Monday, June 29, 2009

Mirroring


(Personal Spiritual Diary Series - Tue, 24.06.09)

By David Sutedja

I remember something. Queer enough why suddenly it appeared in my mind though it’s holiday. Since I’m a teacher, giiving exams is always exciting. A lot of good lessons can be drawn. Here’s one. Someone can be so sure with the answer. He or she writes and writes and writes (perhaps with thanksgiving prayer to God and with a stronger belief that those candles lit in front of the statue of Mary really work!). At one point he or she realizes that the answer already written is completely wrong. I can see three options here for this student.

First, he or she can apply the correction liquid to cover all that is written with sheer white coat; then he or she write on it. Problem is, some pens are simply not made to write on those shiny-slippery white coats. Even worse, the first page will not look nice at all to the eyes of the teacher. Second, he or she can simply make a line across the first page and write the right answer on the second page. The wrong answer is still there and can be seen clearly, but that line across the page will tell the teacher not to bother with what is written there. Fair enough. Third, he or she can simply toss the answer sheet to the trash bin, walk to the teacher’s desk, and say “I’ve made mistakes. Could I have a new answer sheet, please?”

Imagine I have three students taking those options respectively. Suppose also that the three of them give the “correct answers.” Well, beyond the grading, I can see at least three different ways of dealing with mistakes. Option one: you focus on the mistakes and have a hard time to brush over them, and then pretend that everything is normal and under control. Option two: you recognize the mistakes, but you still hold on them along the way. Option three: you admit that you’ve made mistakes, focus on the new possibilities in the future, and move on.

Now, you see, that this is actually a miniature of our life-stories? Sadly, I’ve met many good Catholics who opt for number one while dealing with their mistakes. Fewer take number two, and not so many are willingly take number three. Why so? Because in a sense many of us like to feel like heroes or heroines while focusing on the mistakes. Many of us enjoy performing on the life-stage and tell the whole world that we are just victims and that we still desperately wrestle with the mistakes done to us.

We all make mistakes. The difference is, some make silly corrections, while some make smart ones. Whatever you choose, it will determine your life story after the mistakes.

Sunday, June 28, 2009

"MYSTERIUM FIDEI"

(Personal Spiritual Diary Series - Sun, 28.06.09)

By David Sutedja

I just attended a relative wedding. It was somewhere in downtown Jakarta. I know this guy, he’s my far away relative. This isn’t his first marriage. This is his second marriage. His first wife passed away because of cancer. He has a son in the age of primary school. Wedding supposes to be a wonderful event. Yes, indeed. But one way of another, I kept thinking of his first wife. I worked with her before for couple of years.

What was in my thought, a kind of concept that really full awaken my conscience that nothing in this world remains eternal. I kept looking people around me. My mother was there. She isn’t remain with me forever too, my wife too. I came home with bundles of impressions. Lucky for me, it’s still holiday.

I have a habit. I like to talk in prayer for hours. I can’t do this except in certain period like holiday. That’s why I don’t like traveling during holiday. My wife should understand this very well ( this isn’t easy for the first period of my marriage) but now she realizes a better opinion of this. ‘Action speaks stronger than merely words’.

Praying for everyone just like talking. I have a best moment of prayer. When I was in Japan, I have a roommate, he’s a muslim. He liked to wake up midnight and had ‘sholat’. Once, I asked him and he explained to me that it’s sholat tahajud, It must be done at midnight. I didn’t know he just joked or what, but he explained that the line to connect between God and us, at midnight, free of any traffic lights.

Well, I began practicing midnight prayer shortly after that. But later, I found out it’s not about free of traffic lights. You know, I stayed in 3rd floor building in Japan, that my mess. When we went up, it’s an open area of roof and you could see the view of Japan. It’s beautiful. I’d like to go up and prayed there at midnight ( one night, somewhow, somebody accidentally locked the door and caused me to be there till morning) . For me, the deep feeling between God and you can be created during midnight prayer. It’s really deep, till you may have that kind of time distortion. You don’t realize it had been hours. The sweetness is unchangeable! It’s just there’s no boundaries between you and Him.

Saturday, June 27, 2009

TEOLOGI PENYANGKALAN DIRI

Dalam abad ke-21 yang lalu dan berlanjut sampai dengan abad ini, kita menyaksikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang luar biasa. Banyak aspek kehidupan manusia yang semakin dipermudah oleh teknologi. Secara khusus, alat-alat elektronik silih-berganti ditemukan untuk membantu manusia. Sebut saja beberapa: mesin cuci, microwave, mesin penghisap debu, kendaraan bermotor, komputer, dan lain-lain. Banyak lagi yang diciptakan bukan hanya untuk membantu, tetapi juga untuk memberikan hiburan bagi manusia, seperti media-media komunikasi elektronik (televisi, radio, internet, telepon), AC, film, dan sebagainya.

Barang-barang yang disebut di atas dan juga barang-barang duniawi lainnya sebenarnya bersifat netral. Artinya, barang-barang itu dari dirinya sendiri tidak bisa dibilang baik atau buruk. Menjadi buruk kalau berdampak buruk bagi hubungan manusia dengan Allah; menjadi baik kalau membuat manusia semakin dekat dengan Allah. Namun, kenyataan yang sering terjadi dewasa ini adalah yang buruk. Menurut Mother Angelica, seorang suster perintis dan pendiri stasiun televisi EWTN (Eternal Word Television Network) di Amerika Serikat, manusia masa kini seumpama anak-anak yang sedang bermain. Mereka bermain hanya untuk mencari kesenangan. Setelah kesenangan itu lewat, mereka beralih ke permainan lain untuk mencari kesenangan selanjutnya. Program-program cinta-diri dan memanjakan diri begitu umum disebarkan. Bahkan ada penceramah-penceramah yang khusus mewartakan 'kabar sukacita' ini, "Cintailah dirimu" atau "Engkau pantas mendapatkannya" menjadi slogan hidup banyak manusia masa kini.

Mungkin Anda bertanya, bukankah Yesus memerintahkan kita untuk mencintai saudara kita seperti diri kita sendiri (bdk. Mat. 22:39; Rm. 13:9)? Benar, tetapi tidak ada satu pun di dalam Kitab Suci tertulis "cintailah dirimu" atau yang senada dengan itu. Sebaliknya, berkali-kali Yesus menegaskan, supaya kita menyangkal diri kita sendiri (lih. Mat. 16:24; Mrk. 8:34; Luk. 9:23). Bahkan di tempat lain Dia mengatakan bahwa barangsiapa tidak membenci nyawa sendiri tidak layak menjadi murid-Nya (lih. Luk. 14:26).

Kalau demikian adanya, apakah maksud Tuhan supaya kita mencintai sesama kita seperti diri sendiri? Yesus bersabda, "...sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka." (Luk. 6:31) Inilah jawabannya: apa yang kaupandang baik untuk dirimu sendiri, lakukanlah itu untuk orang lain. Jika kamu ingin dicintai, cintailah. Jika kamu ingin dihormati, hormatilah. Jika kamu ingin ditolong, tolonglah. Apa pun yang kauharapkan dari orang lain, lakukanlah terlebih dahulu kepada orang lain. Tidak kurang daripada itu! Dalam arti ini, mencintai orang lain pun tidak terlepas dari aspek penyangkalan diri dan pengorbanan diri demi kebaikan orang lain.

Perlunya Penyangkalan Diri

Kebanyakan orang mengira bahwa mereka yang telah lama menjalani hidup saleh tidak perlu lagi menyangkal diri, seolah-olah mereka itu telah mampu mengalahkan segala godaan dengan sendirinya. Kenyataannya tidaklah demikian. Santo Paulus dengan hidup rohani dan pelayanan yang sedemikian mengagumkan tetap harus selalu berkata, "Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak." (1 Kor. 9:27). Santa Margaret dari Cortona, di masa tuanya dan dalam kesucian yang terpancar nyata, tidak pernah melupakan penyangkalan diri sendiri dengan berkata, "Antara aku dan tubuhku harus ada perjuangan sampai mati…"

Jika kita sungguh-sungguh menyadari siapa saja musuh yang harus kita hadapi, pasti kita tidak akan kehilangan kewaspadaan kita. Musuh-musuh kita yang utama ada tiga, yakni dunia, setan, dan daging (diri sendiri). Menurut Santo Yohanes dari Salib, dari ketiga musuh jiwa tersebut, daging adalah musuh yang paling sulit untuk dikalahkan. Paulus sangat menyadari hal ini, seperti yang kita baca dalam Rm. 7:21-26. Menghadapi kelemahan insaninya, dengan sendirinya manusia tidak berdaya. Namun, harus segera ditambahkan bahwa bagaimana pun kelemahan manusia bisa diatasi. Bagaimana?

a. Oleh rahmat Yesus Kristus dalam kuasa Roh Kudus-Nya (bdk. Rm. 7:25).

b. Dengan keterbukaan kita terhadap rahmat tersebut. Kita harus mau dengan tegas hidup dalam rahmat Tuhan dan dengan demikian kita dapat menjauhi dosa. Di sinilah letak perlunya penyangkalan diri, sebagai latihan untuk semakin terbuka terhadap bimbingan dan pimpinan Roh Kudus.

Jadi, penyangkalan diri sungguh-sungguh perlu karena sebagai manusia kita memerlukan latihan untuk mengalahkan diri sendiri dan semakin membuka diri kepada rahmat Tuhan. Banyak orang-orang Kristen yang semula sangat saleh menjadi lemah dan akhirnya bahkan kehilangan imannya, sebab melalaikan yang satu ini. Kata Santo Petrus yang mungkin terdengar kasar namun memang tepat pada sasarannya, mereka ini seumpama, “Anjing kembali lagi ke muntahnya, dan babi yang mandi kembali lagi ke kubangannya.” (2 Ptr. 2:22). Hendaklah kita sungguh-sungguh memperhatikan hal ini.

Motivasi Penyangkalan Diri

Secara umum, ada tiga motivasi seseorang dalam melakukan penyangkalan diri:

a. Motivasi-motivasi duniawi

Dengan motivasi-motivasi ini sebenarnya seseorang tidak melakukan penyangkalan diri kristiani. Orang dapat saja melakukan puasa untuk alasan diet atau yang lebih parah, supaya dianggap saleh. Orang-orang seperti ini “telah mendapat upahnya di dunia ini” (lih. Mat 6:1-2).

b. Untuk memohon sesuatu dari Tuhan

Tindakan penyangkalan diri yang menyertai suatu ujud permohonan, cukup kompleks untuk dijelaskan sebab sangat mengandaikan permohonan apa yang diajukan. Namun, sebenarnya yang perlu diperhatikan di sini hanyalah disposisi batin dari yang memohon. Ada orang-orang, yang secara tidak sadar menganggap tindakan mereka sebagai suatu bentuk ‘sogokan’ kepada Tuhan agar keinginan mereka dipenuhi. Disposisi batin seperti inilah yang keliru. Tuhan tidak bisa dan tidak boleh disogok. Walaupun demikian, orang dapat melakukan penyangkalan diri, seperti puasa, pantang, dan lain-lain, supaya permohonannya dikabulkan Tuhan. Dalam hal ini penyangkalan itu merupakan pernyataan keseriusan dan iman mereka. Biarpun itu bukan yang paling luhur, namun baik juga, sebab kita harus pergi kepada Tuhan secara bertahap. Kalaupun suatu permohonan dikabulkan, hal tersebut tidaklah disebabkan oleh jasa dari kita. Disposisi batin yang tepat adalah disposisi batin seperti Kristus, yang melakukan segala pengorbanan-Nya tanpa memperhatikan kepentingan diri sendiri, melainkan semata demi orang lain. Dan semua dilakukan-Nya dalam kegelapan iman sekaligus kepasrahan yang luar biasa dari seorang anak.

c. Untuk menyenangkan hati Tuhan

Motivasi terakhir ini berkaitan erat dengan motivasi yang kedua sebab perintah cinta kepada Tuhan sama dengan perintah cinta kepada sesama (lih. Mat. 22:39). Cinta yang terbesar adalah cinta dari seseorang yang mau mengorbankan diri demi sahabat-sahabat-Nya (bdk. Yoh. 15:13) dan cinta semacam ini hanya bisa dilakukan dalam cinta kepada Tuhan, yang menghendaki kebaikan bagi setiap manusia. Penyangkalan diri untuk menyenangkan hati Tuhan merupakan penyangkalan diri yang terluhur, yang sama sekali tidak mementingkan diri sendiri, melainkan hanya kehendak Tuhan semata. “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu daripada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” (Mat. 26:39) Inilah motivasi yang paling luhur, namun biasanya orang tidak dapat sekaligus sampai pada motivasi yang demikian itu, melainkan secara bertahap.

Bentuk-bentuk Penyangkalan Diri

Secara manusiawi kita cenderung untuk mencari yang nikmat-nikmat dan menghindari yang membawa kesakitan atau kesedihan bagi kita. Dari kecenderungan dasar ini, secara sederhana kita dapat merumuskan penyangkalan diri sebagai tindakan memilih kesakitan dan menghindari kenikmatan demi Tuhan dan sesama. Umumnya, orang mengartikan penyangkalan diri sebagai suatu bentuk pantang atau puasa, tidak melakukan sesuatu yang menyenangkan secara lahiriah. Padahal, penyangkalan diri tidak hanya itu.

Penyangkalan diri tidak hanya soal tidak melakukan yang menyenangkan saja, melainkan dapat juga berupa usaha-usaha yang sangat positif, seperti memandikan orang yang sakit kusta atau berbuat baik kepada mereka yang menyakiti hati kita. Kita menyangkal diri kita dengan mengalahkan rasa enggan atau jijik demi cinta kepada Tuhan dan sesama. Dengan demikian, kesempatan untuk menyangkal diri menjadi sangat banyak dalam hidup sehari-hari. Seorang gadis yang baru pulang dari sekolah dan melihat ibunya sedang sibuk mencuci baju bisa menyangkal dirinya, mengalahkan rasa enggan dan capeknya, dengan segera membantu ibunya. Seorang anggota KTM (Komunitas Tritunggal Mahakudus, suatu kelompok awam) bisa menyangkal diri dengan mengalahkan keinginannya untuk istirahat dengan menyediakan waktu sebentar untuk berdoa atau membaca Kitab Suci. Seorang pegawai kantor dengan tersenyum kepada teman sekantornya yang telah memfitnahnya, telah melakukan perbuatan mulia menyangkal rasa perseteruan dalam dirinya.

Jadi ada dua bentuk penyangkalan diri:

a. Penyangkalan diri pasif, dalam arti menolak untuk melakukan sesuatu yang menguntungkan diri sendiri demi kebaikan yang lebih tinggi. Misalnya, tidak makan daging selama satu minggu demi keselamatan jiwa-jiwa di api penyucian.

b. Penyangkalan diri aktif, yakni dengan sadar mau melakukan suatu pengorbanan demi cinta kepada Tuhan dan sesama. Misalnya, lebih memilih untuk menemani kakek yang kesepian daripada nonton bersama teman-teman, mengusahakan hadiah ulang tahun yang terbaik bagi orang yang paling tidak kita sukai, dan sebagainya.

Dan ada dua pula sifat penyangkalan diri:

a. Bersifat lahiriah, contohnya: pantang daging, membantu pekerjaan orang lain, memberi sedekah kepada orang miskin, dan lain-lain.

b. Bersifat batiniah, yakni penyangkalan diri yang lebih mendalam daripada sekedar mengorbankan barang-barang atau tenaga fisik kita, tetapi juga mengorbankan kehendak dan keinginan pribadi. Jika penyangkalan yang bersifat lahiriah kadang-kadang masih memberi rasa puas karena telah membantu orang lain, penyangkalan diri batiniah seringkali tidak memberi kepuasan batin bahkan umumnya menyebabkan ketersiksaan dan kegelapan batin. Namun, tidak berarti bahwa orang yang melakukan ini akan kehilangan kebahagiaannya. Menderita tidak berarti harus kehilangan kebahagiaan. Kebahagiaan tidak harus memberikan perasaan puas. Kebahagiaan sejati terletak dalam pengorbanan demi mereka yang dikasihi. Meskipun sifatnya batiniah, penyangkalan diri batiniah tetap diwujudkan dalam tindakan fisik, contohnya: merelakan barang kesayangan, tersenyum kepada mereka yang tidak disukai, menahan diri untuk tidak marah, bersikap lemah lembut meskipun difitnah dan disakiti, mendoakan musuh, dan sebagainya. Seringkali orang menganggap penyangkalan diri semacam ini adalah semacam sikap munafik. Pandangan ini sama sekali tidak benar, karena motivasi penyangkalan diri ini adalah untuk mengasihi Tuhan, dan bukan yang lain. Suatu tindakan menjadi munafik apabila motivasinya didasarkan atas kepentingan diri sendiri.

Sebagai latihan penyangkalan diri baiklah kita melihat daftar dalam Gal. 5:16-26:

a. Yang harus kita hindari adalah

◦ percabulan,

◦ kecemaran,

◦ hawa nafsu,

◦ penyembahan berhala,

◦ sihir,

◦ perseteruan,

◦ perselisihan,

◦ iri hati,

◦ amarah,

◦ kepentingan diri sendiri,

◦ percideraan,

◦ roh pemecah,

◦ kedengkian,

◦ kemabukan,

◦ pesta pora,

◦ dan sebagainya (silakan tambah sendiri).



b. Yang harus kita usahakan adalah:



◦ kasih,

◦ sukacita,

◦ damai sejahtera,

◦ kesabaran,

◦ kemurahan,

◦ kebaikan,

◦ kesetiaan,

◦ kelemahlembutan, dan

◦ penguasaan diri.



LATIHAN

1. Apakah engkau memang menganggap daging sebagai musuhmu? Mengapa?

2. Coba engkau terangkan apa itu penyangkalan diri dengan kata-katamu sendiri.

3. Sebutkan 3 (tiga) saja perbuatan daging yang sungguh-sungguh telah engkau hindari selama satu minggu ini:

a. __________________ b. __________________ c. __________________

4. Demikian juga, sebutkan 3 (tiga) perbuatan roh yang telah engkau usahakan dalam minggu terakhir ini:

a. __________________ b. __________________ c. __________________


Ternyata untuk menyebutkan tiga saja perbuatan daging yang telah kita hindari atau perbuatan roh yang telah kita lakukan seringkali masih sangat sukar. Karena itu, jangan pernah berpuas diri dan lalai. Waspada setiap saat dan kejarlah kesempurnaan! “Hendaknya engkau sempurna seperti Bapamu yang di surga sempurna adanya.” (Mat. 5:48)

Thursday, June 11, 2009

APA TULISAN YESUS DI TANAH?



St. Nikolai Velimirovich (1880-1956) seorang Uskup dan teolog bertalenta yang memadukan pengetahuan tingkat tinggi dengan kesederhanaan jiwa yang tenggelam dalam kasih seperti Kristus dan kerendahan hati, kerap dijuluki Krisostomos Baru karena kotbahnya yang inspiratif sebagai bapa Rohani rakyat Serbia, ia senantiasa mendorong mereka untuk memenuhi panggilannya sebagai sebuah bangsa yang melayani Kristus. Selama Perang Dunia II, ia dipenjara dalam kamp konsentrasi Dachau. Kemudian ia melayani sebagai pimpinan gereja di Amerika, tempatnya wafat.


Suatu ketika, Tuhan Yang Mahakasih duduk di depan Kenisah Yerusalem, memberi makan hati yang lapar dengan ajaran-Nya yang manis. Dan seluruh rakyat datang kepada-Nya (Yoh 8:2). Tuhan bicara pada orang banyak tentang kebahagiaan kekal, tentang sukacita tanpa akhir bagi orang benar di tanah air abadi dalam Surga. Dan mereka bergembira dalam sabda suci-Nya. Kepahitan banyak jiwa yang kecewa dan permusuhan para pendosa lenyap, laksana salju di bawah sinar cemerlang surga. Siapa yang tahu berapa lama adegan ajaib dari damai serta kasih antara Surga dan bumi ini akan berlanjut, bukankah sesuatu yang tak terduga sekarang berlangsung. Sang Mesias yang mencintai manusia tak pemah letih mengajar orang banyak, dan kawanan saleh tak pemah jemu mendengar hikmat yang demikian menyembuhkan dan ajaib.

Namun, sesuatu yang menakutkan, liar, dan kejam terjadi. Kali ini seperti yang sudah-sudah bersumber dari para ahli Taurat dan orang Parisi. Seperti kita semua tahu, para ahli Taurat dan Parisi kelihatan memelihara hukum, tapi sebetulnya melanggarnya. Tuhan kita sering menghardik mereka. Misalnya Ia berkata, Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik !... di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan (Mat 23:27,28).

Apa yang telah mereka perbuat ? Mungkinkah mereka menangkap pemimpin komplotan bandit ? Bukan itu. Mereka membawa paksa seorang perempuan malang berdosa, yang kedapatan berbuat zinah; ia diseret ke muka dengan seloroh kemenangan dan teriakan kasar memekakkan telinga. Sesudah mendorongnya ke hadapan Kristus, mereka berseru, Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah. Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal ini (Yoh 8:4-5; bdk. 1m 20:10, Ul 22:22) ? .

Perkara diajukan dengan cara ini oleh para pendosa, yang mencela dosa-dosa orang lain dan mahir menutupi kekurangan mereka sendiri. Kerumunan orang yang ketakutan menyingkir, memberi jalan bagi sesepuh mereka. Beberapa kabur karena ngeri, sebab Tuhan baru saja bicara tentang hidup dan kebahagiaan, sementara mulut-mulut nyaring ini menuntut kematian.

Pantaslah untuk bertanya mengapa para tetua dan penjaga hukum tidak merajam sendiri si perempuan berdosa ? Kenapa mereka membawanya pada Yesus ? Hukum Musa memberi mereka wewenang untuk merajamnya. Tak seorang pun akan keberatan. Siapa yang protes di zaman kita, ketika hukuman mati dijatuhkan atas seorang kriminal ? Mengapa para sesepuh Yahudi membawa si perempuan berdosa pada Tuhan? Bukan untuk memperoleh keringanan vonis atau grasi dari-Nya ! Tak satu pun hal tersebut ! Mereka menyeretnya berikut rencana jahat yang sudah disiapkan untuk menjebak Tuhan dalam ucapan melawan hukum, sehingga mereka bisa turut mendakwa-Nya. Mereka harap sekali pukul dua nyawa tersingkir, nyawa si perempuan dan Kristus. Apakah pendapat-Mu?

Mengapa mereka menanyai Dia saat hukum Musa sudah jelas ? Sang Penginjil menerangkan niat mereka dalam kalimat berikut, Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya (Yoh 8:6). Mereka sekali mengangkat tangan melawan Dia sebelum merajam-Nya, tapi Ia menghindari mereka. Sekarang mereka punya kesempatan memenuhi hasratnya. Dan terjadi di sana, di muka Bait Salomo, tempat loh perintah tersimpan dalam Tabut Perjanjian, di sanalah Dia, Kristus, harus mengucapkan sesuatu menentang hukum Musa; lalu tujuan mereka tercapai. Mereka akan merajam sampai mati baik Kristus maupun si perempuan pendosa. Mereka jauh lebih ingin merajam Kristus daripada si perempuan, seperti akan mereka perbuat dengan hasrat lebih besar saat meminta Pilatus membebaskan penyamun Barabas menggantikan Kristus.

Semua yang hadir menduga satu dari dua hal ini terjadi; Tuhan dalam belas kasihNya akan membebaskan si perempuan berdosa dan karena itu melanggar hukum, atau Dia akan menjunjung hukum dengan berkata, Lakukan seperti tertulis dalam hukum , dan karena itu mengingkari perintah-Nya sendiri mengenai belas kasihan dan kebaikan penuh kasih. Dalam hal pertama Ia akan divonis mati; dan untuk yang kedua, Ia akan jadi bahan tertawaan dan cemooh.

Saat para penjebak mengajukan pertanyaan, Apakah pendapat-Mu? , sebuah keheningan mati terjadi, kesunyian di antara kerumunan orang yang berkumpul; kesunyian di antara para hakim atas si perempuan pendosa; kesunyian dan nafas tertahan dalam jiwa si perempuan terdakwa. Keheningan besar muncul dalam sirkus besar ketika para pawang hewan buas membawa masuk singa­-singa dan harimau jinak dan menyuruh mereka memperagakan berbagai gerak, mengambil beragam posisi serta melakukan atraksi atas perintah pawang. Tapi yang kita lihat di hadapan bukan pawang binatang buas, melainkan Pawang manusia, sebuah tugas yang jauh lebih sulit daripada yang pertama. Sebab lebih sukar menjinakkan mereka yang liar karena dosa, daripada menjinakkan yang secara alami liar. Apakah pendapat-Mu? sekali lagi mereka memaksa-Nya, terbakar kedengkian, wajah mereka menegang.

Kemudian Legislator moralitas dan tingkah laku manusia membungkuk lalu menulis dengan jari-jari-Nya di tanah, seakan-akan Ia tidak mendengarkan mereka (Yoh 8:6). Apa yang Tuhan tulis dalam debu? Sang Penginjil diam mengenai soal ini dan tak mencatatnya. Terlalu jijik dan keji untuk ditulis dalam Kitab Sukacita. Namun, hal tersebut tersimpan dalam Tradisi Orthodox Suci kita, dan ia mengerikan. Tuhan menulis sesuatu yang tak terduga dan mengejutkan para tetua, penuduh si perempuan pendosa. Dengan jari Ia menyingkap kefasikan rahasia mereka. Sebab siapa yang menunjukkan dosa orang lain merupakan pakar dalam menyembunyikan dosanya sendiri. Tapi sia-sia mencoba menyembunyikan apa pun dari mata Dia Yang Maha Melihat.


M (eshulam) mencuri perbendaharaan Bait Suci, tulis jari Tuhan di atas debu.

A (sher)berzinah dengan istri saudaranya;

S (halum) bersumpah palsu;

E (led) memukul ayah sendiri;

A (marikh) bersemburit;

Y (oel) menyembah berhala.


Demikianlah satu pernyataan menyusul yang lain ditulis pada debu oleh jari mempesona Sang Hakim yang adil. Dan mereka yang padanya kata-kata ini ditujukan, menunduk, membaca apa yang tertulis dengan kengerian tak terlukiskan. Mereka gemetar ketakutan, dan tak berani menatap satu sama lain. Mereka tak berpikir lagi tentang si perempuan berdosa. Mereka hanya berpikir tentang dirinya dan ajal mereka sendiri, yang tertulis di atas tanah. Tak satu pun lidah mampu bertutur, untuk mengucap pertanyaan menyusahkan dan jahat itu, Apakah pendapat-Mu? Tuhan tak bicara apa pun. Yang teramat cemar cuma layak ditulis pada tanah kotor. Alasan lain mengapa Tuhan menulis di atas tanah bahkan lebih mulia dan mengagumkan. Yang tertulis pada debu mudah terhapus dan disingkirkan. Kristus tak menghendaki dosa mereka diketahui semua orang. Kalau la inginkan hal itu, akan diumumkan-Nya di muka semua orang, akan dituntut-Nya mereka dan dibuat-Nya mereka dirajam sesuai hukum. Tapi Dia, Sang Anak Domba Allah tanpa cela, tak memikirkan pembalasan atau kematian bagi mereka yang merancang bagi­Nya seribu kematian, yang menghendaki ajal-Nya melebihi hidup kekal untuk mereka. Tuhan hanya mau memperbaiki mereka, membuat mereka berpikir tentang dirinya dan dosa-dosa pribadi. la hendak mengingatkan mereka bahwa sementara menanggung beban pelanggaran sendiri, seharusnya mereka tidak menjadi hakim kejam atas pelanggaran orang lain. Ini saja yang Tuhan inginkan. Dan setelah hal tersebut usai, debu kembali tersapu, dan apa yang tertulis lenyap.

Sesudahnya Tuhan kita yang mulia bangun dan berkata ramah pada mereka, Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu (Yoh 8:7). Ini seperti seorang yang mengambil senapan dari musuhnya lalu berkata, Sekarang tembak !”. Para hakim congkak atas si perempuan berdosa sekarang berdiri tanpa senjata, layaknya pesakitan di hadapan Sang Hakim, bungkam dan tak bergeming di tanah. Tapi Sang Juruselamat yang murah hati, membungkuk lagi dan menulis di tanah (Yoh 8: 8). Apa yang ditulis-Nya kali ini? Mungkin saja pelanggaran rahasia yang lain, supaya mereka tidak buka mulut untuk waktu lama. Atau bisa jadi la menulis orang macam apakah seharusnya para sesepuh dan pemimpin rakyat. lni tak penting kita ketahui. Yang paling pokok di sini ialah lewat tulisan-Nya di tanah la meraih tiga hasil: pertama, la menghancurkan dan meniadakan badai yang dimunculkan para tetua Yahudi terhadap-Nya; kedua, la membangunkan nurani mati dalam jiwa mereka yang membatu walau cuma sejenak; dan ketiga, la menyelamatkan si perempuan berdosa dari kematian. lni jelas dari perkataan lnjil, Tetapi setelah mereka [para sesepuh] mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggal lah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya (Yoh 8:9).

Pelataran Kenisah mendadak kosong. Tak seorang pun tinggal, kecuali mereka berdua yang divonis mati para tetua, si perempuan berdosa dari Yang Tanpa Dosa. Si perempuan berdiri, sementara la tetap menunduk ke tanah. Keheningan mendalam berkuasa. Tiba-tiba Tuhan bangkit kembali menatap sekeliling, dan saat melihat tak ada seorang pun kecuali si perempuan, Ia berkata padanya, Hai perempuan, dimanakah mereka pendakwamu? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau? Tuhan tahu tak seorang pun menghukumnya; tapi melalui pertanyaan ini Ia berharap memberinya keyakinan, agar dia bisa mendengar dan paham lebih baik apa yang akan Ia sampaikan padanya. Ia bertindak seperti dokter mahir, yang mula-mula menyemangati pasiennya lantas memberinya obat. Tidak adakah seorang yang menghukum engkau? Si perempuan kembali bisa bicara dan ia menjawab, Tidak ada, Tuhan. Perkataan ini terucap oleh makhluk malang, yang sebentar tadi tak punya harapan untuk pernah bicara kata lain, seorang ciptaan yang seakan amat merasakan helaan nafas sukacita sejati pertama kali dalam hidupnya.

Akhirnya, Tuhan Yang Baik berkata pada si perempuan, Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang (Yoh 8: 11). Saat serigala melepas mangsanya, si gembala tentu tak menginginkan pula kematian dombanya. Namun, penting untuk dicermati bahwa sikap tak menghakimi Kristus bermakna lebih daripada sikap tak menghakimi manusia. Waktu orang tak menghakimimu karena dosamu, artinya mereka tak menjatuhkan hukuman bagi dosa, tetapi membiarkan dosa itu bersama dan di dalammu. Namun, ketika Allah tidak menghakimi, ini berarti Ia mengampuni dosamu, menariknya keluar darimu seperti [membersihkan] nanah dan membuat jiwamu bersih. Karena ini perkataan, Aku pun tidak menghukum engkau. bermakna sama seperti, Dosamu sudah diampuni; pergilah putri-Ku, dan jangan berdosa lagi.

Sungguh sukacita tak terperi! Sukacita dari kebenaran! Sebab Tuhan menyibak kebenaran pada mereka yang terhilang. Sungguh sukacita dalam kebenaran! Karena Tuhan menciptakan keadilan. Sukacita dalam belas kasihan! Karena Tuhan menunjukkan kemurahan. Sukacita dalam hidup! Karena Tuhan menjaga kehidupan. lnilah Injil Kristus, artinya Kabar Baik. Inilah Warta Penuh Sukacita, Ajaran Sukacita. Lnilah selembar halaman dari Kitab Sukacita.

Wednesday, June 10, 2009

KUASA ROH KUDUS


"Pada waktu itu berkuasalah Roh TUHAN atas dia, sehingga singa itu dicabiknya seperti orang mencabik anak kambing--tanpa apa-apa di tangannya..."

Ada banyak orang yang merasa tidak mampu untuk mulai berusaha dengan berbagai macam alasan. Tidak punya modal misalnya, itu menjadi alasan yang paling sering saya dengar. Tidak punya keahlian khusus, pendidikan rendah, tidak ada koneksi dan sebagainya. Lucunya, banyak diantara mereka hanya tenggelam dalam ketidakmampuan tanpa melakukan apa-apa, dan terus menyalahkan kondisi mereka. Banyak diantara kita yang lupa bahwa tanpa Tuhan kita bukanlah apa-apa. Memiliki keahlian tentu saja bisa menjadi alat yang sangat berguna untuk bekerja. Jika anda beruntung memiliki modal tentu saja bisa sangat membantu untuk memulai sebuah usaha. Namun di atas itu semua, jangan lupa bahwa kita butuh Roh Tuhan dalam hidup kita. Roh Tuhan akan membimbing kita, memampukan kita untuk bekerja bahkan lebih dari apa yang kita kira. Anda akan terheran-heran apabila kuasa Roh Kudus bekerja. Saya berulangkali sudah membuktikannya sendiri.

Pagi ini saya memulai hari dengan ayat yang saya jadikan ayat bacaan hari ini. Simson adalah manusia seperti halnya kita. Tapi sungguh luar biasa ketika Alkitab mencatat bahwa Simson mampu mencabik-cabik seekor singa, dan perhatikan: tanpa apa-apa ditangannya. Simson tidak dikatakan memiliki golok, atau senjata lainnya untuk melawan singa. Dia melakukan itu dengan tangan kosong. Bagaimana Simson mampu melakukan itu? Itu terjadi karena Roh TUHAN berkuasa atas dia. Tanpa Roh Tuhan, mungkin Simson akan berusaha lari terbirit-birit menyelamatkan diri, atau mungkin pasrah dirobek-robek oleh singa. Tapi tidak demikian, karena ketika Roh Tuhan berkuasa atas hidupnya, dia mampu melakukan pekerjaan yang begitu mustahil sekalipun. Dalam kisah lainnya, kita melihat betapa Mikha menyadari bahwa kemampuannya untuk menyampaikan pesan Tuhan bukanlah semata-mata karena kehebatannya, namun itu semua bisa terjadi karena Roh Tuhan. "Tetapi aku ini penuh dengan kekuatan, dengan Roh TUHAN, dengan keadilan dan keperkasaan, untuk memberitakan kepada Yakub pelanggarannya dan kepada Israel dosanya." (Mikha 3:8). Ada kuasa luar biasa dalam Roh Kudus yang sanggup memampukan kita melakukan perkara-perkara yang besar.

Kita harus mulai menyadari bahwa dalam hidup ini kita butuh kehadiran Roh Kudus lebih dari kebutuhan kita akan modal, skill dan lain-lain. Itu sebabnya dalam Galatia 5:25 jelas tertulis bahwa kita harus hidup dan dipimpin oleh Roh. "Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh." Kita bisa belajar dari kisah Simson berhadapan dengan singa diatas, bahwa Roh Tuhan mampu memungkinkan hal-hal luar biasa terjadi dalam hidup kita, meski kita tidak punya apa-apa. Lebih dari itu, hidup yang dipimpin oleh Roh Allah akan menjadikan kita sebagai anak Allah. "Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah. Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: "ya Abba, ya Bapa!" (Roma 8:14-15). Roh Allah bukanlah roh perbudakan yang membuat kita senantiasa takut, bimbang dan ragu, terperangkap dalam segala kelemahan dan kekurangan kita, tapi Roh Allah adalah Roh yang memerdekakan. "Sebab Tuhan adalah Roh; dan di mana ada Roh Allah, di situ ada kemerdekaan." (2 Korintus 3:17).

Orang yang hidup dengan dipimpin oleh Roh Kudus adalah orang yang mematikan segala perbuatan kedagingan dalam hidupnya. "hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging. Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging--karena keduanya bertentangan--sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki." (Galatia 5:16-17). Agar kita bisa hidup dipimpin oleh Roh Kudus, hendaknya kita mampu mematikan berbagai perbuatan kedagingan seperti percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya seperti yang tertulis dalam Galatia 5:19-21.


Dalam hidup kita, seperti halnya Simson kita pun berhadapan dengan "singa-singa ganas", yaitu masalah, kesulitan, pergumulan, masalah keuangan, sakit penyakit dan penderitaan lainnya, yang setiap saat bisa merobek-robek kita. Tapi dengan kuasa Roh Allah yang memerdekakan, kita sanggup merdeka dari segala beban masalah yang menghimpit kita. Mari kita buka hati kita hari ini kepada Roh Kudus, hiduplah penuh dalam pimpinanNya. Betapapun kecilnya kita, dalam Roh Tuhan kita dapat melakukan perkara-perkara besar! Bahkan perkara-perkara yang menurut logika anda dan manusia lainnya adalah mustahil. Kita manusia yang terbatas, tapi Tuhan yang kita sembah tidak terbatas. Hidup dalam Roh Tuhan akan memampukan kita melakukan hal-hal luar biasa bahkan di luar batas kemampuan kita.

Manusia yang "kecil" sanggup melakukan perkara besar dengan kuasa Roh Kudus

Wednesday, June 3, 2009

TEOLOGI APOLOGETIKA : ABORSI & EUTANASIA


Aborsi

Perdebatan tentang Aborsi tidak pernah berakhir. Ada dua kelompok yang bertikai, yaitu kelompok “ pro choise” dan kelompok “pro live.” Kelompok pro choise menyetujui legalisasi aborsi. Sedikitnya ada dua alasan yang mereka kemukakan yaitu bahwa manusia adalah mahluk bebas yang mengatur dirinya sendiri termasuk mengenai tindakan abortif. Alasan kedua berkaitan dengan awal kehidupan manusia. Kapan manusia disebut manusia? Sedangkan kelompok pro live menentang legalisasi aborsi. Kelompok ini melihat bahwa manusia disebut manusia ketika ia masih berada dalam kandungan ibunya, ketika terjadi pertemuan sel telur dan sperma. Karena itu kelompok ini berusaha untuk memperjuangkan kehidupan manusia terutama janin.

Dalam dokumen yang dikeluarkan oleh Kongregasi Ajaran Iman, 2005 mengatakan:
“Tradisi Gereja selalu mengajarkan bahwa hidup manusia harus dilindungi sejak awal maupun dalam aneka tahap proses perkembangannya. Dalam Didache (bentuk pengajaran yang bukan Injil yang berasal dari abad pertama) dikatakan: jangan membunuh buah rahimmu dengan aborsi dan jangan membunuh anakmu yang sudah lahir” (art 5).

Jadi tradisi larangan aborsi sudah ada sejak abad-abad pertama, bahkan sudah dikenal pada Jaman filsaat Yunani kuno. Salah satu isi sumpah Hippokrates (Filsuf Yunani kuno) yang terkenal dengan sumpah kedokteran adalah larangan untuk melakukan aborsi bagi para dokter.

Menurut Santo Thomas, aborsi merupakan dosa berat, karena bertentangan dengan hukum kodrati. Maka Konsili Vatikan II menolak keras aborsi: “Kehidupan harus dilindungi dengan amat seksama sejak pembuahan, aborsi dan pembunuhan anak adalah kejahatan yang durhaka (art 7). Hak pertama bagi manusia adalah hak hidup. Kehidupan itu harus dilindungi. Maka dengan pembuahan sel telur mulailah hidup baru, yang bukan hidup ayah dan bukan hidup bunda, melainkan hidup makluk baru, yang tumbuh sendiri. Tidak pernah ia menjadi manusia, jikalau ia tidak sudah manusia sejak awal (art 12).

Paus Yohanes Paulus II dalam Evangelium Vitae mengatakan: “Di antara semua kejahatan yang dapat dilakukan manusia melawan kehidupan, aborsi mempunyai ciri-ciri yang membuatnya menjadi amat berat dan durhaka. Yang dibunuh di sini ialah manusia, yang baru memulai kehidupan, artinya mutlak sama sekali tidak bersalah: hidup itu tidak pernah dapat dianggap sebagai penyerangan, apalagi penyerangan yang tidak adil! Ia lemah, tidak dapat membela diri sendiri, sehingga tanpa sedikit pun perlindungan, seperti nyata dari jeritan tangis anak yang baru lahir. Ia sepenuhnya diserahkan kepada perlindungan dan perawatan orang yang mengandungnnya. Akan tetapi kadang-kadang justru dialah, ibunya, yang memutuskan kematiannya, mencari aborsi dan melaksanakannya (art 58). Manusia sejak pembuahan harus dihormati dan diperlakukan sebagai pribadi maka sejak itu hak-hak pribadi manusia harus diakui, dan hak pertama yang tidak dapat diganggu gugat ialah hak atas hidup, yang dimiliki setiap manusia tidak bersalah.” Karena itu perintah Allah “jangan membunuh”, juga diterapkan dalam hidup yang belum lahir.

Eutanasia

Aborsi berkaitan dengan awal kehidupan manusia sedangkan Eutanasia berkaitan dengan akhir kehidupan manusia. Kedua-duanya merupakan “budaya maut” (Culture of Dead). Eutanasia secara etimologis berarti kematian tanpa penderitaan, tanpa rasa sakit yang berlebihan. Maka Eutanasia berarti kematian “bahagia.”

Dewasa ini arti eutanasia berkaitan dengan intervensi kedokteran untuk mengurangi rasa sakit penyakit atau pergumulan dengan kematian dan kadang-kadang ada bahaya mengakhiri hidup sebelum waktunya. Akhirnya istilah ini dipakai dalam arti yang lebih sempit yakni “membunuh karena kasihan” dengan maksud mengakhiri rasa sakit yang ekstrem, atau untuk tidak memperpanjang penderitaan anak-anak dengan cacat kelahiran, orang sakit tidak tersembuhkan, orang sakit jiwa, atau orang tua yang secara ekonomis tidak produktif lagi dan membebani keluarga dan masyarakat.

Apa pun artinya, Eutanasia jelas melanggar hukum ilahi, melecehkan martabat pribadi manusia, kejahatan melawan kehidupan dan serangan terhadap umat manusia. Allah adalah pencipta kehidupan maka hanya Dia yang berhak mengakhiri kehidupan ciptaan-Nya. Dalam hal ini manusia tidak mempunyai hak.

Tugas manusia adalah melindungi dan menghormati kehidupan yang telah diciptakan Allah. Orang sakit memerlukan kasih, perhatian, kehangatan, pendekatan manusiawi dan adikodrati yang dapat dan harus diberikan semua orang dekat, orang tua dan anak-anak, dokter dan perawat. Bagaimana kalau pasien sendiri yang meminta untuk dieutanasia? Menurut ajaran Gereja, orang tidak boleh menafsirkan permintaan mendesak orang sakit berat yang meminta kematian sebagai kemauan untuk dieutanasia, karena hampir selalu itu berarti jeritan cemas, minta tolong dan kasih (Eutanasia, hlm.9).

Membahas persoalan Eutanasia Evangelium Vitae diawali dengan menampilkan hak Allah. “Akulah yang membunuh dan menghidupkan.” (Ul. 32:39) Maka melakukan tindakan Eutanasia berarti membuat diri manusia menjadi tuan atas kematian dengan mendatangkannya sebelum waktunya dan dengan demikian mengakhiri kehidupan diri sendiri atau orang lain tanpa penderitaan (Evangelium Vitae, 64).

Eutanasia harus dianggap sebagai belas kasih yang keliru karena belas kasih sejati adalah sikap solider dengan penderitaan sesama dan tidak membunuh orang yang penderitaannya tidak tertahankan. Jalan kasih dan belaskasihan sejati yang diperintahkan kemanusiaan bersama kita dan lebih jelas dengan alasan baru oleh iman kepada Kristus, penebus yang telah wafat dan bangkit. Paulus mengatakan:
“Tidak seorang pun hidup bagi dirinya sendiri, kalau kita hidup, kita hidup bagi Tuhan dan kalau kita mati, kita mati bagi Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan.” (Rm. 14:7-8)

Kepastian mengenai keabadian mendatang dan harapan akan kebangkitan yang dijanjikan menerangi misteri penderitaan dan kematian dan memenuhi kaum beriman dengan daya istimewa, untuk menyerahkan diri kepada rencana Allah (EV, 67).

TEOLOGI APOLOGETIKA : DOSA ASAL

Dosa asal (dosa warisan) adalah dosa yang diwariskan oleh manusia pertama kepada seluruh umat manusia. Ajaran mengenai dosa asal berdasar pada Roma 5:12-21 yang antara lain berbunyi:
“Sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang dan oleh dosa itu juga maut, demikian maut telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berdosa (Rm.12)
“Oleh ketidaktaatan satu orang, semua orang telah menjadi orang berdosa.” (Rm.19)

Di sini manusia digambarkan sebagai satu tubuh yang ikut merasakan nasib nenek moyangnya. Dengan kata lain ada semacam solidaritas di antara umat manusia. Di satu sisi dosa asal berupa hilangnya rahmat persekutuan mesra antara manusia dan Allah yang pernah dinikmati manusia pertama sebelum berdosa. Di pihak lain dosa asal berupa kecenderungan kodrat manusia untuk berbuat dosa. Keselarasan yang mereka miliki sudah rusak, kekuasaan kemampuan-kemampuan rohani dari jiwa atas badan dipatahkan. Keselarasan dengan ciptaan rusak, ciptaan menjadi asing dan bermusuhan dengan manusia. Akhirnya akan jadilah akibatnya, yang telah diramalkan jelas sebelum manusia pertama jatuh ke dalam dosa: manusia adalah debu dan akan kembali menjadi debu (Kej. 3:19). Maut memasuki sejarah umat manusia (Katekismus 400).

Mengapa dosa Adam menjadi dosa bagi semua keturunannya? Dalam Adam seluruh umat manusia bersatu “bagaikan tubuh yang satu dari seorang manusia individual” (St. Thomas Aquinas). Karena kesatuan umat manusia ini, semua manusia terjerat dalam dosa Adam, sebagaimana semua terlibat dalam keadilan Kristus. Akan tetapi penerusan dosa adalah suatu rahasia yang tidak dapat kita mengerti sepenuhnya. Namun melalui wahyu kita tahu bahwa Adam tidak menerima kekudusan dan keadilan asli untuk dirinya sendiri, tetapi untuk seluruh kodrat manusia.

Dengan menyerah kepada penggoda, Adam dan Hawa melakukan dosa pribadi, tetapi dosa ini menimpa kodrat manusia yang selanjutnya diwariskan dalam keadaan dosa. Dosa ini diteruskan kepada seluruh umat manusia melalui pembiakan, yaitu melalui penerusan kodrat manusia yang kehilangan kekudusan dan keadilan asli. Dengan demikian dosa asal adalah “dosa” dalam arti analog: ia adalah dosa yang orang “menerimanya”, tetapi bukan melakukannya, suatu keadaan, bukan perbuatan (Katekismus 404).

Akibat dosa asal, manusia kehilangan kekudusan dan keadilan asli, namun kodrat manusia tidak rusak sama sekali, tetapi hanya dilukai dalam kekuatan alaminya. Ia takluk pada kelemahan pikiran, kesengsaraan dan kekuasaan maut dan condong kepada yang jahat. Kecondongan kepada yang jahat ini dinamakan “concupiscentia.”

KONTROVERSI PENAHBISAN WANITA


Kontroversi baru-baru ini

Pada tanggal 9 Agustus 2008 di Gereja Unitarian Universalist di Lexington telah diadakan sebuah upacara ‘penahbisan’ dengan tertahbis adalah seorang wanita bernama Sevre-Duszynska. Upacara ini diselenggarakan oleh suatu kelompok yang menyebut diri sebagai Roman Catholic Womenpriests. Walaupun organisasi ini menyebut dirinya “Roman Catholic” dan mengklaim telah menahbiskan sejumlah perempuan menjadi diakon, imam, dan bahkan uskup namun pada kenyataannya mereka sama sekali bukan Katolik dan apa yang mereka sebut sebagai “penahbisan” sama sekali bukanlah suatu tahbisan. Satu hal yang agak mengejutkan adalah walaupun Gereja secara resmi menyatakan bahwa perempuan tidak dapat ditahbiskan namun dalam upacara ‘penahbisan’ tersebut hadir juga seorang imam dari Konggregasi Maryknoll bernama Romo Bourgeois, seorang imam dikenal karena keterlibatannya dalam berbagai aktivitas advokasi keadilan dan perdamaian, sekarang ini Romo Bourgeois mengakui bahwa ia telah dipanggil oleh Superior Jenderal Konggregasi Maryknoll Romo John Sivalon dan dua imam lain dari dewan Konggregasi untuk mempertanggungjawabkan kehadirannya dalam upacara yang jelas-jelas memperolok kepercayaan Katolik tersebut. Namun, Romo Bourgeois mengaku bahwa ia sama sekali tidak merasa bersalah atas tindakannya menghadari upacara ‘penahbisan’ tersebut.

Pada tanggal 4 September 2008 Keuskupan Agung Washington mengeluarkan surat gembala yang ditandatangani oleh Mgr. Barry C. Knestout, Vikaris untuk urusan administrasi dari keuskupan tersebut yang isinya memberitahukan kepada para imam bahwa kelompok Dorothy Day Catholic Worker House telah berkerjasama dengan kelompok Roman Catholic Womenpriests untuk menyelenggarakan kembali suatu upacara ‘penahbisan’ palsu. Dalam surat tersebut ditegaskan kembali pendirian Gereja yang menolak penahbisan wanita dengan mengutip Katekismus Gereja Katolik no. 1577 dan Kitab Hukum Kanonik 1983 Kan. 1024 serta pernyataan dari Konggregasi untuk Ajaran Iman tanggal 19 Desember 2007 yang menyatakan bahwa setiap mereka yang berusaha ‘menahbiskan’ wanita dan para wanita yang berusaha ‘ditahbiskan’ terkena ekskomunikasi latae sententiae yang merupakan hukuman gerejani terberat.


Pandangan Alkitabiah

Dalam suratnya kepada umat di Galatia St. Paulus menegaskan bahwa di dalam Kristus pria dan wanita adalah setara (Gal 3:28). Kesetaraan tidak berarti bahwa pria dan wanita itu identik, ada perbedaan antara pria dan wanita baik itu menyangkut hal fisik, psikologis dan spiritual. Perbedaan-perbedaan itu tidak menjadikan yang satu lebih rendah dari yang lain, tetapi ada karena keduanya saling membutuhkan dan saling melengkapi. Salahsatu perbedaan fisik yang paling menonjol antara pria dan wanita adalah ketidakmampuan pria untuk melahirkan, dan sampai saat ini penulis belum pernah mendengar ada orang yang menyatakan bahwa pria itu lebih rendah daripada wanita karena pria tidak mampu melahirkan, sama seperti halnya perbedaan fisik itu juga ada perbedaan spiritual.

Sepanjang karyaNya di dunia Yesus Kristus hanya memilih pria-pria untuk menjadi RasulNya, dan pada malam Perjamuan Terakhir Ia mentahbiskan pria-pria itu menjadi imam-imam Perjanjian Baru. Selanjutnya St. Paulus menetapkan bahwa mereka yang diangkat menjadi presbyter (penatua atau imam) dan episcopus (penilik jemaat atau uskup) haruslah seorang pria yang sudah beristri (1 Tim 3:2; Tit 1:6) atau seperti halnya Paulus, Timotius dan Yohanes adalah pria-pria yang berselibat. Menyangkut para diakon memang betul bahwa di Alkitab ada wanita seperti Phoebe disebut sebagai diakon (Rom 16:1), namun dalam arti yang biasa sebagai seorang pelayan yang membantu Paulus dan banyak orang lain terutama dengan bantuan finansial yang ia berikan kepada Paulus dan Gereja (Rom 16:2) dan tidak memiliki arti yang sama dengan jabatan diakon pria.

Jika kita ingin memperhatikan juga pandangan Perjanjian Lama tentang imamat maka kita akan melihat bahwa jabatan imam juga dikhususkan bagi pria. Dalam imamat Harun hanya anak laki-laki dari Harun saja yang dapat ditahbiskan imam, sementara dalam imamat Melkisedek yang dalam Surat kepada orang Ibrani disebut sebagai prototype dari imamat Kristus juga tidak terdapat imam perempuan. Beberapa orang mungkin mengatakan bahwa dikecualikannya wanita dari jabatan imam lebih merupakan pengaruh budaya patriarkhi yang dianut oleh orang Yahudi pada masa Perjanjian Lama dan juga dianut oleh orang Yahudi, Yunani dan Romawi pada masa Perjanjian Baru. Argumen semacam ini amat lemah karena dalam Perjanjian Lama sejumlah wanita memainkan peranan yang amat penting seperti halnya; Debora yang bertugas sebagai hakim yang pada masa itu merupakan gabungan antara raja, nabi, dan hakim dalam arti modern, atau; Ester dan Yudith yang menjadi penyelamat bangsa Yahudi dari musuh-musuh mereka. Dalam Perjanjian Baru sejumlah wanita juga berperan penting, pada tempat pertama adalah Maria dari Nazareth yang merupakan ibu Kristus sendiri kemudian juga ada seorang nabi perempuan bernama Hana serta banyak tokoh-tokoh wanita lain yang memiliki peranan istimewa dalam perkembangan Gereja Perdana seperti Lidya, Phoebe, Priscilla (Priska) dan banyak lagi lainnya.

Dengan alasan di atas kita dapat yakin bahwa penolakan Kitab Suci terhadap tahbisan perempuan tidak terjadi karena alasan-alasan budaya melainkan merupakan kehendak Allah sendiri.

Pandangan Gereja

Sepanjang sejarah Gereja, kontroversi mengenai penahbisan perempuan merupakan sesuatu yang relatif baru. Selama berabad-abad seluruh Gereja berada dalam keyakinan penuh bahwa hanya pria yang dapat ditahbiskan menjadi imam. Keyakinan ini mulai menghadapi cobaan yang serius pada pertengahan tahun 1970-an ketika Persekutuan Anglikan mulai menhabiskan perempuan sebagai imam. Paus Paulus VI menulis surat kepada Pendeta Dr. F.G. Coggan yang waktu itu menjabat sebagai Uskup agung Canterbury yang isinya menyatakan bahwa: “Gereja berpegang teguh bahwa ia tidak dapat menahbiskan wanita ke dalam imamat karena alasan-alasan yang sangat mendasar. Termasuk dalam alasan-alasan ini: Contoh-contoh dalam Kitab suci menunjukkan bahwa Kristus hanya memilih Rasul-rasulNya dari para pria; juga praktek terus menerus dari Gereja, yang meniru Kristus dalam memilih hanya pria saja; dan juga kuasa mengajar Gereja yang secara terus menerus berpegang bahwa pengecualian wanita dari imamat adalah sejalan dengan rencana Allah bagi GerejaNya”. Dalam surat yang sama itu juga Paus Paulus mengingatkan bahwa sikap Persekutuan Anglikan yang mulai menahbiskan perempuan akan menambah kesulitan dalam hubungan ekumenis antara Gereja Katolik dan Persekutuan Anglikan. Untuk menyediakan jawaban teologis yang lebih memadai Paulus VI kemudian memerintahkan Konggregasi untuk Ajaran Iman agar mempersiapkan suatu dokumen menyangkut masalah ini. Dokumen ini yang kemudian dikenal dengan nama Inter Insignores kembali menegaskan bahwa tindakan Kristus memilih hanya pria saja menjadi Rasul-RasulNya tidak berasal dari motif sosiologis dan kultural zamanNya.

Dalam Surat Apostolik Ordinatio Sacerdotalis Paus Yohanes Paulus II mengulangi kembali dengan memberikan sejumlah tambahan mengenai alasan-alasan alkitabiah dan teologis penolakan Gereja terhadap penahbisan wanita yang sebagian besarnya telah dibahas di atas. Yang sangat penting dari pernyataan Yohanes Paulus II ini adalah pernyataannya yang secara definitif menuntut ketaatan dari seluruh umat beriman dimana beliau menyatakan: “Karena itu, agar semua keraguan mengenai hal yang sangat penting ini dapat dihapuskan, suatu hal yang bergantung pada konstitusi ilahi Gereja sendiri, dengan kuasa pelayanan saya untuk meneguhkan saudara-saudara (Luk 22:32). Saya menyatakan bahwa Gereja tidak memiliki kekuasaan apapun untuk memberikan tahbisan imamat kepada wanita dan bahwa penilaian saya ini harus dipegang teguh oleh semua umat beriman Gereja.”

Dalam pernyataannya tersebut Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa penolakan Gereja terhadap penahbisan perempuan termasuk ke dalam ranah ajaran yang tidak dapat sesat. Pendirian Gereja ini tidak mungkin diubah. Kardinal Tarcisio Bertone kemudian menegaskan bahwa dalam Ordinatio Sacerdotalis Paus Yohanes Paulus II telah menggunakan kuasa mengajar yang tidak dapat salah bukan dalam bentuk yang meriah dan luar biasa melainkan dalam bentuk yang biasa karena ia mengemukakan kembali suatu ajaran yang terus menerus diungkapkan oleh Gereja sepanjang sejarahnya.

Akhirnya pada tanggal 19 Desember 2007 Konggregasi untuk Ajaran Iman kembali menegaskan sanksi ekskomunikasi latae sententiae bagi setiap upaya pemberian dan penerimaan tahbisan bagi wanita.