa kita tetap tidak mengerti. Kita hanya diajak untuk percaya, bahwa segala penderitaan akan menjadi lebih baik.
***
………..Buku Romo Magnis ini cukup bagus untuk memperkaya pengertian kita, yang tak lain untuk meringankan beban pertanyaan yang mengendap dalam batin dan menjadi hal yang dipermasalahkan nalar. Tentu, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan nalar pun ada batasnya, termasuk pertanyaan tentang penderitaan. Tetapi meski filsafat akhirnya menyerah dan tidak sanggup berjalan lebih jauh, toh, iman bisa mengambil alih. Yang jelas, dengan bantuan nalar, maka dimensi terdalam agama bisa dicapai. Meski ujungnya diserahkan pada iman kembali, yang pasti, nalar memahami, bahwa ternyata semua ini masih bisa dijelaskan secara masuk akal. Sebab, ketika Allah menjadi pertanyaan, maka Ia-pun bisa menjadi jawaban. ***
“I believe in God with or without evidence” – Gentole, suatu ketika.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment