Friday, February 26, 2010

SINKRETISME


SINKRETISME adalah gejala kuno. Ia sudah ada dan muncul sejak awal peradaban manusia. Sinkretisme adalah membiarkan atau malah mengupayakan percampuran beberapa unsur keyakinan atau kebudayaan. Sebuah percampuran yang sedemikian rupa sehingga proses yang berlangsung adalah tambal sulam dan semuanya digabung-gabung secara dangkal.

Sebagian ahli berpendapat bahwa orang Jawa berabad-abad melakukan praktik ini. Apa pun latar belakang keyakinan atau agama mereka. Clifford Geertz adalah antropolog klasik yang senantiasa dikutip ketika kita membicarakan topik ini. Ia membahas secara luas sinkretisme orang Jawa, khususnya terkait dengan agama Islam. Banyak orang Jawa Islam disebutnya abangan karena mencampuradukkan kebiasaan praktik-praktik mistis Jawa dan pengaruh Hindu-Buddha.

Ternyata, orang Jawa Katolik pun memiliki tendensi yang sama. Orang Katolik ini tidak mudah dipisahkan dengan ke-Jawa-annya. Sebenarnya ini sebuah fenomena yang sehat. Sebagaimana kerap dianjurkan bahwa orang Islam Jawa sebaiknya jangan mengalami ‘arabisasi’ dan menjadi orang Arab.

Tetapi, bagaimana persisnya bisa diterangkan bahwa orang Jawa Katolik tidak kehilangan kepribadiannya sebagai orang Jawa hanya karena dia menjadi Katolik? Pertanyaan ini sebenarnya sederhana. Dan, jawaban teologi teoritis atas pertanyaan itu pun juga tidak terlalu sulit. Yang menjadi repot adalah ketika konsep ini hendak diterapkan dalam praktik-praktik khusus. Dengan demikian, pertanyaan sesungguhnya adalah bagaimana iman Katolik menanggapi fenomena seperti kebatinan, slametan, suran, ruwatan?

Pertanyaan di atas menjadi provokasi bagi Gereja untuk menjelaskannya. Ini baru gejala kultural di Jawa. Daerah-daerah lain – Sunda, Bali, Dayak, Batak, Papua – menunggu jawaban yang sama. Setiap jawaban hitam atau putih – boleh atau dilarang, baik atau buruk – secara simplistik justru akan membawa kondisi Gereja yang tidak sehat.

Sekali lagi, menjawab prinsip-prinsip teoritis persoalan tadi tidak terlalu sulit. Dalam liturgi, juga dalam perayaan-perayaan sakramen lainnya, ada bagian dan unsur yang pada dasarnya permanen. Inilah ruang sakral dan ilahi yang merupakan Tradisi (menggunakan ‘T’, bukan ‘t’) Kristiani di mana Gereja harus menjaga secara ketat. Tetapi, ada bagian-bagian yang bisa diubah, bahkan wajib disesuaikan dengan berbagai kebudayaan lokal. Yang terakhir ini juga tanggung jawab Gereja.

Kita harus memperhatikan dengan cermat apa yang pernah dikatakan oleh Paus Yohanes Paulus II: “Keanekaragaman liturgi bisa menjadi kekayaan Gereja. Tetapi, ia juga bisa memicu berbagai tegangan, kesalahpahaman, bahkan penyempalan”.

Keanekaragaman jangan sampai merusak persatuan, demikian Paus yang sama menuliskannya. Keanekaragaman dengan demikian harus menjadi perwujudan kesetiaan pada iman yang dihayati bersama, juga kesetiaan pada sakramen yang adalah bukti bahwa Gereja didirikan oleh Kristus, serta kesetiaan pada hirarki.

Pertimbangan di atas masih harus dilengkapi dengan desakan yang sangat krusial yang sama sekali tidak mudah dipraktikkan. Yaitu, setiap adaptasi kultural menuntut pertobatan hati. Artinya, orang atau komunitas jangan menjadi lekat pada praktik-praktik kultural tertentu. Ada masa memeluknya, tetapi ada masa dengan rela melepaskannya jika ia tidak cocok dengan ajaran iman Katolik yang sehat.

Tegangan antara sinkretisme dan inkulturasi membutuhkan dialog dan diskusi yang kita kenal sebagai pertimbangan bersama (communal discernment). Perlu ada sebuah katekese untuk umat Katolik. Bukan pelajaran agama untuk kanak-kanak atau pra-baptis yang penuh dengan penjelasan benar dan salah, dan semuanya hanya melulu hafalan.

Katekese yang dimaksud di sini ditujukan untuk orang dewasa yang sudah sekian lama dibaptis. Orang-orang ini sudah mengalami perjumpaan dengan pengalaman hidup yang kaya, yang membuat ia bertanya dan mempertanyakan banyak pengandaian dasar yang diterima ketika ia mendapatkan pelajaran agama dasar. Katekese ini harus lebih banyak diwarnai dengan dialog dan pencarian bersama, daripada hubungan guru-murid, disertai dengan pengolahan ajaran iman Katolik yang solid.

Zacheus


Communal chief town of the canton of Gramat, district of Gourdon, Department of Lot, in the Diocese of Cahors and the ancient province of Quercy. This village by the wonderful beauty of its situation merits the attention of artists and excites the curiosity of archæologists; but its reputation is due especially to its celebrated sanctuary of the Blessed Virgin which for centuries has attracted pilgrims from every country, among them kings, bishops, and nobles.

A curious legend purported to explain the origin of this pilgrimage has given rise to controversies between critical and traditional schools, especially in recent times. According to the latter, Rocamadour is indebted for its name to the founder of the ancient sanctuary, St. Amadour, who was none other than Zacheus of the Gospel, husband of St. Veronica, who wiped the Saviour's face on the way to Calvary. Driven forth from Palestine by persecution, Amadour and Veronica embarked in a frail skiff and, guided by an angel, landed on the coast of Aquitaine, where thy met Bishop St. Martial, another disciple of Christ who was preaching the Gospel in the south-west of Gaul. After journeying to Rome, where he witnessed the martyrdoms of Sts. Peter and Paul, Amadour, having returned to France, on the death of his spouse, withdrew to a wild spot in Quercy where he built a chapel in honour of the Blessed Virgin, near which he died a little later. This marvellous account, like most other similar legends, unfortunately does not make its first appearance till long after the age in which the chief actors are deemed to have lived. The name of Amadour occurs in no document previous to the compilation of his Acts, which on careful examination and on an application of the rules of the cursus to the text cannot be judged older than the twelfth century. It is now well established that St. Martial, Amadour's contemporary in the legend, lived in the third not the first century, and Rome has never included him among the members of the Apostolic College. The mention, therefore, of St. Martial in the Acts of St. Amadour would alone suffice, even if other proof were wanting, to prove them a forgery. The untrustworthiness of the legend has led some recent authors to suggest that Amadour was an unknown hermit or possible St. Amator, Bishop of Auxerre, but this is mere hypothesis, without any historical basis. Although the origin of the sanctuary of Rocamadour, lost in antiquity, is thus first set down along with fabulous traditions which cannot bear the light of sound criticism, yet it is undoubted that this spot, hallowed by the prayers of innumerable multitudes of pilgrims, is worthy of our veneration. After the religious manifestations of the Middle Ages, Rocamadour, as a result of war and revolution, had become almost deserted. Recently, owing to the zeal and activity of the bishops of Cahors, it seems to have revived and pilgrims are beginning to crown there again.