Saturday, July 16, 2011

TEOLOGI VS PENGALAMAN


Teologi

Joseph Ratzinger yang sekarang menjadi Paus, pemimpin tertinggi umat Katolik pernah menulis buku tentang Jesus Kristus dari Nazaret. Kemudian ada buku yang diterbitkan sebagai tanggapan atas buku itu yang berjudul: Joseph Ratzinger- Yesus dari Nazaret Pelbagai Tanggapan yang diterbitkan oleh Ledalero, Maumere, Mei 2009. Buku ini adalah hasil terjemahan dari Paul Budi Kleiden. Para penulis yang memberikan tanggapan juga bukan sembarang orang karena memang mereka juga ahli teologi; mereka adalah:



• Martin Ebner, Profesor untuk Eksegesis Perjanjian Baru pada Fakultas Teologi Katolik dari Universitas Munster.
• Kurt Backhaus, Profesor untuk Eksegesis Perjanjian Baru dan Hermeneutika Alkitabiah pada Fakultas Teologi Katolik dari Universitas Munchen.
• Paul Budi Kleden, Dosen Teologi Dogmatik pada sekolah Tinggi Filsafat Katolik, Ledalero.
• Jorg Frey, Profesor untuk Teologi Perjanjian Baru pada Fakultas Teologi Protestan dari Universitas Munchen
• Manfred Gerwing, Profesor untuk Dogmatik dan Sejarah Dogma pada universitas Katolik Eichstadt-Ingolstadt.
• Rudof Hoppe, Profesor untuk Eksegesis Perjanjian Baru pada Fakultas Teologi Katolik Universitas Bonn.
• Rainer Kampling, Profesor untuk Teologi Biblis/Eksegesis Perjanjian Baru pada institut Teologi Katolik Universitas Berlin.
• Klaus-Peter Marz, Profesor untuk Eksegesis dan Teologi Perjanjian Baru pada Fakultas Teologi Katolik Universitas Erfurt.
• Karl-Wilhelm Niebuhr, Profesor untuk jurusan perjanjian baru pada Fakultas Teologi Protestan dari Universitas Jena.
• Dieter Sanger, Profesor untuk jurusan Teologi dan Sejarah Sastra Perjanjian Baru pada Fakultas Teologi Protestan dari Universitas Kiel.
• Jens Schroter, Profesor untuk Eksegesis dan Teologi Perjanjian Baru pada Fakultas Teologi Protestan dari Universitas Leipzig.
• Thomas Soding, Profesor untuk jurusan Teologi Perjanjian Baru pada seminar Teologi Katolik Universitas Wuppertal.
• Angela Standhartinger, Profesor untuk jurusan Perjanjian Baru pada Fakultas Teologi Protestan dari Universitas Marburg.
• Paul Wess, Profesor untuk Teologi Pastoral pada Universitas Innsbruck.
• John Sobrino, Profesor untuk Teologi dan Direktur dari Sentrum Monsenor Romero Universitas Amerika Serikat.
• Felix Wilfred, Pemimpin Fakultas Ilmu Humanifora Universitas Negri Madras, India.

Itulah ke enam belas profesor teologi yang menanggapi buku karangan Joseph Ratzinger tersebut. Saya kira mungkin akan lebih banyak lagi tanggapan yang tidak dimasukan kedalam buku ini. Mungkin karena dalam bukunya Paus Benediktus menulis "Setiap Orang boleh membantah saya", maka banyak muncul pelbagai tanggapan yang nadanya bervariasi, ada yang setuju dan ada yang keberatan. Yang membuat penulis cukup kaget adalah justru ada profesor teologi Protestan yang nadanya memuji tulisan Paus Benediktus tersebut dan ada beberapa penulis dari Teologi Katolik yang justru nadanya kritis dengan tulisan Paus Benediktus. Saya rasa itu adalah perdebatan yang justru sehat dan baik.

Dalam pengantarnya, Paul Budi Kleden menulis, "Sebenarnya yang sedang diperdebatkan adalah masalah hermeneutika, yang merupakan satu persoalan kunci dalam agama agama." Apa itu hermeneutika?. Hermeneutika adalah aliran filsafat yang bisa didefinisikan sebagai teori interpretasi dan penafsiran sebuah naskah melalui percobaan. Biasa dipakai untuk menafsirkan Alkitab, terutama dalam studi kritik mengenai Alkitab.(1) Walaupun keenam belas orang profesor Teologi tersebut tanggapannya terhadap buku itu bisa disederhanakan menjadi dua kategori, yaitu setuju atau tidak setuju namun sebenarnya masing masing dari mereka memberikan tanggapan dari sudut pandang yang berbeda.

Jesus Seminar

Yang menjadi masalah adalah banyaknya penafsiran penafsiran alkitab yang berbeda, yang paling kontroversial adalah penafsiran dari kelompok Jesus Seminar. (2) Boleh boleh saja mereka mereka yang tergabung dalam kelompok seminar mempunyai penafsiran yang berbeda. Namun yang membuat saya tidak habis pikir adalah metodanya. Bagaimana mungkin mereka menafsirkan ayat ayat itu berdasarkan pemungutan suara. Mereka ingin menafsirkan alkitab berdasarkan campuran antara demokrasi pemungutan suara dan matematika dimana perhitungannya berdasarkan "average weighted score" atau metoda rata rata tertimbang. Memang harus diakui mereka adalah ahli alkitab; namun kalau mereka dengan begitu yakin memutuskan atau menghakimi ayat ayat dalam kitab suci dengan memilah milah mana yang benar benar terjadi, mana yang mungkin terjadi dan mana
yang tidak mungkin terjadi, saya sungguh sungguh merasa keberatan dengan penafsirannya. Mereka menafsirkannya betul betul hampir seperti membuat perhitungan matematika. Sehebat apapun mereka dalam keahliannya di bidang kitab suci, saya sungguh harus menolak kesimpulan kesimpulannya karena metodanya yang sungguh sungguh hampir tidak bisa dipercaya dilakukan oleh mereka yang katanya para ahli.

Pengalaman Karismatik

saya sungguh ingin tahu pandangan pandangan mereka yang tergabung dalam Jesus Seminar tentang Pantekosta, seperti yang tertulis dalam kitab injil Kisah para Rasul, "Roh Kudus dijanjikan". Sayangnya saya tidak dapat menemukan pandangan orang orang yang tergabung dalam Jesus Seminar tentang peristiwa Pantekosta. Justru disinilah pada peristiwa Pantekosta, saya bisa menjawab pertanyaan Yesus, Apa katamu, Siapakah Aku? Justru pada peristiwa Pantekosta ini klaim Yesus menyamakan kedudukan yang setara dengan Bapa dan Roh Kudus terpenuhi. Lihatlah perintah Yesus di Matius 28. 19-20:

"...baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." Manusia seperti apakah Yesus ini yang bisa menjanjikan Roh Kudus? Lihat juga Yohanes 20:22, “Dan sesudah berkata demikian, Ia mengembusi mereka dan berkata: ‘Terimalah Roh Kudus.” Manusia seperti apakah Yesus ini yang mempunyai kekuasaan sedemikian besar?

Sebagai pembanding lihatlah juga apa yang dilakukan Bapa pada jaman Musa, jauh sebelum Anak Manusia Yesus lahir.

Bilangan 11:17. Maka Aku akan turun dan berbicara dengan Engkau disana, lalu sebagian dari Roh yang hinggap padamu itu akan Kuambil dan kutaruh atas mereka, maka mereka bersama sama dengan engkau akan memikul tanggung jawab atas bangsa itu, jadi tidak usah lagi engkau seorang diri memikulnya.

Bilangan 11:25 Lalu turunlah Tuhan dalam awan dan berbicara kepada Musa, kemudian diambil-Nya sebagian dari Roh yang hinggap padanya dan ditaruh-Nya atas ketujuh puluh tua-tua itu;ketika Roh itu hinggap pada mereka, kepenuhanlah mereka seperti nabi, tetapi sesudah itu tidak lagi. Bandingkanlah Bilangan 11:25 dan Yohanes 20:22, maka akan tampak kesetaraan antara Bapa, Putra dan Roh Kudus.

Teologi dan Pengalaman

Lihatlah Injil Lukas 10:21-24 : Ucapan Syukur dan bahagia

Pada waktu itu juga bergembiralah Yesus dalam Roh Kudus dan berkata: “Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu. Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku dan tidak ada seorangpun yang tahu siapakah Anak selain Bapa, dan siapakah Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakan hal itu. Sesudah itu berpalinglah Yesus kepada murid-muridnya tersendiri dan berkata: “Berbahagialah mata yang melihat apa yang kamu lihat. Karena Aku berkata kepada kamu: Banyak nabi dan raja ingin melihat apa yang kamu lihat, tetapi tidak melihatnya, dan ingin mendengar apa yang kamu dengar, tetapi tidak mendengarnya.”

Jadi apa hubungannya antara teologi dan pengalaman pengalaman Karismatik? Mana yang lebih penting atau meyakinkan penafsiran teologi atau pengalaman pengalaman karismatik? Banyak orang Kristen bila diminta tanggapan tanggapan tentang tafsiran tafsiran kontroversial para ahli, atau tentang penemuan penemuan kontroversial arkeologi, jawaban mudahnya adalah "Kepercayaan kita kepada Yesus karena pengalaman pengalaman pribadi dengan Yesus Kristus". Namun jawaban jawaban itu memang tidak salah, karena Yesus sendiri mengatakan : "semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu."

Saya tahu seseorang, dua tahun yang lalu, yang pernah mengikuti Seminar hidup baru dalam Roh yang dipimpin oleh pastur Soekarno osc, yang mengalami pengalaman pengalaman yang jauh dari jangkauan pikiran manusia sehingga pastur Soekarno mengatakan "Kamu akan selalu berterima kasih".

KISAH PARA RASUL 1 : 8
"Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-KU di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi."

Saya tahu seseorang, tiga bulan setelah mengalami peristiwa peristiwa yang mirip dengan peristiwa Pantekosta dalam injil, mengalami seperti yang dikisahkan dalam para rasul 1:8 "Tetapi kamu akan menerima kuasa". Saya tahu seseorang yang merasakan betapa berkuasanya nama Yesus, karena mengalami pengalaman pengalaman aneh selama delapan kali berturut turut dalam dua Minggu. Saya tahu seseorang, seperti yang diramalkan oleh pastur Soekarno akan selalu berterima kasih kepada Yesus karena bila mengingat peristiwa peristiwa tersebut orang itu sering meneteskan air matanya tanda bersyukur yang tidak terkira atas anugerahNya yang luar biasa.

Kalau para ahli kitab dalam Jesus Seminar mengatakan bahwa Yesus tidak bangkit dari antara orang mati, maka saya tahu seseorang setelah mengalami peristiwa peristiwa itu pasti akan meyanggah para ahli kitab suci itu dengan mengatakan, Yesus bangkit dari antara orang mati.

Jadi mana yang lebih meyakinkan para ahli kitab suci atau pengalaman pengalaman pribadi? Saya tahu seseorang yang akan mengatakan bahwa pengalaman pengalaman jauh lebih meyakinkan daripada tafsiran tafsiran dari ahli kitab suci.

Analogi pengalaman dan keahlian teologi mengingatkan saya tentang cerita seseorang profesor yang tahu segala teori tentang berenang baik gaya dada, gaya kupu kupu, gaya katak. Ketika profesor ahli renang itu terjebur di kolam ia tidak bisa menyelamatkan dirinya sendiri sehingga harus ditolong oleh seseorang yang tidak pernah belajar tentang teori renang.

Kemuliaan hanya untuk Yesus Kristus- bukan untuk penonjolan diri atau untuk keuntungan keuntungan pribadi.

Wednesday, June 15, 2011

AJARAN “MANUNGGALING KAWULA GUSTI”

Piwulang “Manunggaling Kawula Gusti” (Ajaran Bersatunya Manusia dengan Tuhan) adalah ajaran Jawa tentang tanggapan diri pribadi manusia (ciptaan) atas belas kasih atau welas asih Tuhan (Pencipta) yang berkenan menyertai setiap hati sejati manusia (Manunggaling Gusti Kawula).
Diyakini bahwa karena belas kasih-Nya maka sejak manusia diciptakan, Tuhan selalu menyertai manusia sebagai ciptaan paling sempurna yang diutus menjadi “kepanjangan tangan Tuhan” supaya hidup rukun dengan sesama dan alam semesta sebagaimana diteladankan Tuhan, untuk memuliakan nama-Nya. Karena kasih-Nya (katresnan Dalem Gusti), Tuhan tidak otoriter tetapi menghargai manusia sebagai pribadi utuh yang diberi kebebasan. Kebebasan inilah yang membuat perjalanan hidup manusia menjadi berbeda satu dengan yang lain.
Upaya diri pribadi manusia yang terbuka hatinya menanggapi “Manunggaling Gusti Kawula” ini dilakukan secara sendiri-sendiri atau berkelompok dengan laku glenikan sehingga menghasilkan ngelmu klenik yang disebut ajaran (piwulang atau kawruh) “Manunggaling Kawula Gusti”, sebagai berikut :
• Sesungguhnya pengetahuan manusia tentang “dirinya sendiri” masih sangat dangkal daripada “diri sendiri sejati” yang diberikan Sang Pencipta. Atau dengan kata lain Sang Pencipta mengenal diri manusia lebih baik daripada manusia mengenal dirinya sendiri, Tuhan welas asih kepada manusia lebih daripada manusia mengasihi dirinya sendiri.
• Bahwa perbuatan yang selama ini dilakukan kepada Tuhan, sesama dan alam semesta yang menurut manusia sudah baik ternyata masih sebatas ragawi yang kasad mata penuh pamrih dan pilih kasih (mbancindhe mbansiladan) hanya untuk kepentingan manusia (dirinya sendiri). Contoh : Ketika seseorang beribadah kepada Tuhan menganggap yang dilakukan sudah cukup (karena sikap dan perbuatannya tidak berubah), tetap melakukan kekerasan phisik / non phisik, pemarah, dlsb karena dilakukan secara normatif, agamis tanpa hati sejati. Demikian pula ketika perbuatan baik kepada sesama tidak mendapatkan balasan, tanggapan semestinya atau bahkan sama sekali tidak ditanggapi menjadi kecewa, marah, tersinggung, dlsb. Padahal kasih yang diteladankan Tuhan tidak pernah menuntut balas dan pilih kasih : oksigen untuk bernapas manusia, hangatnya matahari, segarnya air hujan diberikan kepada setiap orang secara cuma-cuma tanpa membedakan status, etnis/ warna kulit, agama, dlsb.
• Untuk menggali kesadaran diri hati sejati diperlukan percaya sejati kepada Tuhan. Percaya sejati berarti berserah diri tanpa reserve, melepaskan nafsu ingin memiliki dan kemauan sendiri kepada kehendak Tuhan, semua yang ada dipersembahkan sebagai alat-Nya memuliakan nama-Nya.
• Niat berserah diri atau pasrah kepada Tuhan hanya dapat diwujudkan dengan laku batin meneng atau diam terpusat di hati : tersenyum, rileks melepaskan semua ketegangan tubuh dan pikiran. Laku meneng mengarahkan hati kepada Tuhan dilakukan secara tekun tanpa target, tanpa pamrih dan tidak memaksakan diri, batin menjadi wening (jernih). Rasa ati wening ini menumbuhkan kesadaran hati sejati bahwa Tuhan sungguh hadir mengasihi dirinya. Buahnya hati sejati menjadi dunung (mengerti) bahwa hidupnya harus menyatu dengan Sang Pencipta. (makna kebatinan).
• Kesadaran Manunggaling Kawula Gusti berarti harus mau meneladani kasih-Nya yang diungkapkan dalam hidup sehari-hari semakin berbelas kasih sejati kepada sesama dan alam semesta ; memaafkan kesalahan, menyesal dan mohon maaf kepada Tuhan dan sesama atas segala kesalahan (yang sering membuat tertekan hatinya), menerima orang lain dan keadaan / peristiwa seperti apa adanya, tidak akan mempengaruhi orang lain dengan paksa, merubah sikap kekerasan menjadi tanpa kekerasan, dari permusuhan menjadi damai, dari hidup dengan berbagai kepalsuan menjadi jujur dan apa adanya, dari sombong, egois dan menonjolkan diri menjadi rendah hati dan peka akan perasaan orang lain, dari serakah menjadi ikhlas untuk berbagi, berbela rasa, melestarikan alam semesta, tidak pernah mengadili orang lain, mengritik, memaksakan kehendak, dlsb. Relasi spiritual Kawula Gusti ini harus bermuara pada sikap hormat atau ngajeni sesamining gesang. Sikap ini membuahkan relasi welas asih sejati dalam persaudaraan.
• Laku batin mutlak harus dilakukan, karena tanpa laku batin terpusat di hati (bukan konsentrasi pikiran yang menegangkan) maka orang hanya mengerti sebatas wacana tetapi tidak menghayati. Tuhan hanya dapat diabdi dengan cinta dalam perbuatan nyata, tidak hanya dipikirkan. Hanya dengan perbuatan belas kasih sejati Tuhan dapat diperoleh, tetapi dengan pikiran tidak mungkin. Sebagai pengandaian, untuk memperoleh prestasi olah raga diperlukan ketekunan latihan, demikian pula untuk dapat menanggapi kasih-Nya diperlukan ketekunan olah batin yang diawali dengan senyum, sikap rileks menghilangkan ketegangan tubuh dan pikiran tanpa memaksakan diri, untuk dapat menyadari kehadiran-Nya.
• Sikap percaya dan berserah diri manunggal dengan Tuhan ini bisa diandaikan sebagai hak dan kewajiban, ketika orang telah memenuhi kewajibannya dengan baik pasti haknya akan diperoleh. Apabila orang sungguh percaya kepada Tuhan, mengarahkan hati sejati kepada-Nya yang diungkapkan dengan perbuatan baik penuh welas asih, maka orang akan dengan tegar dapat menerima setiap keadaan tanpa harus melawan dengan memaksakan kehendak, segala sesuatu yang negatif dari luar dirinya diterima dengan senyum sebagai hiburan, karena percaya bahwa kuasa welas asih & katresnan Dalem Gusti yang berkarya, diiringi ucapan syukur. Tidak ada rasa irihati, sombong, takut, kuatir, tegang, dihantui rasa bersalah, melainkan percaya Tuhan pasti akan mengatur memberikan kesejahteraan sejati bagi hidupnya. Demikian juga ketika berdoa memohon kepada-Nya, yakin segala permohonannya telah dikabulkan. Semua ini membuahkan rasa hati gembira, berani menghadapi kenyataan hidup, dalam segala hal selalu bersyukur (sumringah bingah, menapa-menapa wantun, syukur lan beja ingkang langgeng).
• Seseorang yang sudah mampu menjalani hidup menyatu dengan Tuhan atau “Manunggaling Kawula Gusti” berarti sudah menanggapi “Manunggaling Gusti Kawula” dengan baik. Buahnya orang menjadi sehat secara psikis karena selalu berpikir positip dan tenang atau sareh. Secara emosi menjadi lebih sabar, tidak pemarah, tidak akan putus asa, kecewa dan tidak mudah tersinggung karena yakin semua yang negatif dari luar tidak akan mempengaruhi dirinya (nyawang karep). Secara sosial menjadi mudah bergaul dan menerima orang lain dan keadaan seperti apa adanya tanpa menimbulkan emosi negatip. Akhirnya, dengan didukung pola makan yang benar dan gerak badan cukup, semua sikap tersebut menyehatkan raga karena metabolisme tubuh normal tanpa diganggu emosi negatip yang mengakibatkan peredaran darah tidak lancar, detak jantung tidak teratur, tekanan darah naik.
• Meskipun ajaran ini tentang relasi pribadi manusia dengan Tuhan, tetapi memiliki nilai sosial dan kemanusiaan tinggi, karena sikap berserah diri kepada Tuhan selalu diungkapkan dengan perbuatan belas kasih kepada sesama dan alam semesta, dengan hati sejati sebagai nakhodanya. Ajaran ini juga upaya mengakhiri kekerasan, karena sesungguhnya kekerasan yang dilawan dengan kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru.

Ajaran “Manunggaling Kawula Gusti” ini sangat pas untuk bekal hidup jaman ini dimana orang hanya dibiasakan menggunakan otak kiri / kognisi yang menarik manusia kepada hitung-hitungan tambah dan kurang, konsumerisme, hedonisme, normatif yang hanya ragawi dan kasad mata tanpa hati sejati. Akibatnya orang ingin cepat memperoleh hasil secara instant mengabaikan proses, untung rugi, yang disadari atau tidak mempengaruhi hidup spiritual keagamaan, persaingan, kalah menang, pembenaran diri, egoisme yang berbuntut konflik dengan kedok agama, suku dan ras, penguasaan sumberdaya alam tanpa ada kemauan melestarikan dan berbagi, kekerasan dlsb yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan sejati yang adil dan beradab… Sembah nuwun, Rahayu, Rahayu, Rahayu…

KRT Kusuma Wijaya / P Kusuma Wirawan.
Pandhemen Kawruh Jawa